Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (78) Sepucuk Surat

13 Februari 2021   23:44 Diperbarui: 14 Februari 2021   21:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (77) Bergerak dan Menunggu

*****

Hari sudah sore. Soso mulai gelisah. Apakah Tatiana bener-bener akan datang atau tidak, ia tak tahu. Pikirannya juga bercabang-cabang, antara memikirkan kawan-kawannya, juga memikirkan gadis yang baru dikenalnya di Rustavi beberapa hari yang lalu itu. Kadang juga ia kepikiran soal Natasha. Bisa-bisanya perempuan itu masih hadir dalam pikirannya, padahal Soso sudah berusaha untuk melupakannya.

Tapi memang sulit. Melihat si Lado, ia jadi teringat omongannya tentang Natasha. Memikirkan Tatiana, juga sama saja. Pun ketika dia memikirkan teman-temannya, para buruh itu, Natasha masih saja tersangkut-sangkut.

Bahwa Natasha memang cantik, sangat cantik bahkan, itu bukan alasan utama untuk tetap mengingatnya. Soal cantik, Irena ataupun Tatiana tak kalah cantiknya. Hanya saja ada sesuatu yang lain yang dirasakannya saat bersama Natasha, yang berbeda dengan saat ia bersama gadis-gadis lain, Bonia, Irena, apalagi Tatiana yang baru dikenalnya. Itulah yang sulit dimengerti oleh Soso sendiri.

Soal Tatiana, selain karena awalnya memang iseng, Soso juga merasa kasihan jika ia terus mempermainkannya. Ia bukan menyesali keisengannya. Tapi ia menyesali kebohongannya. Andai saja dulu ia tak pakai pura-pura sebagai orang Rusia, mungkin semuanya akan berbeda. Mungkin Tatiana tak sudi mengajak ke rumahnya, karena seperti pengakuannya, dilarang orang tuanya.

Kalaupun Tatiana tetap menyukainya, itu malah akan menjadi jauh lebih mudah. Tinggal lihat saja seberapa jauh gadis itu menyukainya jika tahu bahwa ia adalah pribumi, kere, dan hanya seorang siswa seminari yang tak jelas masa depannya. Keluarga pun ancur-ancuran.

Soso kepikiran untuk berkata jujur nanti, mengatakan soal siapa dia yang sesungguhnya. Pikirnya, kalau Tatiana marah dan meninggalkannya, ya sudah. Urusan selesai. Kalau ia tak keberatan, memaafkan kebohongannya, ya itu lebih baik. Tinggal lihat nanti bagaimana kelanjutannya.

Toh, sampai hari menjelang gelap, gadis itu belum juga datang.

*****

Hari sudah gelap. Tak ada tanda-tanda adanya seseorang yang datang ke kontrakan si Lado itu. Bahkan suara kereta kuda, yang dibayangkan Soso mengantar Tatiana, juga tak pernah terdengar. Dari tadi siang, ia tak mendengar suara kereta kuda lewat di jalan kecil di depan rumah itu.

Apa gadis itu menemani urusan ibunya dulu, lalu baru akan mengunjunginya besok, Soso juga tak tahu. Ia mulai bosan. Sudah terlalu lama menunggu tanpa ada yang dikerjakannya. Beres-beres rumah sudah selesai dari tadi siang.

Perutnya sudah mulai keroncongan. Dari tadi ia malas pergi mencari makan karena takut Tatiana datang saat rumah kosong.

Dilihatnya kedai Jerman di seberang rumah si Lado itu. Ia pun memutuskan untuk pergi ke sana, mencari makanan apa saja yang bisa dipakai untuk mengganjal perutnya. Kalau ke situ, tak ada masalah. Jaraknya sangat dekat. Ia bisa nongkrong sambil memperhatikan jalanan dan rumah si Lado.

Soso pun segera meluncur ke kedai yang hanya butuh beberapa langkah saja itu. Mungkin karena malam Minggu, kedai itu cukup ramai. Meja-meja banyak terisi oleh pengunjung yang kebanyakan laki-laki, dan umumnya mereka asyik berbincang dengan bahasa yang tak dimengerti Soso. Ia hanya yakin bahwa mereka berbincang dengan bahasa Jerman, karena selain kedai itu kedai milik orang Jerman, daerah itu memang dihuni oleh banyak orang Jerman, baik yang sudah lama berada di Tiflis, maupun yang baru.

Ia tak tahu kenapa banyak sekali orang Jerman di situ, bahkan sampai ada pemukimannya segala layaknya pemukiman orang Rusia yang berada di bagian lain Tiflis. Setahunya, orang-orang Jerman itu banyak datang setelah kedatangan Rusia, sebelum itu, tak ada, hanya satu-dua saja mungkin.

Di sebelah mana negeri Jerman itu, dan seberapa jauh dari Tiflis, ia juga tak tahu. Ia hanya tahu bangsa itu melahirkan banyak filsuf dan pemikir yang karya-karyanya sering ia baca. Salah satunya ya Karl Marx itu. Saking banyaknya para pemikir Jerman yang ia baca karyanya, sampai-sampai ia sempat berpikir untuk belajar bahasa Jerman, agar bisa bisa membaca karya-karya mereka secara langsung, bukan terjemahannya saja, yang mungkin sudah banyak kekeliruan dalam penerjemahannya.

Soso duduk di pojokan dekat jendela. Sengaja ia memilih di situ agar bisa mengawasi jalanan.

Seorang pelayan perempuan yang cukup dikenalnya, karena sering melayaninya saat memesan kopi --tapi ia tak tahu namanya, datang menghampirinya. "Mau ngopi?" tanyanya dalam bahasa Rusia. Selalu begitu, sejak Soso pertama kali berbicara dengannya.

Soso mengangguk, "Tapi aku juga pengen makan... apa yang ada di sini?"

"Sup ayam dan roti, mau?" tanyanya.

"Ya sudah, itu saja!" jawab Soso. Ia tak mau kelamaan mikir, yang penting makan. "Jangan lupa kopinya!"

Perempuan yang mungkin berusia 20 tahunan lebih itu mengangguk, tersenyum lalu menyibakkan rambut pendeknya yang berwarna kemerahan dan meninggalkannya. Baru kali ini Soso memperhatikannya lebih seksama. Manis juga ternyata, hehe...

Tak lama, gadis itu kembali dengan pesanannya. Tanpa pikir panjang lagi, Soso langsung menghabiskan makanannya. Yaah, rasanya agak-agak aneh di lidahnya, tapi tak apalah, masih cukup bisa diterima.

Beres makan, sambil menyeruput kopinya dan menyalakan cangklong, Soso memeriksa jalanan. Tak ada tanda apa-apa. Hanya beberapa pria yang melintas, itupun malah masuk ke kedai ini.

Makin malam, tak ada apapun. Sementara kedai itu bukannya beranjak sepi, tapi malah bertambah ramai. Soso memanggil lagi gadis pelayan itu, "Bawakan aku secangkir kopi lagi!" kata Soso.

Tak lama pesanannya datang. "Menunggu seseorang?" tanya pelayan itu.

Soso mengangguk sambil tersenyum.

"Lado?"

Soso menggeleng, "Aku sudah menginap di rumahnya sejak semalam, barusan juga dari situ..."

"Siapa?"

"Seseorang yang berjanji akan menemuiku..."

"Kalau kamu tak keberatan, aku bisa menemanimu. Tapi sekarang mau ganti pakaian dulu, giliran kerjaku sudah selesai..." katanya.

"Oh, tentu saja. Dengan senang hati...." kata Soso.

Gadis pelayan itu pergi meninggalkannya. Beberapa menit kemudian, dia sudah menemui Soso lagi dengan pakaian yang sudah berganti. Soso mempersilakannya duduk di kursi yang ada di seberangnya.

"Kita sudah sering bertemu, tapi aku tak tahu namamu!" kata gadis itu.

"Panggil saja aku Koba..." kata Soso.

Gadis itu tersenyum, "Aku Sabine..." katanya. "Maaf kalau bahasa Rusiaku tak bagus. Aku belum terlalu lama di sini. Lagi pula, di sini pengunjungnya lebih banyak orang Jerman juga..."

Soso tersenyum, "Nggak apa-apa, aku juga bukan orang Rusia. Yang penting kan kita masih bisa ngobrol, setidaknya, kalau aku pesan sesuatu, aku bisa mengatakannya, dan kamu mengerti!"

"Georgia?"

Soso mengangguk.

"Tapi bahasa Rusiamu bagus!" katanya.

Soso nyengir. "Apa boleh buat, meski di rumahku sendiri, aku harus belajar!"

Gadis itu tertawa kecil, "Tak apa. Aku juga seharusnya belajar bahasa Georgia, bukannya Rusia..."

"Kamu tinggal di Tiflis atau dari kota lain?"

"Aku tinggal di sini, meski bukan berasal dari sini. Kampungku dari Gori. Entahlah kau pernah mendengarnya atau tidak!" jawab Soso.

Gadis itu tertawa lagi, "Aku tak tahu. Belum pernah mendengarnya juga..."

"Dari mana asalmu?" Soso balik bertanya.

"Hamburg..."

"Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"

"Orangtuaku mengerjakan proyek di sini. Aku ikut. Ini kedai pamanku. Daripada aku bengong, ya sudah, aku kerja di sini saja, sambil menunggu proyek ayahku selesai dan kembali ke Jerman..." jawabnya.

"Naik apa ke sini? Dan berapa lama perjalanannya?"

"Kapal laut. Berapa lama ya, antara sepuluh hari sampai dua mingguan kayaknya. Aku lupa saking bosannya..." ia tertawa.

Soso ikut tertawa. "Aku belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu..." katanya. "Mungkin satu saat nanti. Aku juga ingin berkunjung ke Jerman, bertemu dengan orang-orang hebat di sana..."

Tiba-tiba pandangannya teralihkan oleh sebuah kereta kuda yang berhenti di depan rumah si Lado. "Aku harus pamit, ada orang yang mungkin orang yang kutunggu..." kata Soso. Ia segera merogoh kantongnya, tapi tak menemukan uang di situ.

"Temui saja dulu tamumu," kata Sabine. "Kau bisa membayarnya nanti. Siapa tahu itu juga bukan orang yang kautunggu..."

"Kau mau menungguku di sini?" tanya Soso, "Sekalian aku mengambil uangku di sana..." katanya.

Sabine mengangguk, "Akan kutunggu beberapa menit..."

"Oke, sebentar ya..." kata Soso. Ia pun bergegas keluar dari kedai itu dan menuju kereta kuda yang berhenti di depan rumah si Lado itu. Tapi ia tak melihat penumpang lain di dalam kereta itu, kecuali hanya kusirnya yang mondar-mandir di depan rumah.

Begitu Soso mendekat, kusir itu segera menghampirinya. "Saya mencari rumah Tuan Koba Ivanovich..." katanya.

"Saya sendiri!" jawab Soso.

Lelaki itu merogoh mantelnya dan mengeluarkan sepucuk surat, "Saya dititipi surat oleh Nona Tatiana Robishkaya..." katanya sambil menyodorkan surat itu pada Soso.

"Orangnya kemana?" tanya Soso.

"Di Rustavi..." jawabnya.

Soso bengong. Lah kok!

*****

BERSAMBUNG: (79) Kepincut Jerman, Lupa Rusia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun