Mohon tunggu...
Al Mujizat
Al Mujizat Mohon Tunggu... Penggiat Sustainability

Mempraktikkan, menulis dan melatih

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Gaji Mandor ke Moral Anggaran : Apa yang Sebenarnya Dipersoalkan Dedi Mulyadi?

15 Oktober 2025   06:34 Diperbarui: 15 Oktober 2025   06:34 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di bawah terik matahari, seorang pria berpakaian serba putih berdiri di tepi jalan yang sedang dibangun saluran drainase. Ia hanya bersandal jepit. Di depannya, deretan U ditch baru dipasang. Tapi ketika diperhatikan, bagian bawahnya kosong --- tak ada lantai semen yang seharusnya menjadi dasar saluran. Konsultan pengawas mencoba berkelit, sementara sang mandor tampak gugup dan tak bisa menjawab banyak.

"Gajinya berapa per hari?" tanya pria itu.

"Seratus tujuh puluh ribu, Pak," jawab sang mandor pelan.

Padahal, menurut dokumen proyek, upah tenaga kerja harian diperkirakan sekitar dua ratus dua puluh ribu rupiah.

Pria itu adalah Dedi Mulyadi, alias KDM, Gubernur Jawa Barat, yang dikenal kerap turun langsung ke lapangan. Ia menegur kontraktor, menyoal pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, sekaligus menggugat keadilan upah bagi pekerja proyek.

Dalam video yang ia unggah ke YouTube berjudul "Kontraktor pasang drainase tanpa lantai dasar | Bayar upah tak standar", Dedi mengingatkan pentingnya kejujuran dan tanggung jawab dalam proyek pemerintah. Namun di balik tegurannya itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah benar kontraktor wajib membayar pekerja sesuai angka dalam proposal proyek? Dan apakah angka itu selalu mencerminkan aturan pengupahan yang berlaku?

Dalam sistem proyek pemerintah, nilai upah pekerja yang tercantum di dokumen RAB berasal dari Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP). AHSP disusun berdasarkan pedoman resmi seperti Perpres No. 16 Tahun 2018, Permen PUPR No. 7 Tahun 2021, dan SNI 7394:2008. Di dalamnya dihitung seluruh komponen pekerjaan --- material, alat, dan tenaga kerja --- untuk mendapatkan nilai harga satuan yang wajar.

Namun angka di AHSP bukan angka upah wajib. Ia adalah nilai analisis, bukan nilai hukum. Dalam praktiknya, dasar hukum pengupahan tetap mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jadi, selama kontraktor membayar pekerja tidak di bawah UMP/UMK, maka secara hukum tidak ada pelanggaran.

Dengan kata lain, kalau upah 170 ribu rupiah per hari masih sesuai dengan UMP wilayah itu, maka kontraktor tidak salah secara hukum, meskipun angka tersebut lebih rendah dari yang tercantum dalam AHSP.

Dalam konteks ini, kritik Dedi Mulyadi terhadap upah pekerja sebaiknya dipahami bukan sebagai tuduhan pelanggaran hukum, melainkan sebagai panggilan moral agar pekerja proyek pemerintah dihargai lebih layak dari sekadar batas minimum.

Yang lebih serius justru soal teknis pekerjaan. Drainase tanpa lantai dasar semen jelas melanggar spesifikasi kontrak. Dalam proyek konstruksi, setiap pekerjaan memiliki gambar rencana dan daftar spesifikasi teknis yang mengikat. Jika salah satu komponen dihilangkan, maka mutu pekerjaan otomatis turun dan nilai manfaat proyek bagi publik ikut menurun. Itu sebabnya, dalam konteks hukum proyek, ketidaksesuaian spesifikasi jauh lebih berat daripada selisih upah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun