Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kedaulatan Rakyat, Seberapa Banyak Kita Miliki?

16 Mei 2019   13:14 Diperbarui: 16 Mei 2019   13:48 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber; KartunMania

Seberapa besar kedaulatan rakyat yang sudah kita miliki? Kita yang dimaksud disini orang Indonesia loh. Bagaimana jika kita mulai serabutan, acak, dulu. Kita mulai dengan budaya malu dulu. Kita dalam posisi memiliki kedaulatan rakyat yang tertinggi, menurut penulis, jika para pimpinan, mungkin yang lebih persisnya, jika politisi kita memiliki budaya malu. 

Budaya Malu

Mereka malu jika melakukan perbuatan tercelah. Misal, korupsi itu perbuatan tercelah dan untuk itu segera mengundurkan diri jika tersangkut kasus korupsi. Tersangkut kasus selingkuh, ya jelas harus mengundurkan diri. Sodomi, homoseks, lesbian, jelas ini sangat memalukan dalam budaya Indonesia. Mundur tidak ada pilihan lain.

Ada lagi? Mnyak boz. Kecelakaan transportasi hebat yang menelan mnyak korban nyawa, jelas Menteri Kabinet yang terkait perlu malu dan jangan ditunda-tunda lagi untuk segera mundur. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Rasanya kesemua itu belum kita miliki atau kadar kepemilikan kita tidak cukup besar. Ada contoh nyata? Adalah dan yang paling gampang adalah kasus korupsi. Pejabat negara dan/atau politisi banyak yang jadi Calon Legislator dalam Pemilu serentak 2019 yang baru lalu. Beberapa pejabat negara yang pernah penulis ingat yang pernah terjerat kasus korupsi tidak segan-segan mencalonkan diri kembali dan/atau mencalonkan diri di Pilkada.

Kebebasan Pers dan Bersuara

Wujud nyata kedaulatan rakyat yang tinggi yang lain nya adalah ada nya kebebasan pers dan kebebasan bersuara. Pers tidak boleh di breidel jika mengkritik pemerintah. Pers perlu dilindungi dalam melaksanakan tugas jurnalistik nya. Kompasianer jangan di blokir akun nya jika bersuara terlalu nyaring. Begitu kan Mas Isjet... rasanya bukan algi ya.. Banyak lagi contoh yang lain penulis kira.

Kebebasan bersuara itu juga mencakup kebebasan menulis buku. Jika ada buku yang tidak disukai oleh sekelompok orang atau sekelompok golongan tertentu, dalam iklim kedaulatan rakyat yang tinggi, mereka itu tidak dapat dapat melampiaskan ketidaksukaannya dengan sweeping buku dan atau menteror penulis buku tersebut. Pemerintah juga seharusnya tidak boleh melarang buku yang dirasakan sangat kontra dengan kebijakan pemerintah yang ada saat itu, atau, diperkirakan menyerang pejabat negara dan/atau institusi negara.

Prinsip universal adalah buku harus dilawan dengan buku. Buku jangan dilawan dengan pembakaran dan pembreidelan. .

Ada contoh... ada beberapa boz... tapi kita simpan dulu ya untuk bahan diskusi.

Legislatif

Bagaimana dengan pemilihan legislatif? Sudah ada kedaulatan rakyat disini tetapi masih pada tingkat yang rendah. Kenapa? Itu disebabkan, misalnya, Caleg terpilih bisa diganti oleh partai menurut jalur PAW (Pergantian Antar Waktu). Contoh yang lain adalah jika ada Celeg terpilih mengundurkan diri dan/atau berhalangan tetap, pimpinan partai menunjuk penggantinya. 

Praktik seperti itu tidak akan terjadi jika kedaulatan rakyat sudah cukup baik. PAW perlu dihapus dan lakukan pemilihan sela (interim) jika ada anggota legislatif yang mengundurkan diri atau berhalangan tetap. Mereka itu dipilih oleh rakayat dan yang berhak menggantinya juga rakyat dong.

baca juga: Halal Meneladani Kesuksesan PKS, klik disini.

Eksekutif

Bentuk lain kedaulatan rakyat yang terpasung mencakup tidak dimungkinkan nya Capres/Cawapres independen. Mereka itu perlu diusulkan oleh partai politik dan mekanisme pengusulan oleh partai politik tersebut sangat tidak jelas, jika ada. Praktik dagang sapi menjamur, sebagai konsekuensinya.

Praktik Non-Zero Presidential Threshold juga merupakan bentuk nyata pemasungan kedaulatan rakyat. Banyak orang-orang baik gagal menjadi Capres/Cawapres karena persyaratan threshold ini.

Hal yang serupa untuk ajang Pilkada. Penulis belum melihat mekanisme yang jelas, lagi-lagi jika ada, yang harus ditempuh seseorang untuk dapat dicalonkan oleh partai politik sebagai calon kepala daerah. Persepsi yang sangat tinggi adalah MAHAR POLITIK. 

Memang calon independen dimungkinkan di Pilkada. Namun persyaratan nya sangat ribet dan berat terutama untuk unsur verifikasi faktual. Isu ini pernah dikritik oleh Ahok Basuki Tjahtjah Purnama dalam Pilkada DKI 2018.

baca juga:  Mimpi Menenggelamkan Parpol di Ranah Pilkada, klik disini.

Komen dan kritik dihargai dan sangat diharapkan. Matur sembah nuwun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun