Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Betapa Sempitnya Pandangan tentang Borobudur Selama ini

11 Mei 2021   22:31 Diperbarui: 11 Mei 2021   22:41 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si Sulung saat berpose di depan relief Borobudur beberapa tahun lalu (dokumen pribadi)

Entah sudah berapa kali saya mengunjungi kawasan Candi Borobudur, baik secara sengaja masuk ke dalam kompleks percandiannya, maupuan hanya sekadar melintas di daerah sekitarnya. Bulan Maret kemarin pun masih sempat melintasinya, dalam perjalanan dari Jogja menuju Tegal. Memang tidak masuk ke dalam, karena memang bukan tujuan utama. Hanya sempat mampir menikmati sajian mangut beong terkenal di salah satu warung yang tak jauh dari kawasan candi.

Kunjungan pertama ke Borobudur sekitar tahun 1990, saat darmawisata SMP dari Ciamis ke Jogja. Tentu saja Borobudur masuk dalam daftar kunjungan wajib. Pun dengan kunjungan kedua tiga tahun berselang saat di bangku SMA.

Dalam dua kunjungan itu, saya masih ingat dengan tugas untuk membuat semacam laporan perjalanan. Di dalamnya tentu saja disertai dengan kisah-kisah tempat yang dikunjungi. Bekal uang jajan waktu itu yang tak seberapa, alih-alih dipakai beli oleh-oleh, malah dibelikan booklet fotokopian mengenai serba-serbi candi Borobudur, dimulai dari sejarahnya hingga informasi-informasi lainnya.

Booklet itulah yang kemudian membuka sedikit wawasan saya tentang candi Budah terbesar di dunia yang sempat masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia itu. Tentu saja, karena harus membuat karya tulisan laporan perjalanan itu.

Kalaulah tak ada booklet itu, darimana informasinya bisa didapatkan? Google atau Wikipedia belum lahir. Dalam buku pelajaran sejarah, informasinya sangat terbatas. Sementara itu, saat berada di candi, boro-boro bisa mengingat penjelasan dari guide, yang ada malah sibuk foto-foto meski dengan kamera seadanya, atau bayar jasa fotografer dengan kamera polaroid.

Setelah pindah ke Jogja tahun 2009, barulah intensitas kunjungan ke Borobudur meningkat. Bukan apa-apa, bagi kebanyakan orang luar, Candi Borobudur dianggap berada di Jogja, atau Magelang itu bagian dari Jogja.

Anggapan itu membuat setiap ada teman atau keluarga yang berkunjung ke Jogja, selalu saja minta diantar ke Borobudur. Padahal, butuh satu setengah hingga dua jam berkendara dari pusat Kota Jogja ke Borobudur. Sama sekali tak bisa dibilang dekat. Apalagi kalau di akhir pekan atau di musim liburan, pasti lebih lama karena macet.

Berkali-kali mengunjungi Candi Borobudur, jujur saja, saya tak pernah memperhatikannya dengan seksama. Bahwa di sana ada relief yang bercerita, ada patung-patung Budha yang banyak hilang kepalanya, ada stupa-stupa, itu saya ingat.

Kapan dibangun dan di zaman kerajaan apa, kemudian ditemukan kembali oleh siapa, dibangun kembali kapan? Saya hanya pernah tahu karena pernah membacanya. Tapi tidak ingat sama sekali. Apalagi jika ditanya, "Apa yang diceritakan dalam relief-reliefnya?" Saya harus menggelengkan kepala.

Ya, saya tak punya bekal cerita tentang Borobudur selain informasi dasar sebagai candi Budha terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Itu saja. Berbeda misalnya dengan kisah Candi Prambanan. Itupun soal legenda lisannya, mengenai kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, bukan sejarah faktualnya.

Jadi bisa dikatakan, pengetahuan saya soal Borobudur adalah nol koma sekian.

Padahal, sebagai akademisi, beberapa kali saya membimbing skripsi yang berkaitan dengan Borobudur. Tapi karena bidangnya komunikasi, skripsi-skripsi mahasiswa saya lebih banyak bicara soal manajemen komunikasi, terutama komunikasi pemasarannya. Sama sekali tak ada kaitannya dengan sejarah maupun relief-relief itu. Apalagi hingga mengkaji kerangka komunikasi di masa itu.

Ketika sejumlah seniman dan budayawan Indonesia menggaungkan gerakan Sound of Borobudur yang bercita-cita menjadikan Borobudur pusat musik dunia, yang terlihat dalam bayangan saya adalah menjadikan Borobudur sebagai tempat pementasan musik. Ini seperti yang sudah sering dilakukan juga di kawasan Candi Prambanan.

Ternyata saya salah. Rupanya Sound of Borobudur bukan sekadar itu. Akar filosofisnya jauh lebih dalam. Gerakan ini bukan untuk menjadikan kawasan candi ini sebagai tempat pentas musik. Tapi Borobudur itu sendirilah yang menjadi semangat untuk menggaungkan musik. Bahwa musik --dengan berbagai peralatannya---ternyata sudah hidup sebelum Borobudur berdiri, dan relief Borobudur hanyalah media penyampainya.

Saya sama sekali tak pernah menyadari bahwa di dalam relief-relief Borobudur itu, alat musik dari berbagai jenis --tiup, petik, pukul, hingga membran---sudah diceritakan, bahkan digambarkan dengan sangat jelas! Relief Borobudur ternyata bukan hanya menggambarkan tentang kehidupan Sang Budha, tapi jauh lebih luas dari itu.

Ini jelas sebuah perspektif yang benar-benar baru bagi orang awam seperti saya. Selama ini, saya --dan mungkin kebanyakan orang-- terjebak dalam gambaran sempit mengenai Borobudur yang hanya berkaitan dengan agama Budha, dan belakangan apalagi kalau bukan soal pariwisata.

Gambaran ini sangat kuat, karena belum lama saya masih menonton acara Acces 360 World Heritage yang ditayangkan di saluran TV National Geographic. Di situ pun, gambaran mengenai Borobudur juga masih tentang monumen Budha yang berada di sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Termasuk bagaimana orang-orang yang bekerja tak kenal lelah untuk menjaganya dari berbagai ancaman, mulai bencana alam hingga pariwisata itu sendiri.

Ketika para seniman telah membukakan cakrawala baru tentang Borobudur yang kemudian didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia sebagai bagian dari program Wonderful Indonesia, tentulah tidak cukup sampai di situ.

Perspektif baru ini jelaslah harus dikemukakan, ditampilkan, dan digaungkan ke seluruh dunia. Wonderful Indonesia bukan hanya soal keindahan alam dan budaya Indonesia saja. Tapi jauh melampaui itu. Yakni mencakup berbagai aspek kehidupannya, baik di masa lampau, saat ini, dan tentu saja di masa depan.

Para seniman dan budayawan itu sudah memulainya dari Borobudur. Kini menjadi tantangan untuk bidang-bidang keilmuan lain untuk membuka tabir misteri Borobudur yang mungkin masih tersembunyi. Dan tentu saja, harapannya, tidak hanya berhenti di Borobudur, karena negeri ini tidak hanya punya Borobudur. Biarlah Borobudur menjadi tonggaknya, tonggak bagi kita untuk menyadari betapa besar dan kayanya negeri kita ini.

Saya sendiri, jika ada kesempatan berkunjung lagi ke Borobudur nanti, mungkin akan mencoba membuka mata lebih lebar. Siapa tahu, menemukan perspektif lain, setidaknya dari kacamata keilmuan yang saya geluti, komunikasi. Tak hanya sekadar mengantar kerabat berwisata atau sibuk foto-foto belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun