Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sengon: Hijau Dipandang, Hijau di Dompet

4 Maret 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:31 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kerjabakti memperbaiki SD Cibangkonol yang sebagian bangunannya roboh ternyata diluar dugaan. Bukan hanya banyak warga yang datang untuk membantu tenaga, tapi banyak juga yang menyumbang bahan baku. Pa Ewon, bandar kayu albu (sengon, Albazia Alcataria) mempersilakan pihak sekolah untuk mengambil bahan kayu yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangunan sekolah yang rubuh itu. Ia sendiri ikut bekerja bersama warga lain, termasuk Kabayan yang menyumbang dua kilo paku dan semur jengkol buat konsumsi yang dimasak dan diantarkan oleh Nyi Iteung istrinya.

Pa Ewon, meski tercatat sebagai warga Cibangkonol, tapi jarang berada di kampung. Ia lebih banyak berada di Bandung mengurusi bisnisnya, jual beli kayu sengon. Bahkan, konon Pa Ewon sekarang punya pabrik pengolahan kayu sengon untuk peti buah-buahan yang akan diekspor. Makanya, waktu Pa Ewon ikut kerjabakti, ia jadi selebritis dadakan dan banyak disapa dan ditanyai warga soal usahanya. Apalagi Pa Ewon pulang ke kampung dengan membawa sebuah mobil mewah yang menunjukkan keberhasilan usahanya. Maka, pas sesi istirahat sambil menikmati suguhan semur jengkol Nyi Iteung, banyak warga yang berkumpul untuk mulung ilmunya, terutama ilmu per-sengonan.

“Usaha kayu sengon itu gampang kok. Tanah di kampung kita ini sangat cocok untuk menanam sengon,” buka Pa Ewon. “Kayu sengon itu serbaguna, dan harganya naik terus. Sekarang saja, untuk pohon sengon yang berumur lima tahun, perbatangnya bisa 500 sampe 700 ribu, gelondongan. Kalau sudah diolah jadi papan atau balok, bisa satu juta sampai satu setengah juga permeter kubiknya...” tambahnya.

Mendengar angka-angka yang menggiurkan itu, Oleh bertanya, “Memangnya selain buat papan dan balok, kayu sengon dipakai buat apalagi Pa Haji?” tanyanya. “Wah kalo ditanya kegunaan mah banyak banget, selain buat bahan bangunan yang kualitasnya lumayan dan banyak dicari karena harganya cukup murah, kayu sengon banyak dicari buat peti buah, papan penyekat, papan penahan cor, batang korek api, pensil, bahan kertas, dan banyak juga dipakai untuk membuat mebel sederhana. Batangnya yang tidak terpakai masih laku untuk kayu bakar, dan daunnya bisa dipake buat makanan ternak, ya sapi, kerbau, kambing dan domba juga doyan, kayak saya yang doyan makan semur jengkolnya Kang Kabayan ini!” jawab Pa Ewon sambil melirik Kabayan.

Kabayan tersenyum, lalu ikut bertanya, “Saya juga nanam sengon Pa Haji, tapi sudah dua tahun nggak gede-gede, terus batangnya kemana-mana, nggak lurus. Bagaimana tuh?” tanyanya. Pa Ewon menyeruput teh tawar yang tersaji di depannya, “Nanamnya di mana?” Pa Ewon balik nanya. “Ya di kebon atuh Pa Haji, masak di sawah!” jawab Kabayan. Pa Ewon mesem, “Maksud saya, kalau nanamnya di kebon, jangan digabungkan dengan tanaman lain, apalagi di kebonnya sudah banyak pohon lain yang lebih besar. Kalau begitu, batang pohonnya pasti bengkok-bengkok dan bercabang. Kalau bengkok dan bercabang-cabang, susah laku buat kayu balok atau papan, paling buat peti atau kayu bakar, harganya jauh lebih murah!” jawab Pa Ewon.

“Terus yang bagus bagaimana atuh Pa Haji?” tanya Oleh lagi. “Nanam sengon itu kalau bisa di lahan yang terbuka, jadi tumbuhnya lurus. Terus, jarak tanamnya jangan terlalu rapat, minimal tiga kali dua meter, bibitnya pake tuturus (kayu penyangga) supaya batangnya lurus. Jangan lupa dipupuk dan harus dijaga jangan sampai tumbuh rumput di sekitarnya, apalagi kalau rumputnya lebih tinggi dari bibit sengonnya sendiri..” jelas Pa Ewon.

“Cuma begitu Pa Haji?” kali ini Kabayan yang bertanya. Pa Ewon mengangguk, “Gampang kan? Tapi supaya hasilnya lebih baik, rajin-rajin dipupuk dan kalau sudah berumur dua tahun, mesti dilakukan penjarangan, selang-seling, satu dipelihara, satu ditebang, terus begitu, jadi sengonnya punya ruang tumbuh yang lebih baik dan kayunya cepat besar,” jawab Pa Ewon.

“Nggak ada hamanya Pa Haji?” tanya Oleh yang juga sama bersemangatnya seperti Kabayan. Pak Ewon tersenyum, “Hama mah selalu ada. Semut, tikus, rayap, cacing... tapi biasanya nyerang bibit, bukan pohon yang sudah gede. Kalau bibit sudah ketahuan rusak ya buruan ganti. Kalau yang gede hamanya paling jamur, itu juga kalau musim hujannya ngaco. Tapi gampang diatasinya kok, tinggal dibuang bagian yang terserang terus dikasih spirtus campur belerang dan kapur. Atau kadang ada hama penggerek batang, itu juga tinggal dibor sedikit, terus dimasukan insektisida. Kalau ada lagi, paling ulat, itu juga tinggal disemprot pake campuran tembakau dan air, dikasih sabun colek sedikit. Beres...”

“Gampang banget ya Pa Haji?” komentar Kabayan. “Iya Yan, kok saya nggak kepikiran buat nyeriusin nanam sengon ya?” timpal Oleh. “Nah itu, kalau Kang Kabayan sama Kang Oleh kepikiran buat budidaya sengon, siapkan saja lahannya, nanti saya kasih bibit dan kalo sudah waktunya panen, saya yang beli hasilnya. Prinsipnya, nanam sengon itu sambil membantu program penghijauan lingkungan, dompet juga ikutan hijau terus. Enak kan?” tanyanya.

Kabayan mengangguk-angguk, “Kalau gitu, kebon saya nanti saya bersihin buat saya tanamin sengon semua!” kata Kabayan. Pa Ewon langsung menyela, “Jangan semua atuh Kang. Sisain kebonnya buat tanam yang lain, jengkol kek, pete kek atau buah-buahan lain. Kalau semuanya ditanami sengon, bisa-bisa nanti saya makan sayur daun sengon, bukan semur jengkol lagi!” kata Pa Ewon sambil tertawa. “Lagian Kang, kalau mau nanam sengon, baiknya jauh-jauh dari perkampungan atau jalur listrik, supaya pas panen atau penebangan aman, nggak membahayakan penduduk,” tambah Pa Ewon.

Kabayan mengangguk-angguk lagi, lalu melirik Oleh, “Kumaha Leh? Siap jadi juragan sengon kayak Pa Haji?” tanyanya. Oleh meletakkan tangan kanannya di depan wajahnya, posisi menghormat, “Siaap. Saya juga pengen naik haji, haji sengon!” katanya. Pa Ewon dan Kabayan mengamini.

Jogja, 4 Maret 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun