Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balada Pencari Kerja dan Tukang Sate

18 Juli 2018   21:22 Diperbarui: 18 Juli 2018   23:22 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah membaca cerita dari Meita Eryanti yang berjudul Cerita tentang Bursa Kerja dan Pencari Kerja yang Tidak Siap Bersaing, saya jadi teringat cerita dari teman sekolah saya.

Cerita ini sederhana saja. Cerita dari seorang teman sekolah waktu duduk di bangku SMK. Beberapa hari yang lalu, ia baru saja bertemu dengan temannya. Temannya itu jauh lebih muda daripada dirinya. Katanya, baru lulus sekolah dan belum mendapatkan pekerjaan.

Mereka berdua janjian di salah satu warung kopi pinggir jalan. Sekitar daerah alun-alun Bekasi. Dengan sebungkus rokok yang saling berbagi dan dua gelas kopi hitam mereka akrab berbincang. Dalam perbincangan ia diserahkan sebuah map berwarna cokelat dengan ukuran kertas polio. Tentu saja sudah bisa ditebak. Surat lamaran kerja.

Dengan senang hati ia ingin membantu temannya itu. Posisi dia di tempat bekerja hanyalah seorang teknisi. Bukan seorang yang duduk di bagian Human Resources Departement. Dan tanpa basa-basi ia mengatakan apa adanya, "Gue kerja di Jakarta. Jadi mekanik di bengkel mobil. Lo emang mau kerja di Jakarta?"

"Ya, gak apa-apa, Bang. Gue mau. Tapi kalau bisa cariin tempat kerjanya yang di Bekasi aja. Terus, hari Sabtu Minggu bisa libur". Pintanya dengan polos.

Teman saya terperanjat lalu terdiam sejenak. Ia melanjutkan percakapan, "Tapi gue kerjanya dari hari Senin sampai Sabtu. Terkadang gue juga masuk di hari Minggu, Loh..."

"Iya gak apa-apa juga, Bang. Yang penting gajinya gede."

Ia kembali melihat ke arah temannya. Temannya tersenyum. lalu ia menghisap rokoknya yang masih membara kemudian bilang, "Gue cuma bisa bantu masukin lamaran lo aja, ya. Persoalan dipanggil apa engga, diterima apa enggak. Ya... itu di luar kuasa gue".

 "Oke. Siap, Bang..."

Segelas kopi hitam miliknya tandas. Ia langsung pamit dengan membawa map cokelatnya. Ia tidak ingin menjelaskan lebih jauh tentang hal apa saja yang ia kerjakan. Sepeda motor yang ia Kendarai semakin jauh melaju dari warung tempat ia bertemu. Tak lama ponselnya berdering. Ternyata si pelamar kerja yang menelpon.

"Hallo, Bang.. maaf itu surat lamarannya ga jadi ya.."

"Maksudnya?"

"Iyaa maksdunya gak jadi melamar di tempat kerja Abang. Saya mau melamar di daerah Cikarang aja."

"Oke. Lamarannya mau dibalikin atau gimana?"

"Dibawa aja, Bang. Tapi jangan di kasih ke HRD."

"Oke." Jawabnya singkat. Kemudian telpon terputus.

Terkadang saya merasa bingung sendiri dengan pencari kerja yang modelnya seperti ini. Entah, saya tidak tahu lagi bagaimana nasib pencari kerja yang seperti ini. Meskipun ia mengaku pribumi, meskipun ia mengaku sebagai putra daerah. Putra daerah yang ingin bekerja di daerahnya sendiri. Putra daerah yang merasa peluangnya lebih tinggi untuk masuk ke suatu perusahaan. Putra daerah ini lupa bahwa ia punya banyak pesaing dari putra-putra daerah lain yang merantau ke daerahnya.

Saya pribadi juga pernah merasakan susahnya mencari kerja dan betapa tidak enaknya rasa menganggur apalagi sampai berbulan-bulan. Tetapi berangkat dari apa yang saya rasakan itu, saya berjanji pada diri sendiri jika mendapatkan pekerjaan suatu hari nanti, apapun dan dimanapun pekerjaan itu tentu akan saya kerjakan dengan sungguh-sungguh.

Mendengar cerita-cerita itu saya teringat dengan tukang sate di dekat rumah saya.

Jika teman-teman ada di sekitar Jalan Agus Salim, Bekasi, cobalah belokan sedikit kendaraan atau langkah anda menuju Jalan Ki Mangun Sarkoro. Ancer-ancernya kalau dari arah Tugu Perjuangan kurang lebih 50 meter sesudah SDIT Salsabila atau sebelum Sekolah Muhamadiyah. Sebab disana ada kepulan asap yang aromanya khas.

Ya, betul sekali. Asap sate. Saya sangat merekomendasikan teman-teman untuk melihat, jika perlu membeli sate Madura Tiga Bersaudara ini. 18.000 untuk 10 tusuk sate kambing, 15.000 untuk 10 tusuk sate ayam. Saya suka dengan cita rasanya. Di lidah saya, bumbu kecapnya terasa segar dan bumbu kacangnya pun terasa halus.

Poin tambah di mata saya, penjualnya masih muda-muda, rapih, wangi, dan style berpakaiannya pun kekikinian. Saya suka anak-anak muda itu. Pandanganya penuh optimis, semangat kerjanya tinggi dan yang sangat jelas bisa kita lihat, tidak ada rasa malu atau gengsi saat memegang kipas yang terbuat dari anyaman bambu itu.

Sesuai dengan namanya, kedua pemuda ini berasal dari Madura. Jika tempo hari di beranda facebook saya ada orang yang berteriak-teriak soal pekerjaan yang tidak memadai di daerahnya sendiri. Tiba-tiba saya ingin melihat apakah orang yang berteriak-teriak itu, orang yang mengaku putra daerah itu bisa atau tidak mengipasi sate kehidupan ini. Jangan-jangan ia cuma bisa makan dari belas kasih orang tuanya meskipun ia sudah berbekal ilmu yang tinggi.

***

NB: Terinspirasi dari Puthut EA yang berjudul Martabak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun