Kemiskinan di negeri ini bukan hanya soal penghasilan rendah, tetapi tentang kehilangan arah dan martabat. Seorang ayah yang kehilangan pekerjaan menunduk dalam diam. Seorang ibu bekerja siang malam, namun tetap tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di balik gemerlap kota dan statistik pertumbuhan ekonomi, ada jutaan keluarga hidup di ambang keputusasaan. Ketika tekanan ekonomi menjadi terlalu berat, nilai moral pun ikut retak. Bahkan tubuh manusia bisa berubah menjadi komoditas terakhir untuk bertahan hidup. Fenomena komersialisasi tubuh, yang kini menjalar ke ruang-ruang digital, sering kali berakar dari satu hal yang sama: kemiskinan yang dibiarkan.
Kemiskinan dan komersialisasi tubuh adalah dua sisi dari koin yang sama. Ketika negara gagal menjamin penghidupan, pasar akan mengambil alih---bahkan atas tubuh manusia itu sendiri. Karena itu, menghapus kemiskinan berarti juga mengembalikan martabat manusia. Dan tugas ini tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar, lembaga amal, atau moral individu semata. Ia menuntut strategi negara yang terencana, sistemik, dan berbasis keluarga.
Negara sebenarnya sudah memiliki semua informasi yang diperlukan. Melalui sistem kependudukan, pemerintah tahu siapa kepala keluarga di negeri ini, di mana mereka tinggal, berapa penghasilannya, dan berapa tanggungan yang harus dipenuhi. Namun data itu berhenti sebagai deretan angka---dingin, diam, tanpa makna. Negara tahu siapa yang miskin, tapi tidak tahu bagaimana mengangkat mereka keluar dari kemiskinan. Padahal, di balik data itu ada kisah manusia yang berjuang: ayah yang mencari pekerjaan harian, ibu yang menjahit hingga larut malam, atau anak yang putus sekolah karena tak sanggup membayar SPP. Kita tidak kekurangan data; yang kita kekurangan adalah keberanian untuk bertindak.
Bayangkan bila negara menetapkan satu prinsip sederhana: tidak boleh ada satu pun kepala keluarga di Indonesia yang menganggur. Prinsip ini akan mengubah arah kebijakan sosial dari bantuan menjadi jaminan kerja. Negara tidak lagi sekadar mendata, tetapi memastikan kepala keluarga benar-benar bekerja dan mendapat penghidupan yang layak. Kepala keluarga tidak selalu berarti suami; ia bisa istri, janda, atau anggota keluarga lain yang cukup umur untuk menanggung tanggung jawab ekonomi. Siapa pun yang menjadi penopang keluarga, harus diprioritaskan oleh negara untuk bekerja. Mereka adalah fondasi pertama yang menjaga agar keluarga tetap utuh. Bila dalam satu keluarga tidak ada lagi yang mampu bekerja, maka negara wajib hadir memberi penghidupan dasar secara layak. Ini bukan belas kasihan, melainkan penghormatan terhadap hak dasar manusia: hak untuk hidup bermartabat.
Selama ini pembangunan ekonomi kita sering memaksa rakyat miskin meninggalkan rumahnya demi mencari pekerjaan. Dari desa ke kota, dari keluarga ke keterasingan. Padahal ketika seorang ayah atau ibu jauh dari rumah, yang tertinggal adalah anak-anak yang tumbuh tanpa bimbingan. Keluarga retak bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kehilangan kebersamaan. Karena itu, strategi penghapusan kemiskinan harus dimulai dengan satu prinsip kemanusiaan: bekerja tanpa kehilangan keluarga. Negara perlu memprioritaskan penempatan kerja yang dekat dari rumah. Pekerjaan berbasis komunitas, desa, atau wilayah lokal harus menjadi prioritas utama. Bila peluang di sekitar tempat tinggal terbatas, barulah ditempatkan di wilayah lain dengan dukungan transportasi dan jaminan sosial yang layak. Pekerjaan bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan ekosistem sosial. Dekat rumah berarti dekat dengan anak, dengan pendidikan, dengan cinta. Dan cinta adalah energi sosial yang tak tergantikan oleh uang.
Untuk memastikan setiap kepala keluarga bekerja, negara perlu berperan sebagai penghubung aktif antara dunia kerja, dunia usaha, dan dunia keluarga. Negara tidak boleh hanya menjadi pengamat pasar tenaga kerja, melainkan dirigen yang mengorkestrasi peluang kerja dan keterampilan warga. Sistem pemantauan keluarga berbasis data real-time bisa dibangun agar pemerintah tahu setiap bulan siapa yang sudah bekerja, siapa yang belum, dan siapa yang membutuhkan pelatihan. Monitoring seperti ini bukan untuk menghukum, tapi untuk mendampingi. Negara tidak boleh hadir hanya ketika rakyat salah, tetapi juga ketika mereka lelah. Dengan cara ini, negara benar-benar menjadi pelindung kehidupan, bukan sekadar pemberi bantuan.
Namun penghidupan ekonomi tidak cukup tanpa penghidupan moral. Kepala keluarga---baik suami maupun istri---perlu dibekali dengan ilmu parenting dan etika keluarga. Mereka bukan sekadar pencari nafkah, tetapi juga pendidik pertama dalam hidup anak-anaknya. Pendidikan moral dan keterampilan menjadi orang tua harus menjadi bagian dari strategi nasional penghapusan kemiskinan. Pelatihan ini tidak harus formal; bisa dilakukan di balai desa, masjid, gereja, atau komunitas lokal. Materinya sederhana tapi penting: cara berkomunikasi dengan anak, membangun disiplin, menanamkan nilai kerja keras, dan menjauhkan anak dari gaya hidup instan. Tujuannya bukan untuk menggurui, melainkan untuk membekali keluarga dengan kemampuan mendidik. Keluarga yang terdidik secara moral akan melahirkan anak-anak yang kuat secara nilai dan tidak mudah tergoda oleh materialisme.
Fenomena komersialisasi tubuh tidak akan pernah bisa dihapus hanya dengan razia atau moralitas individu. Ia harus diberantas dari akar ekonominya. Ketika keluarga kehilangan penghidupan dan bimbingan moral, tubuh menjadi satu-satunya modal yang tersisa. Negara yang membiarkan warganya terpaksa menjual tubuhnya demi bertahan hidup adalah negara yang kehilangan rasa. Maka penanganan prostitusi dan eksploitasi tubuh harus dimulai dari penguatan keluarga. Jika setiap kepala keluarga bekerja, jika setiap orang tua memahami tanggung jawab moral terhadap anaknya, maka peluang eksploitasi tubuh akan menyusut drastis. Negara juga perlu menegaskan tanggung jawab hukum dan sosial. Jika anak di bawah umur terlibat prostitusi, orang tua wajib mendapatkan pembinaan atau sanksi sosial---bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk memperbaiki. Sedangkan pelaku dewasa yang sengaja memperdagangkan tubuh atau mengeksploitasi orang lain harus dihukum dengan tegas tanpa kompromi.
Selama puluhan tahun, kita terjebak dalam paradigma bantuan sosial. Setiap kali kemiskinan dibicarakan, yang muncul adalah bansos, BLT, dan subsidi. Padahal bantuan hanya menenangkan, bukan mengangkat. Ia menghidupkan tubuh, tapi tidak memulihkan martabat. Karena itu, paradigma kebijakan sosial harus bergeser: dari bantuan menuju akses. Keluarga miskin tidak butuh belas kasihan; mereka butuh kesempatan yang adil untuk bekerja, berkembang, dan hidup dengan kehormatan. Inilah keadilan sosial yang sejati: bukan semua orang mendapat uang yang sama, tetapi setiap keluarga mendapat peluang yang sama untuk berdiri tegak. Negara yang berkeadilan bukanlah yang dermawan dalam memberi, tetapi yang memastikan tidak ada warga yang tertinggal dari haknya untuk hidup bermartabat.
Bayangkan sebuah Indonesia di mana tidak ada lagi keluarga yang hidup tanpa penghasilan. Setiap kepala keluarga bekerja, setiap anak mendapat perhatian dan pendidikan moral, dan setiap rumah menjadi ruang harapan. Kemiskinan bisa ditekan hingga nol persen karena setiap keluarga diaktifkan secara ekonomi. Komersialisasi tubuh bisa berkurang karena akar moral dan ekonominya telah dibenahi. Negara hadir bukan sekadar lewat proyek dan program, tetapi lewat kehidupan nyata di rumah-rumah warganya. Negara yang kuat bukan yang kaya sumber daya alam, tetapi yang setiap keluarganya hidup dengan martabat. Negara yang sejahtera bukan yang membangun gedung tinggi, tetapi yang memastikan tak ada keluarga yang harus menjual kehormatan demi sesuap nasi.
Sudah saatnya kita membangun paradigma baru: strategi negara yang menghapus kemiskinan dan komersialisasi tubuh. Negara yang tidak hanya menghitung angka kemiskinan, tetapi menghapusnya dengan kerja dan cinta. Negara yang tidak hanya memberi bantuan, tetapi membangkitkan martabat. Negara yang tidak hanya hadir di kertas kebijakan, tetapi di ruang makan, dapur, dan hati setiap keluarga Indonesia. Karena jika setiap keluarga dihidupkan, bangsa pun akan hidup. Kemajuan sejati bukan diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi dari seberapa banyak keluarga yang mampu berdiri tegak tanpa kehilangan cinta, nilai, dan martabatnya.