Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Tjip, Bunda Rose, dan Angka-Angka yang Luar Biasa

4 Januari 2021   01:29 Diperbarui: 4 Januari 2021   01:39 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Ketika membuat otak-atik gambar di atas, istri saya mengintip, "Ada orderan lagi, Ayah?" tanyanya. Maklum, musim corona, sudah lama saya tak dapat 'order' membuat WPAP. Saking sepinya order untuk hobi sampingan saya itu, kalau saya buat CV atau PT mungkin akan saya beri nama CV atau PT Rindu Order.

Ketika saya jawab tidak, wajahnya langsung kecut. "Terus siapa itu?". Saya jawab, "Pak Tjip..." (karena kebetulan baru jadi wajahnya Pak Tjip, wajah Bunda Rose belum). "Kok beda?" tanyanya lagi. Rupanya dia mengira 'Pak Ecip' (Sinansari ecip), dosen saya di Unhas yang juga mantan jurnalis kawakan, penulis kolom 'Resonansi' di Harian Republika dulu. Istri saya kebetulan juga mengenalnya, karena pernah sama-sama di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Pak ecip salah satu komisioner, dan istri saya sekretaris Alm. Prof Sasa Djuarsa Sendjaja, Ketua KPI waktu itu.

Saya jelaskan lagi, itu Pak Tjip, Tjiptadinata Effendy. Dia nanya lagi, "Siapa dia?" Duh... kalau saja istri saya itu seorang Kompasianer, alangkah kualatnya dia. Iya lah. Menurut saya, kalau mengaku Kompasianer dan tak kenal Pak Tjip, kemungkinannya hanya dua, Kompasianer baru, atau Kompasianer yang tak bergaul; selesai menulis, tinggal, berharap dapat vote tapi ogah memberi vote untuk tulisan orang lain.

Jujur saja, awalnya saya juga begitu. Waktu bergabung tahun 2012, menulis di Kompasiana tak lebih dari menutupi gengsi. Saya menyuruh mahasiswa yang mengambil mata kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik untuk menulis di Kompasiana. Masak iya saya yang menyuruh tak pernah menulis. Waktu itu saya memang sering membaca tulisan teman-teman yang lain --selain tulisan mahasiswa saya---tapi jarang memberi komentar atau memberi vote. Mungkin karena waktu itu tidak ada sistem poin, tak ada pangkat 'debutan' 'taruna' 'penjelajah' dan seterusnya sampai 'maestro.'

Saat saya mulai kembali menulis akhir bulan November kemarin, wajah Kompasiana sudah banyak berubah. Selain poin, juga ada K-Reward yang menarik --meski saya belum pernah mendapatkannya. Banyak Kompasianer lama yang sudah tak pernah lagi muncul tulisannya. Adik kelas kuliah saya, Yusran Darmawan, yang dulu ngetop, sudah tak aktif. Sahabat Kompasiana saya, Teguh Suprayogi juga sudah tak pernah terlihat. Tapi beberapa nama masih aktif, salah satunya, ya, Pak Tjip.

Pak Tjip ini pulalah yang mengubah cara 'ber-Kompasiana' saya akhir-akhir ini. Beliau dan Bunda Rose sama-sama rajin memberi vote dan menyapa. Saya jadi malu, masak selalu sepuh yang menyapa, sementara saya tak pernah menyapa. Bukan soal dulu-duluan, tapi masak disapa tak pernah membalas sapaan. Kan kebangetan. Dan sistem poin juga membuat sapaan itu menjadi makin berarti, silaturahim sambil beramal. Soal membaca utuh atau tidak, itu soal waktu dan selera. Yang pasti, sejak saat itu, saya mulai rajin menyapa dan memberi vote. Memang tak semua. Setidaknya saya membalas jika ada yang sudah memberi terlebih dahulu. Dan bisa jadi itupun banyak yang terlewat.

Secara tak langsung, Pak Tjip dan Bu Rose mengajarkan hidup di luar Kompasiana, dalam kehidupan nyata. Kita tak bisa hanya berharap orang lain menyapa kita, jika kita tak pernah menyapa mereka. Kita tak bisa berharap orang lain baik kepada kita, sementara kita juga tak pernah berbagi kebaikan. Memang manusiawi jika ada rasa jengkel atau sebal jika ada orang yang kita sapa tapi tak acuh. Tapi saya belajar untuk mengabaikannya. Dipikirkan bukan hanya membatalkan pahalanya, malah bisa jadi dosa.

Pada istri, saya tak bercerita betapa luarbiasanya Pak Tjip di Kompasiana. Ia tidak akan tertarik. Biar itu jadi pengetahuan saya saja. Setahu saya, Pak Tjip satu-satunya yang sudah mencapai gelar 'Maestro' dengan lebih dari 250 ribu poin dari limaribuan artikel, sebuah pencapaian yang entah kapan bisa saya samai (mungkin juga tidak kalau nanti mood saya kembali anjlok atau disibukkan hal yang lain). Percuma saya jelaskan poin-poin itu pada istri saya, nanti buntut-buntutnya pertanyaannya berujung sama, "Kalau poinnya banyak, emang dapat duitnya berapa?" Halah, kan repot!

Tapi begitu saya ceritakan bahwa Pak Tjip dan istrinya, Bunda Rose baru saja merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke-56, barulah dia tertarik. Apalagi, beliau berdua, saat ini sama-sama berusia 78 tahun. Bukan saja masih sehat, tapi masih aktif menulis dan berbagi pengalaman hidup. "Hebat ya, bisa bertahan selama itu, masih harmonis pula..." katanya, "Nggak kayak kita, harmonis kalau pulang kampung ketemu mertua masing-masing...." Haha... Mungkin istri saya berkaca dari pernikahan kami yang belum genap 11 tahun. Baru 11 tahun saja persoalan rasanya sudah segunung. Untunglah dia segera pergi, jadi tak berlama-lama menyindir saya, hehe...

Balik ke pencapaian hidup Pak Tjip dan Bunda Rose, merayakan pernikahan ke-56 itu sama saja dengan pencapaian Pak Tjip di Kompasiana. Itu sudah 'Maestro!' Bukannya mustahil, tapi sangat sulit untuk disamai. Bukannya tak ingin, tapi ada 'tangan' lain yang berperan; tangan Tuhan. Usia saya dan istri saja bahkan belum sama dengan usia pernikahan Pak Tjip.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun