Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (105) Perginya Sang Pelindung

15 Maret 2021   11:51 Diperbarui: 16 Maret 2021   14:57 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ini usia Soso masuk 18 tahun, meski di catatan sekolahnya ia masih 17 tahun. Ia sendiri tak peduli tentang hari lahirnya, apakah 6 Desember 1878, 18 Desember 1878, 21 Desember 1878, atau tanggal 21 Desember 1879 seperti di catatan sekolah.

Dulu ia bangga dengan tanggal yang terakhir, karena merasa lebih muda, tak terlalu malu pada kawan-kawan sekolahnya yang lebih muda. Tapi sekarang, ia tak peduli, sekalipun dianggap paling tua, entah itu di angkatannya maupun di antara anak-anak yang tergabung dalam Lingkaran Setan.

Bahkan mungkin ia merasa dengan lebih tua, ia dianggap lebih dewasa, dan dengan begitu lebih dihormati oleh teman-temannya. Meski kawan-kawannya bukan hanya menghormatinya karena usia, tapi juga karena kepemimpinan dan pemikirannya yang jauh melampaui mereka.

Soal penampilan fisiknya, ia juga mulai terlihat berbeda. Cambang dan kumisnya mulai tumbuh tak beraturan. Rambutnya bahkan sudah tak pernah dipotong sejak awal masuk tahun ketiga.

Berkali-kali ia ditegur gurunya, tapi ia tak mempedulikannya. Selalu saja ada alasannya, salah satunya, "Tak ada hubungannya antara penampilan dengan kecerdasan dan keimanan!" katanya. Ia berani berdebat soal itu, panjang lebar sekalipun.

Selain itu, ia juga memanfaatkan kedekatannya dengan Romo Serafim, rektor yang masih resmi menjabat, meski tak aktif. Ketika Romo Serafim datang ke sekolah meski bukan untuk bertugas ia datang untuk menyambutnya. Ia membantu lelaki tua itu berjalan menuju ruangan rektor yang ditempati oleh Romo Germogen sebagai pejabat pelaksana.


Saat paduan suaranya tampil lagi di Teater Imperial, Soso dengan sengaja menjemput Romo Serafim dari pesanggarahannya di lereng Mtatsminda dengan menyewa kereta kuda. Dimintanya kawan-kawannya yang tak manggung untuk menemaninya selama pertunjukan.

Sampai suatu hari, Romo Serafim bahkan datang ke sekolah hanya untuk menemuinya! Jelas itu membuat sekolah geger, terutama guru-guru hingga Romo Germogen. Apa yang dibicarakan? Tak ada orang yang tahu, tak juga ia memberitahu siapapun, termasuk kawan-kawannya sendiri. Ia hanya mengatakan dengan setengah membual, "Romo Serafim butuh teman ngobrol, kesepian di pesanggrahannya!"

Meski sesungguhnya, pertemuan itu justru membuat Soso khawatir. Romo Serafim memang sudah terlihat lebih sehat, tapi justru itulah ia menyampaikan kepada Soso soal keinginannya untuk mundur dari jabatannya, dan pensiun untuk beristirahat.

"Mungkin belum saatnya Romo..." kata Soso yang menemuinya di ruang tamu, alih-alih di ruangan rektor. "Saya merasakan keberadaan Romo masih sangat diperlukan di sini..."

"Bukankah semuanya baik-baik saja sekarang?" tanya lelaki tua itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun