Mohon tunggu...
Alvina Sahri
Alvina Sahri Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan lagi mahasiswa

I love animals but no for insect

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eufimisme: Sebutan Berprinsip Kesantunan bagi Disabilitas

17 Desember 2020   11:05 Diperbarui: 17 Desember 2020   11:10 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penyandang Disabilitas (Sumber: Shutterstock)

 Melihat dari bagaimana antusias para masyarakat serta penyandang dalam istilah yang baru membuat kita dapat menilai usaha pemerintah untuk memperbaiki anggapan serta stigma yang berkembang di masyarakat. Penyandang disabilitas bukanlah individu yang cacat, mereka hanya memiliki perbedaan dengan ‘ciri khas’ yang diberikan lebih oleh Tuhan.

Secara resmi pemerintah menuliskan istilah ‘penyandang disabilitas’ dalam UU No. 8 Tahun 2016 sekaligus menetapkan definisi dan pengkategorian ragam penyandang disabilitas, yakni penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental, dan penyandang disabilitas sensorik.  

Perbedaan Disabilitas dan Difabel

Masih banyak di antara kita yang menganggap istilah disabilitas dan difabel merujuk pada hal yang sama, nyatanya keduanya memiliki perbedaan yang tipis walaupun sama-sama menggantikan panggilan ‘penyandang cacat’ yang dinilai tidak bagus. Perbedaan penempatan istilah antara disabilitas dan difabel menjadi fatal apabila diungkapkan dengan salah. 

Umumnya, penyandang disabilitas adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu dengan empat ragam disabilitas seperti fisik, sensorik, intelektual, dan mental. Sedangkan difabel adalah istilah yang dianggap lebih halus untuk mengungkapkan kondisi individu yang mengalami disabilitas, mengacu pada keterbatasan penyandang dalam melakukan aktivitas akibat ketidakmampuan yang dimiliki.

Alasan ‘Disabilitas’ Berubah Arti dalam Semantik

Semantik sebagai kajian yang menyelidiki makna, mempelajari tentang perubahan arti dari sebuah bahasa, baik berupa kata atau kalimat. Ada dua alasan mengapa terjadi perubahan arti, yakni sebab kebahasan dan sebab non-kebahasaan. Sebab kebahasaan terjadi perubahan arti dalam bahasa yang berasal dari bahasa itu sendiri (Subuki, 2011; 105). Sedangkan sebab non-kebahasaan terjadi akibat masalah di luar bahasa tersebut, misal sebab perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan sosial, perluasan bidang makna, pengaruh asing, kebutuhan istilah baru, dan tabu.

Berdasarkan pembagian alasan non-kebahasaan, alasan istilah ‘disabilitas’ berubah sebab tabu. Sebab tabu adalah suatu konsep yang menggambarkan larangan tertentu dalam dunia sosial (Subuki, 2011; 110). 

Terdapat penyebab mengapa suatu bahasa mengalami perubahan tabu, Ullman mengklasifikasikan tiga alasan tabu menyebabkan perubahan arti; pertama, tabu karena ketakutan (taboo of fear) yang masih ada sangkut pautnya dengan hal mistis; kedua, tabu karena kenyamanan (taboo of delicacy); ketiga, tabu karena kesopanan (taboo of propiety). Mancanegara mengenal Indonesia sebagai negara yang ramah dan sopan, hal tersebut terbukti dari alasan terakhir mengapa tabu dapat menyebabkan perubahan arti. Bentuk eufimistik sangat sering terjadi dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia, misal saja pada tema yang sedang diangkat pada tulisan ini.

Perubahan arti yang disebabkan oleh tabu biasanya melahirkan istilah eufimisme, sebentuk ungkapan pengganti yang dipergunakan untuk memperhalus efek dari ungkapan lain yang dirasa lebih kasar (Subuki, 2011; 110). Dapat dikaitkan pada istilah ‘disabilitas’ yang berubah dari kata ‘cacat’ yang dianggap berdenotasi negatif. Istilah ‘disabilitas’ menjadi bentuk eufimisme untuk memberikan kenyamanan bagi yang mengungkapkan dan mendengar, terutama bagi penyandang disabilitas yang lebih nyaman dengan kondisinya.

Hakikat Istilah ‘Disabilitas’ 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun