Padahal, sebagai akademisi, beberapa kali saya membimbing skripsi yang berkaitan dengan Borobudur. Tapi karena bidangnya komunikasi, skripsi-skripsi mahasiswa saya lebih banyak bicara soal manajemen komunikasi, terutama komunikasi pemasarannya. Sama sekali tak ada kaitannya dengan sejarah maupun relief-relief itu. Apalagi hingga mengkaji kerangka komunikasi di masa itu.
Ketika sejumlah seniman dan budayawan Indonesia menggaungkan gerakan Sound of Borobudur yang bercita-cita menjadikan Borobudur pusat musik dunia, yang terlihat dalam bayangan saya adalah menjadikan Borobudur sebagai tempat pementasan musik. Ini seperti yang sudah sering dilakukan juga di kawasan Candi Prambanan.
Ternyata saya salah. Rupanya Sound of Borobudur bukan sekadar itu. Akar filosofisnya jauh lebih dalam. Gerakan ini bukan untuk menjadikan kawasan candi ini sebagai tempat pentas musik. Tapi Borobudur itu sendirilah yang menjadi semangat untuk menggaungkan musik. Bahwa musik --dengan berbagai peralatannya---ternyata sudah hidup sebelum Borobudur berdiri, dan relief Borobudur hanyalah media penyampainya.
Saya sama sekali tak pernah menyadari bahwa di dalam relief-relief Borobudur itu, alat musik dari berbagai jenis --tiup, petik, pukul, hingga membran---sudah diceritakan, bahkan digambarkan dengan sangat jelas! Relief Borobudur ternyata bukan hanya menggambarkan tentang kehidupan Sang Budha, tapi jauh lebih luas dari itu.
Ini jelas sebuah perspektif yang benar-benar baru bagi orang awam seperti saya. Selama ini, saya --dan mungkin kebanyakan orang-- terjebak dalam gambaran sempit mengenai Borobudur yang hanya berkaitan dengan agama Budha, dan belakangan apalagi kalau bukan soal pariwisata.
Gambaran ini sangat kuat, karena belum lama saya masih menonton acara Acces 360 World Heritage yang ditayangkan di saluran TV National Geographic. Di situ pun, gambaran mengenai Borobudur juga masih tentang monumen Budha yang berada di sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Termasuk bagaimana orang-orang yang bekerja tak kenal lelah untuk menjaganya dari berbagai ancaman, mulai bencana alam hingga pariwisata itu sendiri.
Ketika para seniman telah membukakan cakrawala baru tentang Borobudur yang kemudian didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia sebagai bagian dari program Wonderful Indonesia, tentulah tidak cukup sampai di situ.
Perspektif baru ini jelaslah harus dikemukakan, ditampilkan, dan digaungkan ke seluruh dunia. Wonderful Indonesia bukan hanya soal keindahan alam dan budaya Indonesia saja. Tapi jauh melampaui itu. Yakni mencakup berbagai aspek kehidupannya, baik di masa lampau, saat ini, dan tentu saja di masa depan.
Para seniman dan budayawan itu sudah memulainya dari Borobudur. Kini menjadi tantangan untuk bidang-bidang keilmuan lain untuk membuka tabir misteri Borobudur yang mungkin masih tersembunyi. Dan tentu saja, harapannya, tidak hanya berhenti di Borobudur, karena negeri ini tidak hanya punya Borobudur. Biarlah Borobudur menjadi tonggaknya, tonggak bagi kita untuk menyadari betapa besar dan kayanya negeri kita ini.
Saya sendiri, jika ada kesempatan berkunjung lagi ke Borobudur nanti, mungkin akan mencoba membuka mata lebih lebar. Siapa tahu, menemukan perspektif lain, setidaknya dari kacamata keilmuan yang saya geluti, komunikasi. Tak hanya sekadar mengantar kerabat berwisata atau sibuk foto-foto belaka.