Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (3) Bye-bye Gori!

29 November 2020   09:38 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:34 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mak Keke, entah punya duit darimana, bersikeras untuk mengantarkan anaknya langsung ke Tiflis. Soal ini, Soso sendiri kadang bingung. Dalam keseharian emaknya itu susah banget, jarang pegang duit. Tapi pada saat-saat yang diperlukan, selalu saja dia punya. Apa dia punya tabungan, atau ngutang sama tetangganya, entahlah.

Soso pun tak luput kena sentuhan duit yang entah darimana itu. Mak Keke membelikannya celana selutut yang cukup bagus, sebuah jas dengan dua kancing berwarna coklat tua, dan sebuah topi ala mkhat'vari[3] yang membuat Soso tampak sangat berbeda dari kesehariannya. Banyak yang pangling dengan penampilan Soso itu. 

Guratan cantik wajah Mak Keke tergaris di wajahnya yang sudah lebih bersih dari bopeng sisa cacarnya. Mak Keke, harus diakui adalah perempuan yang cantik saat masih muda, itu pulalah yang membuat Pak Beso mempersuntingnya saat masih berusia 17 tahun, enam atau tujuh tahun sebelum Soso lahir. Pak Beso juga punya wajah yang ganteng. Tapi orang-orang, selalu saja, merasa tak menemukan guratan wajah Pak Beso di wajah Soso, yang makin lama, kata orang-orang, malah makin mirip dengan Pak Koba si pegulat yang punya losmen dan pebisnis anggur itu.

Mak Keke yang sudah berdandan lebih baik ala emak-emak Gori kalau mau kondangan saat itu, tengah di-briefing oleh Romo Chark. Soso sendiri berkumpul dengan teman-temannya di dekat kereta kuda yang akan membawanya nanti. Saat itulah Bonia menghampirinya. "Ada titipan dari ayahku..." katanya sambil menyodorkan buntelan kain segenggaman tangan yang terasa berat.

"Apa ini?" tanya Soso sambil menatap Bonia.

"Duit, buat kamu... kali aja kamu mau jajan dawet ireng, cendol, atau liang teh di jalan..." jawab Bonia yang tampak salah tingkah ditatap oleh Soso itu.

Soso membuka buntelan itu, dan beneran isinya koin perak dan tembaga, entah berapa abazi[4], mungkin kalau dijumlahkan bisa sampai lima rubel. Tapi kan nggak mungkin kalau ia menghitungnya dulu, makanya ia langsung membuntelnya lagi. "Dari bapakmu atau dari kamu?" tanya Soso lagi.

"Dari Bapak... mmm sebetulnya itu sebagiannya upah kamu ngajarin baca..." jawab Bonia.

"Lha kamu sendiri ngasih apa buat aku?" tanya Soso yang timbul isengnya.

"Aku ngasih doa aja.." jawabnya.

"Yang lain?" tanya Soso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun