Mohon tunggu...
Alma Wahdie
Alma Wahdie Mohon Tunggu... Tutor - Full Time IRT, Part Time Teacher, Freelance Writer

Forever learner. Emak newbie yang suka nulis. Nulis juga di: http://www.almawahdie.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oh, Malangnya Bu Minah! (Bagian 1)

8 November 2017   11:04 Diperbarui: 8 November 2017   15:42 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini cerita tentang Ibu Minah.
Seorang ibu yang mencintai dan menyayangi keluarga dengan sangat tulus namun entahlah.
Apakah ini patut diceritakan?

Ambil saja hikmah dan pelajaran dari kisah ini.

Pelajaran sebagai seorang ibu: Jangan takut 'terlalu keras' dalam mendidik.
Pelajaran sebagai anak: Peka lah! Jangan sampai menyesal saat waktumu habis.

Kisah ini bermula dari bertahun-tahun sebelumnya ketika Bu Minah sedang jaya dengan karirnya.
Tuhan sangat menyayanginya hingga memberikannya kesempatan merasakan masa-masa emas itu setelah sebelumnya takdir pahit bercerai dengan suami dan bersusah payah membiayai dua orang anaknya mendera. Berkat kerja kerasnya akhirnya masa sulit itu terlewati.

Keputusan bercerai dengan suaminya itu dipilih demi kebahagian hatinya yang selama ini terkukung dalam derita.
Dipertahankannya dua orang anak lelaki agar dapat sepenuhnya ia jaga dan lindungi sepenuh jiwa.
Tak ada harta benda yang tersisa untuknya kala itu. Bahkan rumah yang jelas-jelas ia beli pun tak kuasa dipertahankan di meja hijau. Ia berpisah dengan lelaki yang pernah menjadi belahan hatinya memboyong duo kecil dan kembali pada ibu-bapaknya.

Berbekal keteguhan hati, Bu Minah nekad menjalani hidup sebagai janda cerai.
Memulai semua dari awal demi menyongsong masa depan yang cerah bersama kedua anaknya nanti.
Siang malam ia bekerja. Pagi hari setelah mengurus keperluan anaknya, ia pun pergi mengajar di salah satu SD dekat rumah yang ia kontrak. Setelah pulang dari sekolah itu, ia bergegas menyiapkan makanan untuk putra-putranya. Berlanjut menjelang sore hari ia mengajar ke sebuah lembaga kursus yang tak jauh dari rumah pula. Hingga malam menjelang, beberapa anak tetangga pun ikut belajar di rumah. Berkat keuletan dan keteguhan hatinya, pundi-pundi uang pun mulai terkumpul.

Satu per satu keinginannya bisa dicapai. Karirnya pun merangkak naik.
Bu Minah pindah ke sebuah rumah yang ia beli. Tak lagi mengontrak. Puji syukur kehadirat Allah.

Hari berganti hari, Tahun berganti tahun, anak-anak Bu Minah semakin besar.
Si sulung akhirnya kuliah di sebuah kampus negeri jurusan komputer akutansi. Sungguh kebanggaan tersendiri bagi Bu Minah ketika akhirnya anaknya duduk di bangku kuliah. Harapan dan cita-citanya ia sandarkan kepada putra-putranya itu, berharap kehidupan mereka dapat menjadi semakin baik ke depannya nanti.

Sementara si bungsu, putra kedua Bu Minah saat itu tengah duduk di bangku SMA.
Memang jarak lahir keduanya tak terlalu jauh. Bu Minah merasa beruntung ada dua lelaki yang akan menjaga dan menjadi sandaran hidupnya di masa tua kelak. Tapi, Bu Minah lupa dan tak pernah menyangka bahwa kelak ia harus mendera perih sekali lagi. Perih yang ternyata lebih menyakitkan daripada bercerai dengan belahan hatinya dulu.

Beberapa tahun di awal masa kuliah, anak sulung Bu Minah ternyata mengkhianati kepercayaan sang bunda.
Beralasan kegiatan kampus ke kota di pulau seberang, ia pamit kepada Bu Minah. Tak pernah terbersit bahwa anaknya akan menodai kepercayaannya kala itu. Semua kegiatan kampus ia dukung dan is fasilitasi. Dengan keadaan ekonomi mereka yang sudah sangat jauh membaik, Bu Minah bahkan membekali kedua anaknya dengan kendaraan pribadi. Sulung mendapatkan sebuah mobil dan adiknya sebuah motor. Sungguh Allah menyayangi Bu Minah dan mengangkat derajatnya. Niatnya tulus hendak membahagiakan kedua anaknya karena ia merasa tak sepatutnya anaknya bersusah hati terlebih ketika ia memilih bercerai. Suatu tekad 'yang mungkin salah' karena ada niatan Bu Minah untuk menunjukan pada mantan suaminya bahwa: SAYA MAMPU!

Oh, Bu Minah...

Sebenarnya tak sanggup aku melanjutkan kisah ini. Terlalu pilu rasanya jika teringat keadaan Bu Minah yang sekarang.
Raganya sehat tapi hatinya terluka dalam. Sayangnya, anaknya tak kunjung peka.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun