Mohon tunggu...
Ferdi Ali
Ferdi Ali Mohon Tunggu... -

Kebenaran sejati bersumber pada kearifan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Tanda-tanda Zaman dalam Pilpres 2014

21 Agustus 2014   00:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:01 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis : Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI
(Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di www.teglobal-review.com)
PENDAHULUAN
Pada suatu hari Alexander Agung berhasil menangkap bajak laut yang senantiasa mengacau lautan. Kemudian terjadi dialog antara Kaisar dengan sang bajak laut. Iskandar Agung: ”Mengapa kamu mengacau lautan?” Dibalas oleh sang bajak laut: ”Mengapa Baginda berani mengacau dunia? Sebelum Sang Kaisar bereaksi, si bajak laut berkata lagi: “Apakah karena aku merompak dengan perahu kecil, aku disebut maling? Sedang Anda, karena melakukannya dengan kapal besar, dipanggil kaisar!” (Noam Chomsky).

ILUSTRASI diatas menjadi fenomena yang pas ketika kita menengok kondisi Indonesia saat ini yang kekayaan alamnya dijarah, dirampok habis-habisan oleh para investor asing atas nama pembangunan dan kemajuan. Dan ketika ada suara-suara yang mencoba mengkritisi maka munculah hujatan balik dengan istilah-istilah anti investasi, anti asing, anti demokrasi, dan sebagainya. Ketika rakyat hanya mencoba bertahan hidup, bekerja menguras keringat mencari 1 gram emas saja, maka mereka langsung dihujat sebagai penggali liar. Padahal rakyat hanya ingin meminta sedikit keadilan, agar bisa membeli pakain, bisa memberi makan keluarga, bisa membayar hutang yang menumpuk, bisa memberi anak uang jajan ketika sekolah. Demikian pula ketika ada seorang petani kecil di sebuah kampung kecil berhasil menemukan bibit unggul langsung di cap menjiplak, melanggar hak cipta, pencuri, dan sebagainya.

Suara keadilan dari seorang anak bangsa kini telah menjadi musuh bersama bagi penguasa negeri dan pemilik modal yang mencoba mempertahankan hegemoninya. Bahkan suara keadilan dianggap sebagai anti globalisasi oleh dunia internasional. Suara keadilan kini menjadi usang terpinggirkan oleh rayuan iblis yang memabukkan. Rasa kebanggaan sebagai anak bangsa lumer tergerus gaya hidup hedonis yang mempesonakan dan mengairahkan.

Sehingga realitas berubah menjadi reality show. Terpaan informasi melalui media massa selama 24 jam penuh setiap hari telah merubah dunia menjadi panggung sandiwara. Masyarakat sudah tidak mampu lagi membedakan mana “dunia nyata” dan “dunia fantasi” yang dikemas dalam pertunjukan-pertunjukan, festival-festival, film, iklan, sinetron, dan sebagainya. Masyarakat telah tercabut dari akar budayanya meninggalkan warisan kearifan lokal yang telah menjaga kesadaran mereka selama ini.

Ya, dunia kini telah menjadi panggung sandiwara. Bagi mereka yang tidak mengenal jadi dirinya maka mereka akan menjadi aktor-aktor yang melengkapi panggung sandiwara itu. Mengikuti irama iblis yang memabukkan dan menggairahkan.

Dalam kondisi ini seruan keadilan dan kebaikan menjadi tidak bermanfaat. Mengapa? Karena penjajahan yang sifatnya sistemik dan global tidak bisa dilawan dengan kata-kata. Keadilan tidak datang dari langit. Keadilan harus direbut. Tentu saja dengan cara-cara yang demokratis dan beradab. Dan Pilpres 2014 ini adalah momentum dan kesempatan untuk merubah nasib bangsa kita menjadi lebih baik.

PILPRES 2014: MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN

Pilpres kali ini sesungguhnya adalah sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati. Sebuah peristiwa politik yang mungkin baru akan kita saksikan 7 abad lagi. Sejak kejayaan Sriwijaya abad ke 7, Majapahit abad ke 14, maka sekarang tibalah saatnya kebangkitan Indonesia Raya di abad ke 21.

Meskipun peristiwa ini oleh sebagian orang biasa saja dan tidak menarik – namun bagi sebagian orang lagi, orang-orang yang berpikir, tampilnya Prabowo Subianto sebagai capres adalah sebuah tanda-tanda zaman. Sebuah era kebangkitan Indonesia Raya yang telah diramalkan oleh sejarah. Mengapa? Bayangkan saja sebuah konspirasi besar dan sistematis yang didukung oleh kekuatan global berusaha keras dengan menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan Prabowo Subianto dari arena politik. Peristiwa yang paling jelas adalah kompaknya seluruh partai politik, diluar partai Gerindra, untuk mengganjal pencapresan Prabowo Subianto melalui Parliamentary Threshold 20%. Dan berhasil.

“Bahwa Prabowo Subianto sudah masuk kotak, dan tidak mungkin bisa lolos bertarung dalam Pilres 2014 – karena dianggap sudah pasti tidak lolos Parliamentary Threshold 20% yang sudah ditetapkan.”

Skenario tersebut memang berjalan dengan mulus. Dan benar saja sesudah perhitungan Pileg, Partai Gerindra hanya mendapat 11,81%, alias tidak lolos Parliamentary Threshold 20%. Gerindra tidak bisa mencalonkan Presiden Sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun