Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajarlah Egois Saudaraku

14 November 2018   10:14 Diperbarui: 14 November 2018   10:34 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak yang bilang, kedua Paslon kita yang akan berlaga di Pemilu 2019 nanti akan membawa perubahan dan menjadi Ratu Adil bagi masing-masing pengikutnya.  Tapi, ada beberapa hal yang luput dari perhatian kita, karena terlalu asyik larut dalam pertentangan politik identitas yang memuakkan, namun memabukkan.

Kita bergidik ngeri tiap kali mendengar kata diktatorisme dan kesewenang-wenangan, namun kerap mendewakan sosok pemimpin dan seakan-akan menyerahkan nasib kita di pundak mereka. Ayolah, kita jauh lebih baik dan mampu ketimbang menggantungkan nasib pada pemimpin.

Jelas, tak akan ada yang membantah bahwa memilih pemimpin itu penting. Dipimpin sudah menjadi sebuah keniscayaan, tapi apakah kita mampu memimpin diri sendiri; itu yang menjadi sebuah pertanyaan.

Pola dan kondisi konflik semacam ini akan menjauhkan kita dari kemandirian dan keajegan untuk mengampu nasib kita sendiri. Selalu menyalahkan atau mengagung-agungkan suatu pihak atas tiap-tiap kemalangan, kesenangan, kemelaratan, atau kemewahan yang kita rasakan.

Padahal, begitu banyak potensi diri dan tenaga yang bisa kita alihkan daripada ribut-ribut melulu perkara pilpres. Sudahlah, siapapun presidennya kelak, nelayan akan tetap melaut, petani membajak sawah, dan rutinitas kita akan terus berlanjut, toh kalau berubah itu karena perkara nasib saja, sedikit sekali hubungannya sama presidennya siapa. (Paragraf ini dikhususkan untuk kami, masyarakat menengah ke bawah yang sudah menganggap bermimpi itu suatu kemewahan hidup)

Kita berkoar-koar di jalan, di rumah, di kantor, di warkop, di medsos, tanpa memikirkan sedikitpun nasib diri kita ke depannya. Toh, mereka itu sudah lebih baik nasibnya daripada kita, ngapain dipikirin pagi-siang-malam? Mending kita pikirin nasib mereka-mereka yang masih sibuk menata lapar dan dahaga yang belum tentu terpuaskan setiap harinya.

Mungkin karena Pemilu selalu mendatangkan lapangan pekerjaan makanya kita terlalu asik hanyut di dalamnya. "Biaya politik itu mahal, Jenderal!", mungkin kalimat itu akan terdengar di film propaganda pemerintah berikutnya. 

Dari tukang sablon sampai buzzer medsos bergelimang duit tiap pemilu tiba. Tak bisa disalahkan juga sih namanya orang cari rezeki, tapi belajar profesional dong, masa urusan pekerjaan dibawa sampai ke atas kasur? Padahal kan kasur diciptakan agar kita merasakan kenikmatan duniawi, bukannya malah dibikin resah olehnya!

Makanya, yuk kita belajar egois. Mulai pikirin nasib sendiri tanpa harus gantungin nasib sama si calon penguasa. Persija Jakarta aja bisa berdiri sejak 1928, dari Masa Sumpah Pemuda sampai film A Man Called Ahok tayang di Bioskop klub ini bisa berdiri tanpa harus musingin siapa Gubernur Jenderal VOC, Indonesia bakal merdeka atau tidak, sampai pemilu mendatang siapa yang bakal menang.

Egois bukan berarti biadab, egois itu mengandung unsur ilmu selamat diri, biar kita gak ikutan terjun bebas ke jurang ramai-ramai. Pemilu mendatang jelas kita harus nyoblos, gunakan hak pilih itu penting, tapi jangan sampai hal itu jadi yang paling penting!

Yuk, jadi manusia waras dan berbudi pekerti lagi 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun