TGCT idealnya berada di bawah koordinasi lintas kementerian, dipimpin oleh sebuah Badan Layanan Darurat Nasional yang menggabungkan unsur Kominfo, Polri, Kemenkes, BNPB, dan Basarnas. Setiap instansi tetap menjalankan fungsinya, tetapi operasional lapangan bersifat terpadu. Dengan dukungan Computer-Aided Dispatch dan sistem peta digital, komando pusat bisa memonitor setiap insiden secara real time. Indonesia juga bisa menetapkan standar waktu tanggap nasional: panggilan dijawab kurang dari sepuluh detik, tim dikirim dalam satu menit, dan waktu tiba di lokasi maksimal tujuh menit di wilayah urban. Audit berkala dan mystery call dapat dilakukan untuk mengukur kinerja operator serta tingkat kepuasan publik.
Namun membangun sistem terpadu tentu tidak semudah menekan satu tombol. Ada sejumlah tantangan besar yang harus dijawab dengan keberanian politik dan komitmen lintas lembaga. Tantangan pertama adalah kewenangan dan regulasi. Hingga kini, belum ada peraturan presiden yang secara eksplisit menugaskan satu badan untuk mengintegrasikan seluruh sistem darurat nasional. Permen Kominfo hanya memberi mandat administratif. Tanpa koordinasi politik di tingkat nasional, integrasi tak akan berjalan. Karena itu, sistem ini perlu masuk ke dalam Program Strategis Nasional agar memiliki payung hukum dan pendanaan lintas-instansi.
Tantangan kedua adalah ego sektoral. Setiap lembaga memiliki rasa kepemilikan atas domainnya. Reformasi Polri akan diuji di sini---apakah siap memimpin integrasi, bukan memonopoli, dan mau berbagi akses data serta koordinasi dengan instansi lain. Keberanian berbagi komando justru menjadi ukuran baru profesionalisme. Tantangan berikutnya adalah pendanaan dan infrastruktur. Pusat panggilan darurat membutuhkan jaringan fiber, server cadangan, sistem pelacakan lokasi, dan pelatihan operator. Namun dibandingkan dengan nilai nyawa manusia, investasi ini tergolong kecil. Kita sudah membangun jalan tol dan kereta cepat; membangun tol informasi untuk penyelamatan nyawa seharusnya tak kalah penting.
Selain itu, ada tantangan sumber daya manusia. Operator harus memiliki kemampuan komunikasi krisis, mengenali situasi darurat medis dasar, dan memahami prosedur keamanan publik. Artinya, pelatihan lintas disiplin harus menjadi standar nasional, bukan sekadar pelatihan teknis dalam lingkup instansi masing-masing.
Momentum reformasi Polri saat ini bisa menjadi pintu masuk paling strategis. Selama ini, reformasi di tubuh kepolisian sering difokuskan pada disiplin, transparansi, atau penindakan pelanggaran etika. Itu penting, tetapi reformasi sejati adalah yang langsung dirasakan masyarakat. Salah satunya adalah menghadirkan sistem darurat yang cepat, manusiawi, dan terpercaya.
Bayangkan jika Polri menjadi motor integrasi layanan darurat nasional---memimpin tanpa mendominasi. Citra kepolisian akan berubah bukan karena kampanye, tetapi karena tindakan nyata di lapangan: hadir di saat paling kritis dalam hidup warga. Saat itu terjadi, kepercayaan publik tidak perlu dicari; ia datang dengan sendirinya.
Sistem darurat terpadu bukan hanya soal efisiensi birokrasi. Ia menyangkut keadilan sosial. Di negara besar dengan disparitas infrastruktur seperti Indonesia, kesempatan untuk diselamatkan sering bergantung pada di mana seseorang tinggal. Warga kota besar lebih cepat mendapat ambulans daripada warga di pedalaman. Dengan sistem terpadu, distribusi dan komando dapat dirancang berbasis peta risiko: daerah rawan banjir, jalur kecelakaan, atau kawasan padat penduduk.
Lebih jauh, sistem ini dapat menjadi jantung dari konsep keamanan manusia---human security---yang menempatkan keselamatan warga sebagai inti pembangunan. Negara hadir bukan hanya dengan aparat bersenjata, tetapi dengan sirene pertolongan yang datang tepat waktu.
Dari sisi teknologi, semua prasyarat sudah ada. Jaringan fiber optik nasional (Palapa Ring) memungkinkan pusat panggilan nasional terhubung. Sistem pelacakan lokasi otomatis (AML) telah diujicobakan oleh Kominfo dan operator seluler. Aplikasi SATUSEHAT Mobile milik Kemenkes dapat diintegrasikan dengan 119 dan 112. Platform komunikasi pemerintah melalui GovTech Indonesia bisa menjadi tulang punggung sistem ini.
Artinya, yang belum hadir hanyalah satu hal: kemauan politik untuk menyalakan sinyal call for nation. Satu keputusan di tingkat kabinet bisa memulai era baru layanan publik Indonesia---era di mana satu nomor menyatukan seluruh tenaga kemanusiaan bangsa.
Ketika sirene berbunyi, ketika seseorang di ujung jalan menekan nomor darurat, yang diharapkan bukan suara mesin penjawab, melainkan suara manusia yang sigap dan menenangkan: "Tenang, kami sedang menuju ke sana." Itulah makna kehadiran negara yang sesungguhnya. Dan di titik itulah, reformasi Polri, Kemenkes, dan seluruh lembaga publik menemukan bentuk paling nyata: negara yang sigap, manusiawi, dan solider.