Mohon tunggu...
Nur Cahyo
Nur Cahyo Mohon Tunggu... Konsultan - HRD Koplak

Curhat HRD Koplak

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Force Majeur atau Keadaan Memaksa Bidang Ketenagakerjaan Terkait Covid-19

20 April 2020   08:40 Diperbarui: 20 April 2020   08:43 3667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alarm dunia Industri di era Corona   "Kita Hanya Kuat Bayar Gaji Tanpa Ada Pemasukan Cuma Sampai Juni 2020" 

"Hasil konferensi call kita di APINDO dengan teman-teman di daerah dan pelaku sektoran, bisa kita ambil kesimpulan sementara daya tahan cash flow kita hanya sampai bulan Juni tahun ini. Lewat dari itu cash flow kering, kita tidak akan sanggup membiayai pengeluaran, tanpa pemasukan alias tutup."  Demikian pernyataan Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani serta Sutrisno Iwantono selaku Ketua Kebijakan Publik APINDO, pada 8 April 2020 pada Pers.  

Sumber.

Beberapa perusahaan di Indonesia pada era wabah Covid 19 sejak bulan Maret 2020 ini tidak dapat membayarkan gaji karyawan secara penuh. Terutama perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata, transportasi, hiburan, restoran dan lainnya yang terkena dampak langsung dari Covid-19 ini. Perusahaan harus kreatif dan berani dalam membuat langkah-langkah di bidang kekaryawanan di era Covid-19 ini.

Langkah yang paling efektif tapi paling dihindari pengusaha pastinya adalah "PHK"  

Dalam membuat langkah-langkah di bidang ketenagakerjaan terkait wabah Covid-19, Perusahaan harus memiliki dasar hukum yang kuat dalam penerapannya, serta langkah-langkah efektif yang dapat dipahami dan diterima oleh karyawan. Misalkan dalam hal pengurangan gaji, pembatasan lembur bahkan sampai ke langkah pengakhiran hubungan kerja.

Prinsip utama yang harus dimiliki perusahaan adalah adanya dasar yang jelas bahwa kondisi saat ini adalah suatu keadaan memaksa / force majeur. Dasar hukum yang jelas ini penting sebagai acuan perusahaan dalam menerapkan langkah-langkah di bidang ketenagakerjaan selanjutnya terkait Covid 19 ini.

A. FORCE MAJEUR / KEADAAN MEMAKSA 

Banyak pihak yang bertanya, apakah situasi saat ini terkait wabah virus Corona ini dapat disebut sebagai force majeur atau keadaan memaksa sebagaimana disebutkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UU 13/2003") ?

1. Force Majeure Berdasarkan UU 13/2003

Pada pasal 164 ayat 1 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan :

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pada Pasal 164 ayat (2) dijelaskan bahwa Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik, namun tidak dijelaskan dalam ayat tersebut maupun penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure),

Alasan lainnya yang dapat menjadi penyebab pengakhiran hubungan kerja, adalah efisiensi. Terkait dengan efisiensi, Pasal 164 ayat (3) mengatur bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 

Pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi memberikan konsekuensi uang pesangon yang lebih besar, daripada pengakhiran hubungan kerja karena keadaan memaksa (force majeure).

Berdasarkan penjelasan diatas, terkait dengan pandemi Covid-19, penting untuk mengkaji apakah Covid-19 ini  dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar (force majeure) yang dapat menjadi alasan pemutusan  hubungan kerja.

2. Force Majeure Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 

Pengertian force majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata") adalah sebagai berikut:

Pasal 1244 KUHPerdata

" jika ada alasan untuk itu siberhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila tidak membuktikan bahwa hak tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya".

Pasal 1245 KUHPerdata:

"tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, siberhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan sebuah perbuatan yang terlarang".

Dalam konteks pemutusan hubungan kerja, definisi force majeure berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata masih menjadi acuan bagi hakim pengadilan hubungan industrial dalam mendefiniskan unsur-unsur keadaan memaksa.

Force Majeure Berdasarkan Yurisprudensi

Beberapa yurisprudensi pengadilan hubungan industrial/Mahkamah Agung terkait pemutusan hubungan kerja karena keadaaan memaksa (force majeure), memberikan definisi atas force majeure sebagai berikut:

(1) Putusan Mahkamah Agung atas Perkara Nomor 435/K/PDT.SUS-PHI/2015 antara Penggugat Zaenal Mas Kowim, Fariztiyo dan Moch. Arifin dan Tergugat CV Gemilang Artha Prima;

 Majelis berpendapat bahwa suatu keadaan/kondisi dapat dikatakan force majeur seperti yang diatur dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata adalah apabila ada suatu keadaan yang menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu hubungan hukum tidak dapat dilaksanakan antara lain diakibatkan oleh (i) Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, banjir); (ii) Kebakaran, perang, huru-hara, pemogokan dan epidemi; (iii) Tindakan pemerintah dibidang moneter yang menyebabkan kerugian luar biasa.

(2) Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Palu atas Perkara Nomor 12/Pdt.Sus-PHI/2014/PN Pal antara Penggugat Hans Rumbai dan Mahyudin dan Tergugat, PT Kumala Mining

Kondisi Tergugat yang sulit melakukan kegiatan ekspor bahan setengah jadi sebagai akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 dan Surat Edaran Menteri Perdagangan RI Nomor 04/ M-DAG/ED/12/2013, menurut majelis dapat dianggap sebagai force majeure yang menjadi dasar pemutusan hubungan kerja.  

Putusan ini memberikan preseden bahwa force majeure tidak selalu berupa bencana alam, namun dapat juga berupa perubahan regulasi, yang mengakibatkan perubahan keadaan pada pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat Tergugat harus melakukan pemutusan hubungan kerja.

(3) Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Medan Atas Perkara Nomor: 242/Pdt.Sus-PHI/2018/PN Mdn antara Penggugat, Murni Handayani dan Tergugat, PT Cahaya Alam Sejati

Majelis Hakim berpendapat bahwa keadaan memaksa (force majeure) merujuk pada tindakan alam (act of god), bencana alam seperti banjir, gempa bumi, epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya. Keadaan memaksa (force majeure) biasanya diatur secara tegas oleh para pihak yang dalam hal ini adalah pihak perusahaan dan tenaga kerja/buruh dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama (PKB). 

Namun Majelis memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja dalam kasus ini tidak dapat dilakukan atas dasar force majeure karena tidak adanya laporan keuangan tentang kerugian yang diaudit oleh akuntan publik, perusahaan masih membuka pabrik ditempat lain dan kondisi perusahaan tidak termasuk dalam keadaan memaksa (force majeur) sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 ayat (1) UU 13/2003. 

Sehingga yurisprudensi ini memberikan preseden bahwa suatu kejadian force majeure saja belum cukup menjadi alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan force majeure, tanpa adanya bukti bahwa akibat terjadinya peristiwa tersebut, perusahaan   mengalami kerugian, dan tidak mampu melaksanakan kewajibannya.

B. APAKAH COVID-19 MERUPAKAN FORCE MAJEUR/KEADAAN MEMAKSA ?

World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 sebagai Global Pandemic tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia, berikut beberapa kebijakan pemerintah Republik Indonesia terkait Covid-19 yang berdampak pada ketenagakerjaan.:

1. Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID -- 19) sebagai bencana nasional ("Keppres 12/2020") telah menetapkan bahwa bencana non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran Covid -- 19 sebagai bencana nasional

2. Keputusan Presiden (Keppres) No 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Corona Virus Disease 2019-Covid 19) 

Pada ketetapan kesatu disebutkan : Menetapkan Corona virus Disease 2O19 Covid-I9 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Ketentuan Berlaku sejak : 31 Maret 2020

3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19. 

Pada point 4 Surat Edaran ini dinyatakan : Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upaha pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.  Ketentuan berlaku sejak : 17 Maret 2020

4. Surat Edaran Dirjen Pembinaan Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja no B.8855/pk.01.00/IV/2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Tenaga Kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD).

Pada point 2 surat edaran tersebut dinyatakan : Untuk mencegah dan memutus mata rantai persebaran serta mengurangi risiko Covid-19 yang disebabkan oleh mobilitas penduduk/pekerja dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Indonesia, maka diminta agar Perusahaan pengguna tenaga kerja Antara Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Lembaga Penempatan tenaga Kerja Swasta (LPTKS) melakukan penghentian sementara Penempatan Tenaga Kerja Antara Kerja Antar Daerah (AKAD).  Ketentuan ini berlaku sejak : 1 April 2020

5. Peraturan Menkumham Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia. 

Pada Pasal 2 dinyatakan : Melarang sementara Orang Asing untuk memasuki/transit di Wilayah Indonesia.Ketentuan ini berlaku sejak : 2 April 2020

6. Peraturan Gubernur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

7. Peraturan Gubernur DKI Jakarta no 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinisi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

8. Peraturan Gubernur Banten nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan

9. Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 27 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar di Daerah Kabupaten Bogor, Daerah Kota Bogor, Daerah Kota Depok, Daerah Kabupaten Bekasi dan Daerah Kota Bekasi

Ketiga Peraturan Gubernur diatas merupakan beberapa contoh Peraturan lokal yang dtetapkan setelah kepala daerah mengajukan usulan kepada Menteri Kesehatan. Keputusan PSBB tersebut dapat bertambah berdasarkan usulan dari daerah yang lain di Indonesia, terutama daerah yang masuk ke dalam zona merah Covid 19.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa analisa terkait ketenagakerjaan :

a. Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana non-alam yang menimbulkan kedaruratan Kesehatan nasional.

b. Yurisprudensi pengadilan hubungan industrial maupun Mahkamah Agung mengkategorikan pandemi sebagai jenis keadaan kahar (force majeure), akan tetapi perusahaan tetap perlu membuktikan bahwa dampak pandemi ini berdampak langsung pada perusahaan, antara lain dalam kegiatan operasionalnya.

c. SE Menaker nomor M/3/HK.04/III/2020 menyebutkan bahwa kondisi saat ini membuka peluang kepada perusahaan apabila akan melakukan pengurangan pengupahan atas dampak dari Covid 19. Untuk pelaksanaan kebijakan ini, alangkah baiknya apabila ada komunikasi di awal yang efektif kepada karyawan/Serikat Pekerja.

d. Orang asing dilarang masuk ke Indonesia, baik itu turis maupun tenaga kerja asing, sebagaimana diatur pada Peraturan Menkumham no 11 tahun 2020. Bagi perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) hal ini tentunya sangat berdampak besar, antara lain penundaan proyek atau pekerjaan yang sebelumnya diisi oleh tenaga ahli asing..

e. Dari tiga Keputusan Menteri Kesehatan di atas yaitu wilayah DKI Jakarta dan Banten tentang PSBB menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam melakukan upaya penanggulangan Covid [CK1] [NC2] 19 yang bersifat sektoral. Jika rata-rata 34 provinisi mengajukan PSBB ini dan dilakukan pengesahan oleh pemerintah pusat, maka akan berdampak serius terhadap perputaran roda ekonomi dan pastinya berdampak pada aspek ketenagakerjaan. 

Perusahaan-perusahaan sudah saatnya menghitung dana cadangan untuk operasional perusahaan serta mulai mempertimbangkan keputusan-keputusan penting di bidang ketenagakerjaan, antara lain pengurangan jam kerja, efisiensi operasional, pembatasan lembur bahkan sampai ke arah PHK. 

C. ALTERNATIF YANG DAPAT DILAKUKAN PERUSAHAAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN 

Dalam upaya penyelamatan perusahaan dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid 19 ini, Perusahaan memiliki beberapa alternatif di bidang ketenagakerjaan yang dapat dilakukan oleh perusahaan : 

1. Optimalisasi LKS BIpartit sebagai sarana Penyampaian Kondisi bisnis keuangan Perusahaan secara transparan kepada karyawan/Serikat Pekerja

Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit) sebagai suatu forum komunikasi antara perusahaan dengan wakil karyawan, merupakan ketentuan yang wajib dilaksanakan bagi perusahaan dengan karyawan lebih dari 50 orang. Hal ini merupakan amanah dari pasal 106 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, serta diperkuat dengan Permenaker nomor PER. 32/MEN/XII/2008.

Manajemen perusahaan dapat memberikan gambaran kondisi bisnis dan keuangan perusahaan kepada karyawan. Apabila ada organisasi pekerja/serikat pekerja di perusahaan tersebut maka penyampaiannya dapat dilakukan kepada perwakilan Serikat Pekerja, serta langkah-langkah yang akan diambil perusahaan dalam menangani wabah Covid 19 ini. 

Fungsi dari transparansi ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari karyawan apabila perusahaan sampai mengambil langkah-langkah tertentu di bidang kekaryawanan, misalkan pengurangan waktu kerja, pembatasan lembur, pengurangan gaji sampai dengan PHK.

Hasil dari LKS Bipartit adalah berbentuk rekomendasi tertulis kepada manajemen/direksi perusahaan, sebagai dasar direksi dalam membuat kebijakan perusahaan terkait ketenagakerjaan.

2. Melakukan Upaya-Upaya Efisiensi di Bidang Ketenagakerjaan

Dalam melakukan upaya penyelamatan perusahaan di tengah dampak Covid 19 ini , Perusahaan tentunya melakukan berbagai penyesuaian baik dari segi operasional bisnis, penyesuaian budget sampai ke arah penyesuaian di bidang ketenagakerjaan, salah satu upaya yang lazim dilakukan adalah pengurangan upah karyawan.

Ketentuan perundangan tidak mengatur secara tegas mengenai pengurangan upah karyawan. Undang-Undang 13 tahun 2003 pada pasal 91 ayat 1 menyebutkan :

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Artinya bahwa pemerintah menyerahkan pengaturan pengupahan ke dalam instrument ketenagakerjaan secara internal, yaitu forum komunikasi bipartite, antara manajemen dengan perwakilan pekerja/serikat pekerja. Pengurangan upah dapat dilakukan sepanjang diketahui, disepakati dan dapat diterima oleh seluruh karyawan.  Hasil kesepakatan ini dapat dkordinasikan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat,

Dalam hal pengupahan, pemerintah hanya membatasi bahwa pengupahan yang dilakukan perusahaan tidak kurang dari Upah Minimum Propinsi (UMP) yang ditetapkan oleh pemerintah. Perusahaan dapat melakukan pengurangan upah sebagaimana disebutkan di atas, namun tidak kurang dari Upah Minimum Propinsi (UMP).  

Apabila Perusahaan terpaksa melakukan pengurangan upah sampai dengan nilai di bawah UMP, maka perusahaan memiliki peluang untuk dilakukan penangguhan, sebagaimana diatur pada Pasal 90 ayat 2 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : 

(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan  penangguhan.

 Penjelasan Pasal 90 : 

Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku  pada waktu diberikan penangguhan.

Pelaksanaan pasal tersebut dipertegas dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP 231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Pada pasal 5 disebutkan :  

(1) Persetujuan penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan

Dari penjabaran pasal 90 di atas,dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan diperkenankan untuk melakukan pengurangan pengupahan, sepanjang disepakati oleh perwakilan karyawan dan tidak kurang dari nilai UMP setempat. 

Untuk pengurangan pengupahan yang kurang dari nilai UMP, maka perusahaan dapat menangguhkan (bukan mengurangi) sampai batas waktu tertentu (maksimal 12 bulan). Setelah batas waktu tersebut maka perusahaan wajib membayar selisih UMP tersebut.

 3. Perjanjian Bersama Pengakhiran Hubungan Kerja (PBPHK)

Untuk penyelamatan perusahaan dapat diambil langkah pengurangan karyawan dalam bentuk pengakhiran hubungan kerja.

Dasar dari pengakhiran hubungan kerja, akibat force majeure, adalah sebagai berikut :

Pasal 164 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : 

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Kriteria keadaan memaksa sebagaimana disebutkan oleh pasal 164 di atas mengambil beberapa dasar hukum yang telah diuraikan di atas.  

Pengakhiran hubungan kerja dengan karyawan dapat dilakukan dengan  menggunakan dokumen Perjanjian Bersama Pengakhiran Hubungan Kerja ("PBPHK").  Artinya perjanjian yang dibuat secara sah antara perusahaan dengan karyawan dalam mengakhiri hubungan kerjanya, dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati, antara lain :

  • Waktu perjanjian bersama pengakhiran hubungan kerja
  • Syarat pengakhiran hubungan kerja
  • Kompensasi atas pengakhiran hubungan kerja
  • Tidak ada gugatan apapun atas pengakhiran hubungan kerja ini

Kompensasi atas pengakhiran hubungan kerja akibat force majeure adalah sesuai dengan ketentuan pada pasal 164 UU 13/2003 :

1 X Pesangon sesuai ketentuan pasal 156 ayat 2 UU 13/2003

1 x Penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat 3 UU 13/2003

Penggantian hak (15% dari pesangon dan penghargaan masa kerja) sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4 UU 13/2003

PBPHK ini sah secara hukum, cukup dilakukan penandatanganan PBPHK antara perusahaan dengan karyawan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), sebagai berikut : 

Pasal 7 UU no 2 / 2004 tentang PPHI : 

(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.       

(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.        

(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.    

PBPHK ini nantinya didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk diresgitrasi,  fungsi untuk mendapatkan kekuatan hukum yang sama dengan putusan PHI. Syarat pendaftaran cukup sederhana yaitu dilakukan di Pengadilan Negeri setempat tempat

Apabila karyawan menolak untuk menggunakan PBPHK, maka perusahaan dapat menempuh jalur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, sebagaimana diatur pada Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu :

1.  Bipartit (internal perusahaan )  

2. Mediasi di Disnaker / Konsiliasi dengan Konsiliator ditunjuk para pihak/ Arbitrase di Lembaga Arbitrase Nasional  

3. Pengadilan Hubungan Industrial 

4. Kasasi pada Mahkamah Agung 

Sinergi yang kuat antara manajemen, Serikat Pekerja dan Karyawan serta kordinasi dengan pihak pemerintah seperti dinas tenaga kerja merupakan kata kunci yang penting dalam pelaksanaan langkah-langkah penyelamatan perusahana sebagai dampak Covid -19.

Diskusi topik hukum lainnya dapat di akses di : 

http://www.arazylaw.co.id/client-alert-force-majeure-covid-19.html

Tetap sehat dan di rumah aja 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun