Mohon tunggu...
Alinda NovianaR
Alinda NovianaR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Kondisi Sosiologi Masyarakat Indonesia terhadap Pengoptimalan Norma Hukum

13 Desember 2022   21:38 Diperbarui: 13 Desember 2022   22:23 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta, Alinda Noviana Rahmadlani

Efektivitas hukum berarti bahwa orang benar-benar bertindak sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mestinya, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. 

Kata efektif yang berarti mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas hukum juga tergantung pada kemauan dan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran masyarakat yang rendah membuat penegakan hukum menjadi lebih sulit. Efektifitas hukum dapat dilakukan dengan tindakan sosialisasi dengan melibatkan kelas sosial, penguasa, dan penegak hukum itu sendiri. 

Dalam merumuskan hukum, perhatian juga harus diberikan pada hubungan antara perubahan sosial dan hukum, sehingga hukum pada akhirnya dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengatur perilaku masyarakat. Agar sebuah hukum menjadi efektif, seorang penegak hukum harus memperhatikan hal berikut :

  • Merancang dengan baik sebuah Undang-Undang dengan memberikan kepastian hukum, terdapat kaidah yang jelas, dan mudah dipahami masyarakat luas.
  • Terdapat sanksi yang sesuai dengan hukum yang diatur.
  • Bersifat melarang.

Pendekatan Sosiologis Dalam Studi Hukum Ekonomi Syariah

Praktek jual beli dengan sistem Ijon menjadi salah satu contoh contoh pendekatan sosiologis dalam studi hukum ekonomi syariah. Transaksi jual beli dengan sistem ijon, yaitu jual beli dimana barang nya bersifat belum jelas, seperti jual beli buah yang masih kecil atau belum siap panen. 

Transaksi seperti ini terjadi sering kali disebabkan karena munculnya kebutuhan mendesak dari sebagian penjual yang harus memenuhi kebutuhan hidup dan adanya peluang bisnis bagi tengkulak yang bisa meraup keuntungan besar, transaksi jual beli ijon lebih muah dan cepat, modal utuh, dan keuntungan harga yang jauh diatas standar. 

Dilihat dari aspek sosiologis transaksi semacam ini merupakan sebuah tindakan menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial. Dikatakan demikian, karena dalam Islam memiliki aturan yang harus ditaati ketika melakukan jual beli. Penyimpangan sosial ini tidak terlepas dari sosio-ekonomi yang rendah serta doktrin budaya itu sendiri. 

Kemudian hal ini lah yang menjadi penyebab sistem sosial masyarakat tidak dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam memberikan hukum atas suatu persoalan. 

Hukum Islam selalu memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan bagi umatnya untuk berbuat sesuatu yang baik. Tujuan utama diturunkannya syariah untuk umat manusia adalah untuk kemaslahatan atau kebaikan bersama, apalagi dalam hal muamalah. Setiap permasalahan yang timbul di tengah masyarakat harus disikapi dari sudut pandang yang obyektif.. Sehingga dapat lebih berhati-hati dalam menjustifikasi hukum atas sebuah persoalan. Karena persoalan kadang tidak selesai begitu saja hanya sebatas justifikasi hukum haram dan halal saja dan boleh atau tidak.

Hukum Tumpul Ke Atas Dan Tajam Ke Bawah

Gagasan progressive law muncul  karena keadaan hukum Indonesia pasca reformasi yang tidak kunjung mendekati tujuan ideal yaitu hukum yang mensejahterakan masyarakat. Hukum dalam praktiknya cenderung terbelenggu dalam pemikiran positivisme hukum semata sehingga tidak bebas dalam menemukan makna dan tujuan hukum yang haqiqi. Hukum progresif dapat dikonstruksikan sebagai hukum yang selalu berkembang dan merupakan gerakan pembebasan karena bersifat cair serta melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Hal yang timbul dari gagasan hukum progresif yaitu hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Dari  pendapat  Hikmahanto,  dapat  diketahui  bahwa  masalah  hukum  di  Indonesia  adalah  lebih mementingkan kemenangan bukan keadilan, dan uang lebih diutamakan. Sehingga, membuat hal yang benar menjadi salah dan hal yang salah menjadi benar. Keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas bawah daripada kelas atas atau kelas pejabat.  Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. 

Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan kekuasaan dengan yang tidak memilikinya. Pihak  yang  berkuasa  menunjukkan  bahwa  dia  lebih berkuasa daripada yang lain, sehingga kesetaraan tidak berlaku Inilah salah satu penyebab hukum di Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke bawah.  Keadilan bagi semua hanyalah sebuah kebohongan belaka. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit.

Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan Undang-Undang atau peraturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum yang mengesampingkan fakta sosial, cara berhukum para penegak hukum seperti tanpa nurani dan akal sehat. Efektifitas penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil yang melakukan kejahatan kecil. Sedangkan  pelaku-pelaku  kejahatan  besar  seperti  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme  sangat sulit untuk disentuh. 

Adanya hukum seharusnya menciptakan kepercayaan dan kedamaian bagi rakyatnya. Situasi  seperti ini memprihatinkan,  penyebabnya  dapat  dikatakan  karena  penegak  hukum  mementingkan kepentingan pribadi, sehingga keadilan tidak dapat ditemukan.  Masih  banyak  orang  yang  lebih  mementingkan  kepentingan  pribadi  dibandingkan  kepentingan bersama,  salah  satunya  pihak  yang  kuat  karena  mereka  lebih  mudah  dalam  mendapatkan keinginannya. Rakyat lemah yang tidak memiliki koneksi dan relasi tidak mendapat keadilan demi memuaskan  keinginan  pihak  yang  kuat.

Law and Social Control, Socio-Legal, Legal Pluralism

Law and social control -- Hukum sebagai alat kontrol sosial merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Hal ini berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud.

Socio-legal -- Upaya mengkaji persoalan dengan mengkaji konteks norma secara utuh dan penerapannya, bukan mempelajari norma dan doktrin hukum yang relevan. Perpaduan pendekatan tersebut diharapkan dapat memperkuat upaya pencarian kebenaran, menggali permasalahan yang muncul, serta menemukan sesuatu yang lebih kreatif dan liberatif. dan penerapannya.

Legal pluralism -- Pluralisme hukum biasanya diartikan sebagai suatu keadaan dimana dua atau lebih sistem hukum ada dalam kehidupan bermasyarakat. Pluralisme hukum harus diakui sebagai realitas sosial. Berlakunya banyak sistem hukum bagi semua golongan dalam satu wilayah, khususnya di Indonesia yaitu secara bersamaan berlaku beberapa sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun