Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (60) Tamu Dadakan Wali Kota Poti

26 Januari 2021   12:31 Diperbarui: 27 Januari 2021   18:27 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (59) Berlayar di Laut Hitam

*****

Menjelang tengah hari, kapal yang ditumpangi Soso mulai merapat ke sebuah pelabuhan kecil tapi cukup tertata rapi, tak seperti pelabuhan di Batumi yang meski ramai tapi agak kotor dan berantakan. Kota kecil Poti sudah terlihat. Sebelum kapal benar-benar merapat ke dermaga, Jabeer menemuinya.

"Nanti kalau kapal sudah merapat, kau langsung turun saja ya. Sekarang aku sudah harus bersiap-siap menurunkan barang, mungkin tak sempat lagi menemuimu..." kata lelaki itu.

"Terimakasih atas bantuannya Bang..." kata Soso.

"Jangan kau pikirkan. Aku senang sudah membantumu dan berbagi cerita..." jawabnya. "Kalau Paman Hameed adalah temanmu, maka kau juga adalah temanku. Tapi mungkin kita tak akan bertemu lagi, kecuali kelak kau menjadi seorang pelaut, haha..."

Soso tertawa. Jabeer menyalaminya lalu pamitan. Soso sendiri menunggu hingga kapal benar-benar merapat ditambatkan di dermaga, dan tangga-tangga diturunkan. Ia mulai melihat orang-orang berkerumun di bawah sana.

Dari atas kapal, para pekerja mulai menurunkan barang-barang yang langsung diambil alih oleh orang-orang yang menunggu di dermaga tadi. Sebagian dari mereka naik ke kapal dan mengangkuti barang-barang.

Soso segera menuju tangga dan menuruninya bersama lalu-lalang para pembawa barang. Ketika ia sudah sampai di dermaga kayu dan hendak melangkah meninggalkan kapal, ia menyempatkan diri untuk melihat kembali kapal kayu itu untuk yang terakhir kalinya. Kapal pertama yang pernah dinaiki dalam hidupnya, meski hanya sebuah perjalan singkat. Ia tak melihat Jabeer, ia pun segera melangkah menjauh dari kawasan pelabuhan.

Satu-satunya yang terpikir oleh Soso saat itu adalah menuju stasiun Poti. Setelah bertanya kiri kanan, ia sampai di stasiun itu, tak terlalu jauh dari pelabuhan tadi. Tapi stasiunnya sepi. Perjalanan kereta waktu itu memang masih belum terlalu ramai, karena pembangunan jalurnya masih banyak yang belum selesai. Jumlah keretanya pun belum terlalu banyak. Hanya orang-orang dengan keperluan tertentu saja yang naik kereta. Apalagi harga tiketnya masih cukup mahal. Lagipula, untuk orang biasa, berpergian jarak jauh waktu itu memang tak terlalu diperlukan.

"Kamu terlambat..." kata seseorang yang ditemui Soso. "Kereta api sudah berangkat tadi pagi. Kamu ya nunggu besok lagi..."

Soso langsung lemes. Berarti ia harus bermalam dulu, dan ia tak tahu harus tidur di mana. Poti juga bersalju, meski tak setebal di Batumi. Tidur sembarangan bisa membuatnya sakit.

"Kamu mau kemana?" tanya orang itu lagi.

"Gori, Pak..."

"Jauh ya.. habis dari mana sih?" tanyanya lagi.

Soso pun bercerita singkat, termasuk dirinya yang sekolah di Seminari Tiflis.

"Sayangnya aku tak bisa membantumu..." kata lelaki itu, "Rumahku jauh, di Grigoleti. Kalau kau menginap di rumahku, takutnya besok malah terlambat lagi ke sini..."

"Nggak apa-apa Pak, biar nanti saya cari tempat tidur sendiri. Mungkin sebuah penginapan murah," kata Soso.

"Atau begini saja, kuantar kamu pada tetanggaku yang bekerja di balai kota. Mungkin dia bisa mencarikan tempat untukmu bermalam. Kalau kau bisa menginap di sana, itu bagus, karena tak terlalu jauh dari sini..." kata lelaki itu lagi.

"Pasti merepotkan Pak..." kata Soso.

"Nggak lah. Aku kan sekalian mau pulang, arahnya sama..." jawabnya. "Ayo kalau mau..."

Soso tak punya pilihan. Ia lalu mengikuti lelaki itu berjalan ke arah selatan menyusuri jalanan yang berada di bantaran sebuah sungai. Lelaki itu menyebut, itu adalah Kanal Rioni yang menghubungkan Sungai Rioni di sebelah utara kota dengan Laut Hitam. Pusat kota Poti berada di delta itu. Sungai Rioni yang bermuara di Laut Hitam hulunya berada di sebelah utara Kutaisi, dan melewati Samptredia.

Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah bangunan yang cukup megah tak jauh dari Kanal Rioni. Balai Kota Poti. Dan beruntung, orang yang dicari oleh lelaki yang berbaik hati membantu Soso itu langsung bisa ditemuinya. Lelaki itu menceritakan soal Soso, dan tetangganya yang bekerja di situ langsung bersedia membantu.

"Ada ruang di dekat pantri yang bisa kaupakai kalau untuk sekadar bermalam..." katanya pada Soso.

Lelaki yang mengantarnya pamitan. Soso berterimakasih kepadanya. Setelah itu, ia mengikuti tetangganya yang bekerja di gedung itu. Soso sempat memperkenalkan diri, dan lelaki itu menyebutkan panggilannya, Didi.

"Kau boleh istirahat di situ, aku harus kerja dulu..." kata Pak Didi.

Soso mengangguk. Ia lalu duduk di depan sebuah ruangan yang menghadap ke taman bagian belakang. Karena tak tahu apa yang harus dikerjakan, Soso mengeluarkan buku yang dibawanya, Bug-Jargal, novel karya Victor Hugo. Novel itu sudah lama ingin dibacanya, tapi selalu tertunda-tunda.

Keasyikan membaca, Soso tak melihat keadaan sekeliling, sampai sebuah suara mengagetkannya. "Buku apa yang kaubaca itu, anak muda?"

Soso mengangkat wajahnya dengan sedikit kaget. Di depannya berdiri seorang lelaki setengah baya yang berpakaian baik. Meski kepalanya agak botak, tapi kumis dan cambangnya tampak lebat dan tertata baik. Jelaslah Soso tak mengenalinya.

"Sebuah novel, Tuan..." jawab Soso sambil bangkit dari duduknya.

Dari kejauhan, Pak Didi tampak berlari dengan tergesa-gesa ke arahnya. "Maaf, Pak, ini keluarga saya. Dia mau pulang ke Gori, menunggu kereta besok pagi. Jadi saya lancang mengizinkannya bermalam di sini nanti..." katanya pada lelaki itu.

"Ya sudah nggak apa-apa, aku hanya tanya soal buku yang dibacanya..." kata lelaki itu lagi, lalu melirik Soso lagi, "Coba kulihat bukumu..."

Soso menyerahkannya.

Lelaki itu melihat sampulnya sekilas dan mengembalikannya pada Soso. "Kau anak terpelajar juga rupanya. Sekolah di mana?"

"Tiflis, Tuan..." jawab Soso.

"Sekolah apa?"

"Seminari, Tuan..."

"Mmmm anak seminari membaca Hugo? Aneh juga..." katanya.

"Saya hanya menyukai sastra saja, Tuan..." jawab Soso lagi.

"Sastra apa yang kau suka?"

"Saya membaca novel, cerita pendek, puisi juga... sesekali saya juga menulis puisi..." jawab Soso.

"Kau menulis puisi?" tanya lelaki itu, "Puisi apa?"

"Puisi biasa saja Tuan, tidak istimewa, tapi ada beberapa yang sudah dimuat di majalah, di Iveria..." jawab Soso.

"Puisimu dimuat di Iveria? Iveria-nya Ilia Chavchavadze?"

Soso mengangguk, "Ya Tuan, kebetulan saya mengenal Pangeran Ilia, beberapa kali berdiskusi di tempatnya..."

"Siapa namamu?"

"Saya Koba Djugashvili Tuan, tapi saya memakai nama Soselo untuk puisi saya.." jawab Soso.

"Rasanya pernah kudengar. Ayo ikut aku!"

"Saya Tuan?" tanya Soso, bingung.

"Iya kamu, kita lihat koleksi majalah Iveria-ku, barangkali ada yang memuat puisimu itu..." kata lelaki itu. Lelaki itu lalu melirik pada Pak Didi, "Sekarang anak muda ini jadi tamuku, kau urus pelayanannya seperti tamu-tamu lain. Hubungi bagian rumahtangga."

"Baik Tuan..." kata Pak Didi.

Lelaki itu mengajak Soso untuk mengikutinya. Soso bingung sendiri dan melirik Pak Didi. Lelaki itu memberi kode agar Soso menurutinya. Masalahnya, Soso tak tahu siapa lelaki itu, apa pula jabatannya di gedung itu.

Setelah memasuki gedung, mereka berpapasan dengan banyak orang. Orang-orang mengangguk hormat kepada lelaki itu. Soso makin penasaran. Siapa lelaki itu? sampai akhirnya petunjuk itu datang. "Selamat siang Pak Walikota, apa betul ada tamu hari ini?" tanyanya.

Walikota? Soso kaget.

"Ya, anak muda ini tamuku. Dia perlu menginap satu malam sebelum berangkat ke stasiun besok pagi..." kata lelaki yang mengajak Soso itu.

"Baik Pak!" lelaki itu mengangguk.

Soso diajak masuk ke dalam sebuah ruangan yang besar. Ada sebuah meja, dan lemari yang penuh dengan buku-buku. Soso terpesona. Barangkali tidak salah, lelaki itu mungkin memang walikota. Tapi siapa namanya?

Setelah duduk berhadapan, Soso memberanikan diri untuk bertanya. "Dengan hormat, Tuan, saya belum mengenal siapa Tuan, saya takut tidak berlaku sepantasnya!"

Lelaki itu tertawa, "Tenang saja anak muda, siapa namamu tadi, Koba atau Soselo?"

"Koba, Tuan. Tapi Pangeran Ilia memanggil saya Soselo, Soso..."

"Aku Niko Nikoladze. Aku mengenal Pangeran Ilia. Dia mentorku dalam politik, meski dalam beberapa hal berbeda pandangan. Biasa itu...." katanya sambil menyerahkan setumpuk majalah Iveria. "Coba kau tunjukkan mana puisimu?"

"Tuan Walikota Poti?" tanya Soso sambil mencari edisi Iveria yang memuat puisinya.

"Ya begitulah, meski aslinya aku dari Jikhaisi, Samptredia..."

Untunglah Soso menemukan dua majalah yang memuat puisinya, Pagi, dan Si Tua Ninika. Kalau tidak, bisa malu dia. Nanti dikiranya ngaku-ngaku. Padahal orang yang berada di depannya bukan orang sembarangan, seorang walikota, yang entah kenapa bernama dan berasal dari Georgia.[1] Soso tak ingin menanyakannya langsung. Ia berniat mencari tahu soal lelaki ini pada Pangeran Ilia, nanti kalau ia kembali ke Tiflis.

Walikota Nikoladze melihat dua puisi yang disodorkan oleh Soso. "Ah iya.. aku ingat sekarang. Pantas saja Pangeran Ilia memuatnya. Rupanya kau penulisnya..." katanya.

Soso mengangguk sambil tersenyum, "Puisi recehan saja Tuan..." katanya merendah.

"Aku tahu standar Pangeran Ilia. Tak mungkin dia asal-asalan memuatnya!" kata Tuan Nikoladze lagi. "Aku hanya tidak mengerti, kau bisa menulis puisi seperti ini, sementara kau sekolah di Seminari Tiflis!"

"Saya bukan siswa yang baik, Tuan. Seharusnya itu tak boleh, makanya saya pakai nama samaran..." jawabnya.

Tuan Nikoladze tertawa. "Justru apa yang kaulakukan itu yang seharusnya dilakukan oleh anak-anak muda Georgia! Kalian harus berani menentang kebijakan Rusia yang merugikan dan mengekang kebebasan seperti itu!"

"Menentang Rusia?" tanya Soso. Baginya itu agak aneh, lelaki itu adalah walikota di sebuah wilayah yang dikuasai oleh Rusia, tapi menyarankan untuk 'menentang' Rusia.

Tuan Nikoladze tertawa lagi. "Nanti kita lanjutkan obrolannya. Ini saatnya makan siang. Mari ikut makan bersamaku!"

*****

BERSAMBUNG: (61) Kuliah Singkat Kapitalisme Kolektif

Catatan:

[1] Niko Nikoladze adalah penyair sekaligus politisi Georgia yang mengenyam pendidikan tinggi di St. Petersburg Rusia. Dia dikenal dengan diplomasinya yang ulung, sehingga pihak Tsar mengangkatnya menjadi walikota Poti sejak tahun 1894. Kelak, Niko Nikoladze akan dikenang masyarakat Poti sebagai orang yang berjasa mengembangkan kota itu, salah satunya dengan membangun Gereja Katedral Poti yang meniru gaya Hagia Sophia di Istanbul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun