Suatu malam di pinggiran kota, seorang pengendara motor jatuh setelah menabrak lubang jalan. Kakinya patah, darah mengalir deras. Warga berlarian, mencari nomor darurat. Seseorang menyebut 110, yang lain menekan 119. Telepon berdering, berpindah ke petugas berbeda. Lima belas menit berlalu sebelum ambulans datang.
Di negara lain, satu nomor cukup: 911 di Amerika, 112 di Eropa, 999 di Singapura. Satu panggilan, satu sistem, satu komando. Di Indonesia, sampai hari ini, sistem seperti itu masih menjadi cita-cita. Padahal, setiap detik keterlambatan bisa berarti hilangnya nyawa. Reformasi Polri yang kini kembali bergulir seharusnya tidak hanya berhenti pada penataan etika dan kelembagaan internal, tetapi juga menyentuh hal yang paling mendasar dalam pelayanan publik: bagaimana negara hadir secara cepat dan terkoordinasi ketika warganya berada dalam keadaan genting.
Secara hukum, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Nomor Tunggal Panggilan Darurat (NTPD) melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 10 Tahun 2016, yang menetapkan 112 sebagai nomor resmi untuk semua keadaan darurat---kebakaran, kecelakaan, kejahatan, bencana, atau medis. Namun, dalam praktiknya, sistem itu belum benar-benar berjalan secara nasional. Data Kominfo per September 2024 menunjukkan baru 142 dari 514 kabupaten/kota yang memiliki pusat panggilan darurat 112 yang berfungsi. Artinya, masih lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia belum terhubung dalam jaringan yang seharusnya menjadi garda terdepan keselamatan warga.
Di banyak daerah, panggilan darurat masih berjalan secara sektoral. Polisi dengan 110, pemadam kebakaran 113, ambulans 118 atau 119, SAR 115, bencana 117, bahkan listrik 129. Setiap nomor memiliki petugas, prosedur, dan komando sendiri. Akibatnya, koordinasi lapangan sering kali terhambat: satu instansi sudah bergerak, yang lain belum tahu. Dalam kejadian kompleks seperti kecelakaan lalu lintas yang juga melibatkan kekerasan atau kebakaran disertai korban luka, fragmentasi sistem ini berisiko fatal.
Masalah layanan darurat di Indonesia bukan sekadar persoalan teknologi, melainkan persoalan tata kelola dan kultur birokrasi. Setiap instansi memiliki domain yang kuat: Polri menguasai ranah keamanan dan kriminalitas, Kementerian Kesehatan bertanggung jawab pada gawat darurat medis melalui jaringan Public Safety Center (PSC) 119, BNPB dan Basarnas menangani bencana dan evakuasi, sementara pemerintah daerah mengoperasikan PSAP 112. Tidak ada satu payung operasional yang mempersatukan mereka semua dalam situasi darurat campuran. Akibatnya, ketika terjadi insiden yang melibatkan berbagai unsur---misalnya kecelakaan lalu lintas yang juga mengandung unsur kriminal atau korban kekerasan---penanganan sering kali terbagi-bagi antara instansi, tanpa koordinasi real time.
Sebagian publik menduga ada tembok resistensi dari Polri untuk bergabung dalam sistem terpadu seperti 112. Namun, hasil penelusuran sejumlah laporan resmi menunjukkan bahwa hambatan utamanya bukanlah penolakan institusional, melainkan ketiadaan mekanisme koordinasi lintas-sektor yang kuat. Kelemahan sistem lebih disebabkan oleh faktor teknis dan struktural: tidak sinkronnya SOP, keterbatasan anggaran PSAP di daerah, rendahnya pelatihan petugas, serta belum adanya komando nasional yang menyatukan semua kanal darurat di bawah satu sistem terpadu.
Negara-negara maju sudah lama memahami bahwa kecepatan dan koordinasi lebih penting daripada sekat birokrasi. Di Amerika Serikat, panggilan 911 terhubung ke sistem Computer-Aided Dispatch (CAD) yang otomatis meneruskan kasus ke instansi terkait---polisi, pemadam, atau medis---tanpa membuat warga menelepon dua kali. Di Uni Eropa, nomor 112 berlaku lintas negara. Warga di Paris, Berlin, atau Roma cukup mengingat satu nomor, sementara sistem di belakangnya disesuaikan dengan instansi lokal. Singapura bahkan menyiapkan dua nomor utama---999 untuk polisi dan 995 untuk ambulans atau pemadam---namun seluruh sistem komunikasi, data lokasi, dan pusat komando berada dalam jaringan terpadu.
Pelajarannya sederhana: satu pintu untuk warga, banyak pintu di belakang layar untuk eksekusi cepat. Pendekatan ini memungkinkan triase otomatis, pelacakan lokasi melalui teknologi Advanced Mobile Location (AML), dan pengiriman tim dengan kompetensi campuran dalam hitungan menit.
Indonesia memerlukan langkah serupa, tetapi dengan model yang sesuai dengan karakter geografis dan kelembagaan kita sendiri. Sebuah Tim Gerak Cepat Terpadu (TGCT) dapat menjadi tulang punggung sistem darurat nasional. Unit ini berfungsi lintas-instansi, mampu menangani situasi kompleks yang melibatkan unsur medis, kriminal, dan keselamatan publik secara bersamaan.
Tim semacam ini bisa beranggotakan tenaga medis (dokter, paramedis), petugas keamanan, petugas pemadam, psikolog lapangan, dan operator komunikasi yang dilatih bersama. Mereka memiliki kemampuan pertolongan pertama, evakuasi, pengamanan area, dan pendokumentasian insiden. Dengan komposisi seperti ini, ketika terjadi kasus campuran---misalnya kekerasan dalam rumah tangga dengan korban luka, atau kecelakaan lalu lintas disertai perampasan---tidak perlu menunggu koordinasi antarinstansi; tim dapat langsung bertindak di bawah protokol tunggal.
Pusat panggilan 112 berperan sebagai dispatcher nasional. Operator melakukan triase berdasarkan kategori: medis, kriminal, kebakaran, atau kombinasi. Jika kategori ganda, TGCT terdekat segera dikerahkan. Sistem seperti ini telah diuji di beberapa kota dunia dan terbukti menekan waktu tanggap menjadi di bawah sepuluh menit.
TGCT idealnya berada di bawah koordinasi lintas kementerian, dipimpin oleh sebuah Badan Layanan Darurat Nasional yang menggabungkan unsur Kominfo, Polri, Kemenkes, BNPB, dan Basarnas. Setiap instansi tetap menjalankan fungsinya, tetapi operasional lapangan bersifat terpadu. Dengan dukungan Computer-Aided Dispatch dan sistem peta digital, komando pusat bisa memonitor setiap insiden secara real time. Indonesia juga bisa menetapkan standar waktu tanggap nasional: panggilan dijawab kurang dari sepuluh detik, tim dikirim dalam satu menit, dan waktu tiba di lokasi maksimal tujuh menit di wilayah urban. Audit berkala dan mystery call dapat dilakukan untuk mengukur kinerja operator serta tingkat kepuasan publik.
Namun membangun sistem terpadu tentu tidak semudah menekan satu tombol. Ada sejumlah tantangan besar yang harus dijawab dengan keberanian politik dan komitmen lintas lembaga. Tantangan pertama adalah kewenangan dan regulasi. Hingga kini, belum ada peraturan presiden yang secara eksplisit menugaskan satu badan untuk mengintegrasikan seluruh sistem darurat nasional. Permen Kominfo hanya memberi mandat administratif. Tanpa koordinasi politik di tingkat nasional, integrasi tak akan berjalan. Karena itu, sistem ini perlu masuk ke dalam Program Strategis Nasional agar memiliki payung hukum dan pendanaan lintas-instansi.
Tantangan kedua adalah ego sektoral. Setiap lembaga memiliki rasa kepemilikan atas domainnya. Reformasi Polri akan diuji di sini---apakah siap memimpin integrasi, bukan memonopoli, dan mau berbagi akses data serta koordinasi dengan instansi lain. Keberanian berbagi komando justru menjadi ukuran baru profesionalisme. Tantangan berikutnya adalah pendanaan dan infrastruktur. Pusat panggilan darurat membutuhkan jaringan fiber, server cadangan, sistem pelacakan lokasi, dan pelatihan operator. Namun dibandingkan dengan nilai nyawa manusia, investasi ini tergolong kecil. Kita sudah membangun jalan tol dan kereta cepat; membangun tol informasi untuk penyelamatan nyawa seharusnya tak kalah penting.
Selain itu, ada tantangan sumber daya manusia. Operator harus memiliki kemampuan komunikasi krisis, mengenali situasi darurat medis dasar, dan memahami prosedur keamanan publik. Artinya, pelatihan lintas disiplin harus menjadi standar nasional, bukan sekadar pelatihan teknis dalam lingkup instansi masing-masing.
Momentum reformasi Polri saat ini bisa menjadi pintu masuk paling strategis. Selama ini, reformasi di tubuh kepolisian sering difokuskan pada disiplin, transparansi, atau penindakan pelanggaran etika. Itu penting, tetapi reformasi sejati adalah yang langsung dirasakan masyarakat. Salah satunya adalah menghadirkan sistem darurat yang cepat, manusiawi, dan terpercaya.
Bayangkan jika Polri menjadi motor integrasi layanan darurat nasional---memimpin tanpa mendominasi. Citra kepolisian akan berubah bukan karena kampanye, tetapi karena tindakan nyata di lapangan: hadir di saat paling kritis dalam hidup warga. Saat itu terjadi, kepercayaan publik tidak perlu dicari; ia datang dengan sendirinya.
Sistem darurat terpadu bukan hanya soal efisiensi birokrasi. Ia menyangkut keadilan sosial. Di negara besar dengan disparitas infrastruktur seperti Indonesia, kesempatan untuk diselamatkan sering bergantung pada di mana seseorang tinggal. Warga kota besar lebih cepat mendapat ambulans daripada warga di pedalaman. Dengan sistem terpadu, distribusi dan komando dapat dirancang berbasis peta risiko: daerah rawan banjir, jalur kecelakaan, atau kawasan padat penduduk.
Lebih jauh, sistem ini dapat menjadi jantung dari konsep keamanan manusia---human security---yang menempatkan keselamatan warga sebagai inti pembangunan. Negara hadir bukan hanya dengan aparat bersenjata, tetapi dengan sirene pertolongan yang datang tepat waktu.
Dari sisi teknologi, semua prasyarat sudah ada. Jaringan fiber optik nasional (Palapa Ring) memungkinkan pusat panggilan nasional terhubung. Sistem pelacakan lokasi otomatis (AML) telah diujicobakan oleh Kominfo dan operator seluler. Aplikasi SATUSEHAT Mobile milik Kemenkes dapat diintegrasikan dengan 119 dan 112. Platform komunikasi pemerintah melalui GovTech Indonesia bisa menjadi tulang punggung sistem ini.
Artinya, yang belum hadir hanyalah satu hal: kemauan politik untuk menyalakan sinyal call for nation. Satu keputusan di tingkat kabinet bisa memulai era baru layanan publik Indonesia---era di mana satu nomor menyatukan seluruh tenaga kemanusiaan bangsa.
Ketika sirene berbunyi, ketika seseorang di ujung jalan menekan nomor darurat, yang diharapkan bukan suara mesin penjawab, melainkan suara manusia yang sigap dan menenangkan: "Tenang, kami sedang menuju ke sana." Itulah makna kehadiran negara yang sesungguhnya. Dan di titik itulah, reformasi Polri, Kemenkes, dan seluruh lembaga publik menemukan bentuk paling nyata: negara yang sigap, manusiawi, dan solider.
Jika Amerika bangga dengan 911, Eropa dengan 112, dan Singapura dengan 995, maka sudah saatnya Indonesia memiliki 112 yang benar-benar bekerja---sebuah sistem yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga mengembalikan kepercayaan warganya kepada negara. Reformasi yang sejati adalah reformasi yang menyelamatkan. Dan mungkin, sejarah akan mencatat, bahwa momentum perubahan itu dimulai dari satu panggilan sederhana: "112, apa keadaan darurat Anda?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI