Hal lain yang sering menimbulkan salah paham adalah soal keuntungan kontraktor.
Dalam proyek fisik, keuntungan tidak pernah ditulis secara eksplisit dalam proposal. Ia sudah termasuk di dalam satuan harga pekerjaan --- tersirat di setiap item RAB. Besarannya umumnya 10--15 persen dari nilai pekerjaan. Aturan ini tertuang dalam Perlem LKPP No. 12 Tahun 2021 dan Pedoman Standar Biaya PUPR.
Sebaliknya, dalam proyek non-fisik seperti pelatihan, kajian, atau pendampingan, keuntungan harus dicantumkan secara eksplisit. Biasanya ditulis sebagai fee penyedia jasa atau biaya keuntungan dan overhead, karena proyek non-fisik berbasis jasa, bukan volume fisik yang bisa diukur per meter atau per unit.
Artinya, dalam proyek fisik, kontraktor boleh saja mengeluarkan biaya aktual lebih rendah dari rencana, sepanjang hasil pekerjaannya tetap sesuai spesifikasi, volume, dan mutu.
Ini disebut efisiensi, dan itu sah menurut peraturan pengadaan barang/jasa. Tapi bila penghematan dilakukan dengan mengurangi spesifikasi atau kualitas, seperti tidak membuat lantai semen, maka itu bukan efisiensi, melainkan pelanggaran kontrak.
Dalam audit proyek, BPK maupun Inspektorat tidak menilai berdasarkan besarnya uang yang dikeluarkan, tetapi berdasarkan hasil pekerjaan dan keabsahan dokumen pertanggungjawaban. Jika pekerjaan sesuai kontrak, maka selisih biaya tidak dianggap temuan. Sebaliknya, jika kualitas menurun, maka itu bisa menjadi pelanggaran yang berujung pada sanksi, bahkan pemutusan kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Perpres 16/2018.
Dengan pemahaman itu, tindakan Dedi Mulyadi turun ke lapangan tetap punya nilai penting. Ia mengingatkan publik bahwa proyek pemerintah adalah cermin moral bangsa: tempat di mana uang rakyat harus dipakai dengan jujur, pekerja dibayar dengan adil, dan hasil pekerjaan memberi manfaat nyata.
Tapi pada saat yang sama, kita juga perlu memahami bahwa tidak semua selisih angka adalah kesalahan. Ada ruang legal untuk efisiensi, selama tetap berada di koridor aturan dan tidak mengorbankan mutu.
Pakaian putih dan sandal jepit Dedi bukan sekadar gaya. Itu simbol bahwa pemimpin harus berani turun di tanah tempat rakyat bekerja, untuk memastikan pembangunan tidak kehilangan nurani. Karena pada akhirnya, yang perlu kita pastikan bukan hanya agar air mengalir di saluran drainase, tapi agar kejujuran tetap mengalir di sistem pemerintahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI