Mohon tunggu...
Alve Hadika
Alve Hadika Mohon Tunggu... Buruh - Simpatisan Lingkungan

~

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemindahan Ibu Kota Negara, Sudah Saatnya?

14 Oktober 2022   16:17 Diperbarui: 14 Oktober 2022   16:26 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: CNN Indonesia

Artikel ini mulai saya tulis ketika berbagai platform media sosial rame ngebahas tentang skema pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), khususnya skema crowd funding atau urun dana. 

Saya jadi flashback kejadian serupa yang terjadi di Malaysia pada tahun 2018, yang mana masyarakatnya pernah patungan untuk melunasi hutang negaranya. 

Bedanya, crowd funding IKN diinisiasi oleh pemerintah, pelunasan hutang Malaysia diinisiasi oleh masyarakat. Sekilas mirip namun signifikan perbedaannya, sama-sama "patungan" tapi beda inisiatornya. 

Di lain sisi, pemerintah juga memberi reward senilai milyaran rupiah bagi pemenang sayembara rancangan gedung pemerintah di IKN baru. Milyaran? fantastis yaa. 

Pertanyaannya, apakah nanti akan ada masyarakat yang sukarela menggalang dana untuk pembangunan ibu kota mengingat untuk sayembara rancangannya saja butuh harga yang ga kira-kira? Yaa semoga saja ada yaa hehe. 

Yang pasti, hal ini membuat saya tertarik mempelajari lebih dalam sudah sejauh apa, bagaimana, dan seperti apa perkembangan pemindahan IKN ke Pulau Kalimantan sana. Kita coba telaah tipis-tipis yaa.

Saya sempat membaca beberapa literatur dan mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan pemindahan IKN ini, baik dari Bappenas, Sekretariat Negara, ataupun forum-forum akademisi dan diskusi politik. Disana saya cukup mendapatkan insight, baik pro ataupun kontra.

Terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara adalah penanda bahwa pemindahan IKN yang sebelumnya hanya sekadar isu, kini berubah menjadi fakta. 

Fakta dalam arti telah adanya landasan resmi untuk memulai upaya pemindahan IKN baik perencanaannya, penganggarannya, bahkan pembangunannya. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa IKN yang diberi nama Nusantara ini adalah satuan pemerintah daerah khusus setingkat provinsi yang dipimpin oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. 

IKN memiliki visi "kota dunia untuk semua" yang dibangun untuk menjadi kota berkelanjutan di dunia, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan simbol identitas nasional. Keren ya? keren doong.

Sebenarnya isu pemindahan ibu kota ini bukanlah isu baru. Presiden pertama RI, Bung Karno sempat mewacanakan pemindahan IKN ke Palangkaraya, Pak Harto mengisukan pemindahan ke Jonggol, dan pada era SBY IKN ingin dipindahkan ke Jawa Barat.

Kenapa sih IKN harus pindah?

Jawaban dasar untuk menjawab pertanyaan ini adalah isi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025. Dokumen ini menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah dan menjamin pemerataan adalah dengan fokus mengembangkan basis ekonomi di setiap pulau. Hal ini tentu relate dengan tujuan dipindahkannya IKN.

Seperti yang diketahui bersama, fokus utama pemerintah memindahkan IKN adalah karena alasan pemerataan ekonomi dan pembangunan, menghilangkan konsep Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris. 

Beban Jakarta dan pulau Jawa juga dinilai sudah terlalu berat yang mana sebesar 56,56% masyarakat Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa (SUPAS, 2015), serta kontribusi ekonomi terhadap PDB terpusat di pulau Jawa yakni sebesar 58,49% (BPS, 2018). Belum lagi masalah krisis air bersih, masalah urbanisasi, dan masalah bencana alam seperti banjir, gempa, land subsidence, dan lain-lain.

Saya sangat setuju dengan prinsip negara yang memisahkan antara kota pemerintahan dan kota bisnisnya. Amerika Serikat, China, Australia, bahkan negara tetangga kita Malaysia pun juga telah menerapkan hal yang sama. Terlalu beresiko untuk menggabungkan pusat pemerintahan dan pusat bisnis di satu kota. 

Jika terjadi kelumpuhan di satu kota ini, baik bencana alam, demonstrasi besar-besaran, dan lain sebagainya, maka yang lumpuh semuanya baik pemerintahan ataupun bisnisnya. Secara langsung ataupun tidak, hal ini tentu berdampak kepada setiap daerah lainnya di negara tersebut.

"Emang kalo pindah Ibu kota semua masalahnya bisa selesai?" Mungkin pertanyaan kaya gini akan sering muncul. Menurut saya pemindahan ibu kota itu kayak main biliar, gimana caranya dengan satu shoot kita bisa memasukkan beberapa bola, dengan pemindahan ibu kota kita bisa menyelesaikan beberapa masalah. 

Betul mungkin tidak semuanya, tapi mungkin bisa menjadi pilihan yang cukup solutif. Hal ini menjadi penguat analisa saya bahwa baiknya ibu kota memang harus dipindahkan.

Tapi apa harus sekarang? Atau kapan baiknya?

Awalnya Presiden menargetkan dana pemindahan IKN ini akan full bersumber dari investasi dan dana lain yang bersifat non-APBN. Namun seiring berjalannya waktu, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menjelaskan bahwa anggaran pemindahan IKN ini akan menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) atau anggaran dari Kementerian PUPR. 

Hmm kalo dari Kementerian PUPR kayanya masih relate lah ya, tapi kalo sumbernya dari pengalokasian dana PEN apakah etis? Dana PEN yang notabene-nya adalah dana yang diberikan untuk masyarakat baik kesehatan dan ekonominya, entah itu vaksin, pengembangan UMKM, BLT, dan sebagainya, sekarang harus dialokasikan untuk pembangunan fisik sebuah kota. Agak gak match ya?

Yaa, mudah-mudahan upaya mencari investornya bisa berbuah hasil agar tidak ada kesalahan dalam pengalokasian APBN. Investasi pun tetap harus melihat term and conditionnya, apa imbalannya, dan apa dampak kedepannya. Atau apakah untuk pemindahan ini negara mau berhutang lagi? Kalau bisa jangan lah yaa.

Pertanyaan yang sering muncul dalam benak saya adalah "Apakah sekarang top priority negara kita adalah pemindahan ibu kota?" Melihat masih banyaknya PR penting yang belum terselesaikan. 

Pemulihan Covid-19, kemiskinan, pendidikan, lapangan kerja, belum lagi isu minyak goreng, BBM, eksistensi Polri, dan lain sebagainya masih menjadi trending berita di berbagai media. Artinya Indonesia masih perlu banyak pembenahan terkait masalah-masalah utamanya.

Pertanyaan selanjutnya "Apakah urgensi pemindahan IKN ini lebih penting dari permasalahan utama tadi?" Mari bersama-sama kita jawab dalam hati hehe.

Selain aspek top priority tersebut, hal dasar yang juga menjadi sorotan adalah naskah akademik dari RUU IKN ini. Menurut pandangan saya, RUU ini terlihat seolah-olah tidak dibangun berlandaskan dengan nilai filosofis yang kuat, diksi pemilihan kata yang masih perlu penyempurnaan, referensi produk akademis yang tidak banyak dan hanya mengacu pada referensi asing. 

Naskah sosiologisnya juga masih kurang mendalam serta tidak menjabarkan permasalahan secara rinci. At least pernyataan-pernyataan tersebut menjadi  kegelisahan saya dan juga sering dilontarkan banyak akademisi, politisi, dan praktisi di berbagai platform. 

Memang secara formal tidak menyalahi aturan, namun untuk sebuah mega proyek yang berkaitan dengan identitas negara, apakah tidak sebaiknya substansi naskah akademik dibuat seberkualitas mungkin? Harusnya naskah yang dibawa ke DPR ini menjelaskan seberapa penting permasalahan yang ingin diselesaikan. 

Jelas justifikasinya, matang perencanaannya, clear sumber dananya, dan rapi hal-hal teknisnya. Jangan terkesan seperti terburu-buru ingin melahirkan sebuah kebijakan. Takutnya setelah membaca naskah akademik ini, masyarakat menilai bahwa sebenarnya pemindahan IKN ini tidak sebegitu urgentnya. Jangan sampai maket yang sudah didesain sedemikian cantiknya, rusak karena dukungan data yang kurang sempurna.

Ditambah lagi pembangunan ini tidak hanya sebatas berdirinya bangunan di sebuah kota, namun hingga dampak terhadap warga eksis dan lingkungannya. Potensi terusiknya flora dan fauna, perubahan iklim, bencana alam seperti longsor dan banjir, deforestasi, dan kerusakan lainnya sangat mungkin terjadi melihat kondisi geografisnya. 

Trade off theory tetap harus diperhitungkan. Dikedepankannya aspek ekonomi dan sosial, bukan berarti mengenyampingkan aspek ekologi. Namun, niat pemerintah ingin mengedepankan konsep green city dan digadang-gadang justru akan memperluas hutan tentu harus didukung. Proses penilaian AMDAL yang optimal bisa menjadi salah satu kunci terjaminnya masa depan lingkungan di ibu kota baru ini.

Betul memang, kita harus punya gebrakan-gebrakan strategis, jangan monoton gitu-gitu aja, harus ada upaya-upaya out of the box yang dilakukan untuk memajukan perekonomian negara kita. Jangan sampai tahun 2045, seratus tahun kemerdekaan, kita masih menjadi negara middle income country, negara yang begini-begini aja tanpa ada kemajuan yang berarti.

Namun, gebrakan-gebrakan tersebut harus dilakukan dengan pertimbangan, perencanaan dan penganggaran yang matang. Proyek-proyek besar sebelum ini bisa menjadi catatan penting agar tidak terulang. Jangan sampai pemindahan IKN yang harusnya menjadi turning point kemajuan negara justru menjadi proyek blunder yang sia-sia.
Pada prinsipnya, jika sebuah hal telah melewati analisis mendalam, riset berkualitas, dan perencanaan yang matang, maka efek sampingnya akan bisa diminimalisir.  Ide jenius pemerintah terkait IKN ini perlu dukungan dari berbagai elemen jika memang pada akhirnya akan memberikan dampak positif untuk seluruh lapisan.

Saya jadi ingat statement yang selalu dilontarkan oleh mantan atasan "jika kita gagal merencanakan, maka kita merencanakan kegagalan."

***

Alve Hadika, S.Kel., M.Si.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun