Mohon tunggu...
NANDA YOGA ROHMANA
NANDA YOGA ROHMANA Mohon Tunggu... Dosen - JAKSA PENUNTUT UMUM

CATATAN SEORANG JAKSA

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penerapan Justice Collabolator dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

14 Desember 2019   08:47 Diperbarui: 14 Desember 2019   08:55 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nanda Yoga Rohmana, S.H.,M.H (nandarohmana7@gmail.com/IG: al_nanda_yoga)

Oleh karena itu, dalam praktiknya sulit untuk menerapkannya, misalnya dalam kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik pada pengadilan tingkat pertama 21 desember 2017 terdakwa Andi divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp. 1 Miliar subsidair 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dolar AS dan Rp. 1,186 miliar. Terdakwa Andi divonis ringan karena mendapat predicate sebagai "Justice Collaborator" .

Kesaksian terdakwa Andi dinilai signifikan membantu KPK dalam mengungkapkan pelaku lainnya yang lebih besar. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 28 Maret 2018 memvonis Andi selama 11 tahun penjara ditambah denda Rp. 1 Miliar subsidair 6 bulan kurungan serta wajib membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dollar AS dan Rp. 1,186 miliar subsidair 3 tahun kurungan.

Dalam hal ini Jaksa KPK keberatan dengan putusan tersebut, kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, di Mahkamah Agung terdakwa Andi malah diperberat menjadi 13 tahun penjara. Hal ini berimplikasi terhadap terdakwa untuk tidak mau lagi bekerjasama dengan penegak hukum menjadi "Justice Collaborator". Padahal terdapat perlindungan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) yang telah diatur  di dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi :

Seorang pelaku yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana. 

Oleh karena itu, hemat penulis untuk menghindari perbedaan pandangan antara penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan Hakim maka pertama, dalam BAP tersangka yang akan ditetapkan sebagai "Justice Collaborator"  perlu digali lebih dalam mengenai peran pelaku dan keterangan pelaku untuk dapat dinilai layak atau tidak ditetapkan sebagai "Justice Collaborator" sesuai Surat Jampidsus No. B-1964/22 September 2017 tersebut.

Kedua, penetapan layak atau tidak layaknya seseorang sebagai "Justice Collaborator"  perlu ditetapkan melalui putusan sela. Sehingga, hakim terikat secara yuridis dan moral apabila nanti pada saat di putusan memperberat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu seharusnya memperingan pelaku, bukan memperberat hukuman dari pelaku tersebut, yang berbunyi :

Atas bantuan "Justice Collaborator" tersebut, maka hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :

  • Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
  • Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Apabila memang layak pelaku tersebut ditetapkan sebagai "Justice Collaborator"  seyogyanya hakim terikat dengan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 04 Tahun 2011 untuk memperingan hukuman pelaku.

Kemudian yang ketiga, apabila dalam persidangan keterangan terdakwa yang telah ditetapkan sebagai "Justice Collaborator", kemudian apa yang diterangkan dalam BAP berbeda dengan apa yang diterangkan oleh "Justice Collaborator"  tersebut, maka hakim dapat mencabut/membatalkan penetapan terdakwa sebagai "Justice Collaborator"  dan dapat menyamakan atau bahkan memperberat hukumannya.

Permasalahan lain yaitu perbedaan pandangan mengenai penafsiran "bukanlah pelaku utama" sebagai syarat untuk mendapatkan "Justice Collaborator" . Terkadang hakim menilai pelaku tersebut merupakan pelaku utama sehingga tidak dapat dikatakan/memenuhi syarat sebagai "Justice Collaborator" . Oleh karena itu, hemat penulis untuk menentukan pelaku utama atau bukan pelaku utama harus dikaitkan dengan Pasal 56 KUHP yang berbunyi :

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun