Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Betapa Sempitnya Pandangan tentang Borobudur Selama ini

11 Mei 2021   22:31 Diperbarui: 11 Mei 2021   22:41 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si Sulung saat berpose di depan relief Borobudur beberapa tahun lalu (dokumen pribadi)

Padahal, sebagai akademisi, beberapa kali saya membimbing skripsi yang berkaitan dengan Borobudur. Tapi karena bidangnya komunikasi, skripsi-skripsi mahasiswa saya lebih banyak bicara soal manajemen komunikasi, terutama komunikasi pemasarannya. Sama sekali tak ada kaitannya dengan sejarah maupun relief-relief itu. Apalagi hingga mengkaji kerangka komunikasi di masa itu.

Ketika sejumlah seniman dan budayawan Indonesia menggaungkan gerakan Sound of Borobudur yang bercita-cita menjadikan Borobudur pusat musik dunia, yang terlihat dalam bayangan saya adalah menjadikan Borobudur sebagai tempat pementasan musik. Ini seperti yang sudah sering dilakukan juga di kawasan Candi Prambanan.

Ternyata saya salah. Rupanya Sound of Borobudur bukan sekadar itu. Akar filosofisnya jauh lebih dalam. Gerakan ini bukan untuk menjadikan kawasan candi ini sebagai tempat pentas musik. Tapi Borobudur itu sendirilah yang menjadi semangat untuk menggaungkan musik. Bahwa musik --dengan berbagai peralatannya---ternyata sudah hidup sebelum Borobudur berdiri, dan relief Borobudur hanyalah media penyampainya.

Saya sama sekali tak pernah menyadari bahwa di dalam relief-relief Borobudur itu, alat musik dari berbagai jenis --tiup, petik, pukul, hingga membran---sudah diceritakan, bahkan digambarkan dengan sangat jelas! Relief Borobudur ternyata bukan hanya menggambarkan tentang kehidupan Sang Budha, tapi jauh lebih luas dari itu.

Ini jelas sebuah perspektif yang benar-benar baru bagi orang awam seperti saya. Selama ini, saya --dan mungkin kebanyakan orang-- terjebak dalam gambaran sempit mengenai Borobudur yang hanya berkaitan dengan agama Budha, dan belakangan apalagi kalau bukan soal pariwisata.

Gambaran ini sangat kuat, karena belum lama saya masih menonton acara Acces 360 World Heritage yang ditayangkan di saluran TV National Geographic. Di situ pun, gambaran mengenai Borobudur juga masih tentang monumen Budha yang berada di sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Termasuk bagaimana orang-orang yang bekerja tak kenal lelah untuk menjaganya dari berbagai ancaman, mulai bencana alam hingga pariwisata itu sendiri.

Ketika para seniman telah membukakan cakrawala baru tentang Borobudur yang kemudian didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia sebagai bagian dari program Wonderful Indonesia, tentulah tidak cukup sampai di situ.

Perspektif baru ini jelaslah harus dikemukakan, ditampilkan, dan digaungkan ke seluruh dunia. Wonderful Indonesia bukan hanya soal keindahan alam dan budaya Indonesia saja. Tapi jauh melampaui itu. Yakni mencakup berbagai aspek kehidupannya, baik di masa lampau, saat ini, dan tentu saja di masa depan.

Para seniman dan budayawan itu sudah memulainya dari Borobudur. Kini menjadi tantangan untuk bidang-bidang keilmuan lain untuk membuka tabir misteri Borobudur yang mungkin masih tersembunyi. Dan tentu saja, harapannya, tidak hanya berhenti di Borobudur, karena negeri ini tidak hanya punya Borobudur. Biarlah Borobudur menjadi tonggaknya, tonggak bagi kita untuk menyadari betapa besar dan kayanya negeri kita ini.

Saya sendiri, jika ada kesempatan berkunjung lagi ke Borobudur nanti, mungkin akan mencoba membuka mata lebih lebar. Siapa tahu, menemukan perspektif lain, setidaknya dari kacamata keilmuan yang saya geluti, komunikasi. Tak hanya sekadar mengantar kerabat berwisata atau sibuk foto-foto belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun