Kalau guru gajinya besar, kecil kemungkinan guru curhat masalah ekonominya di hadapan murid. Mereka akan benar-benar mengajarnya dan tak lagi kebingungan sendiri di kelas. Ngajar kok bingung urusan duniawiyah dulu, kan lucu. Ngajar kan harus ikhlas, kan gitu. Ikhlas dalam artian fokus dan jernih mengajarnya tanpa adanya distraksi sana-sini. Bukan guru harus menerima saja terhadap gajian yang sedikit. Guru yang profesional wajib memberi patokan harga untuk sekali mengajarnya. Itu sah-sah saja. Atau boleh juga pengibaratannya seperti ini: yang diberi sedekah tidak mengharapkan keikhlasan yang bersedekah. Yang diharapkannya uang sedekahnya tok! Yang wajib piket bersih-bersih kelas bukan keikhlasannya yang diharapkan, melainkan bersihnya kelas saja yang diharapkan semua murid. Lagi: yang diharapkan murid adalah terdidik, bukan keikhlasannya guru mengajar. Sebab itu urusannya guru dan Tuhannya, apakah pahalanya dikurangi atau masih tetap. Dan itu urusannya ukhrawiyah. Mata manusia tak dapat menjangkaunya.
Jadi, mengetahui hal ini semua, apakah saya berhenti mengajar? Jawabannya tidak! Saya tetap menjadi guru, sebab saya masih bodoh. Sedangkan guru diwajibkan berkembang dan selalu selangkah lebih dulu dibandingkan muridnya. Karena saya sendiri ingin mewujudkan Cita-cita Bangsa melalui Aspirasi Pendidikan Yang Bermutu untuk Semua Urusan finansial, saya mah bodo amat. Saya sudah kaya dari lahir! (iyakah?).
Penulis : Uwais Al Qorny/Pajaran Pasuruan
Editor  : Ali Rofik/MTs ASH SHOLIHUDDIN
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI