Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Serial Noval] Putri Duyung Itu Bernama Violet

18 November 2019   13:18 Diperbarui: 18 November 2019   13:27 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: travel.detik.con

Ini adalah Jumat terakhirku berada di Karawang, tepatnya di sebuah desa yang selama hampir dua pekan ini banyak memberikan kejutan serta pengalaman hidup yang baru buatku. Aku yang selama ini termasuk makhluk antisosial, perlahan mulai dibukakan hatinya untuk melihat dunia lebih luas lagi. Bahkan, di tempat ini jualah aku kembali merasakan benih-benih cinta yang selama lima tahun ini sengaja dikubur dalam-dalam pasca kepergian Lidya untuk selama-lamanya.

Ya, waktu dua minggu yang awalnya kupikir akan membosankan, berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan kini, aku seakan enggan cabut dan kembali ke ibukota seandainya tak ingat akan karirku di sana.

"Angkat tangan!"

Tiba-tiba saja sebuah tangan membentuk pistol-pistolan mengarah padaku. Membuatku kaget dan langsung ilfil setelah mengetahui siapa pelakunya.

"Akbar, iseng banget sih kamu," sungutku sambil berkacak pinggang. Tapi sang pelaku malah tertawa terbahak-bahak.

"Gak lucu, tau!"

"Abis Om Noval ngelamun aja dari tadi." Akbar membela dirinya. Kemudian mengambil duduk di sebelahku."Om, kata Nek Isah tadi, hari Minggu ini Om Noval mo balik ke Jakarta lagi ya?"

Aku mengernyit. Ada apa nih bocah tiba-tiba bertanya begitu?

"Iya, emang kenapa?"

"Ya, Akbar gak punya teman lagi dong?" Akbar merajuk. Bibirnya cemberut. Pipinya yang temben makin terlihat bulat.

"Lha, bukannya kamu biasanya juga main ama Ilham? Setiap pulang sekolah pasti deh ke sono mulu pake apa tuh... papan seluncur yang udah menghebohkan warga desa."

"Om...," Wajah Akbar tampak memelas. "Plis atuh lah. Bisa gak sih kita gak ngebahas lagi soal itu. Lagian, skateboard-nya juga udah patah dan rusak."

"Trus sekarang, beneran nih udah janji bakal jadi anak yang patuh dan taat kepada Mak Icih?" Sengaja kusindir terus anak laki-laki yang duduk di sebelahku ini. Maksudnya, biar dia kapok dan tidak usil lagi. Tapi yang ada Akbar malah mewek. Dengan suara yang tersendat-sendat, bocah kelas lima SD itu pun terisak-isak di hadapanku.

"Lha, ada apa nih? Tadi iseng ngagetin Om Noval, sekarang baru Om balas begitu aja udah mewek." Keningku berkerut melihat kelakuan ajaib tetangga depan rumah mendiang Aki ini.

"Iya. Abis, kalo Om Noval balik ke Jakarta, Akbar pasti akan kehilangan Om. Karena selama ini Akbar belum pernah merasakan memiliki seorang mamang."

Deg! Hati siapa pula yang tak terenyuh mendengar pengakuan langsung dari bocah iseng ini. Perlahan kutatap wajah bocah tertubuh tambun ini. Dan segera saja kupeluk dan Akbar pun makin menjadi-jadi tangisnya di dalam pelukanku.

"Ya, udah. Besok kita ke pantai yuk!"

Demi mendengar kata pantai, tiba-tiba saja tangisan Akbar pun berhenti dan berubah menjadi sebuah senyuman lebar dengan mata yang berbinar-binar.

"Beneran nih, Om? Kita ke Pantai Sedari aja ya. Eh, sekalian aja ajakin Tante Violet dan kucingnya si Sassy. Pasti tambah seru tuh."

Kini giliranku yang kebat-kebit tak karuan saat nama Sassy Violet terlontar dari mulut Akbar. Segera saja kuhela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya seraya berkata, "Gak ah. Kita berdua aja. Kita pinjam motornya Kakek Subur. Ok?"

Terdengar dengusan "yaaah" dari bibir Akbar.

***

"Om Noval, Akbar udah siap nih. Kita jadi kan ke Pantai Sedari?"

Hari baru menunjukkan pukul enam pagi dan pintu depan pun baru saja dibuka oleh Bi Isah. Tapi ternyata Akbar sudah nongol di teras depan lengkap dengan ransel yang katanya kemarin akan berisi pakaian renang lengkap. Ya, salam.

"Om Noval belum bangun juga ya, Nek?"
Kudengar suara Akbar bertanya kepada Bi Isah.

"Kurang tahu, Nenek. Coba aja sana ke kamarnya. Kalo belum bangun, siram aja pake air."

Hah? Apa-apaan ini? Belum apa-apa, kenapa aku malah kena bully Bi Isah? Segera saja kuseret langkah menuju teras depan. Dan sampai di teras...

"Hayoo... baru bangun ya? Bau ih. Mandi dulu gih sono," sindir Akbar sambil menutup mulutnya. Tuh anak kejahilannya memang juara deh.

"Ih, siapa bilang? Udah dari tadi kok."

"Udah sholat Subuh belum? Kok tadi Akbar gak liat Om Noval di mesjid ya?"

Tiba-tiba saja Bi Isah menyeletuk, "Om Noval lagi M, Akbar. Makanya gak sholat ke mesjid tadi."

"Hah? Om Noval lagi M? Akbar kirain teh yang M itu cuma cewek, Nek," Akbar berkata dengan polosnya.

Ya, salam. Habislah sudah aku pagi-pagi ini kena bully-an kuadrat dari Bi Isah dan juga Akbar.

"Lagian masih pagi gini kamu udah nongol dimari. Gak bisa siangan dikit kenapa?" rajukku karena merasa waktu tidurku terganggu. Tapi kulihat Akbar malah protes.

"Om, Pantai Sedari itu jauh lho. Makanya kita kudu berangkat pagi-pagi. Lagian, berenang di pantai siang-siang itu bikin kulit item, kata Nenek. Gak baik juga buat kesehatan."

Lha, nih bocah benar-benar ajaib. Dan daripada aku kudu mendengar ceramahnya, mending bergegas saja deh ambil perlengkapan dan segera cabut dari rumah.

***

Sesampainya kami di Pantai Sedari...

Hm, perasaan ini hari Sabtu deh. Dan seingatku, bila hari biasa--kecuali Minggu tentu saja, Pantai Sedari tak  terlalu tampak ramai. Tapi kuperhatikan hari ini lain dari biasanya. Banyak sekali orang-orang yang memakai kaos seragam seperti laiknya sebuah komunitas. Pun ada suara keras yang berasal dari toa yang berada di bibir pantai.

"Baiklah, Saudara-saudara. Maafkan kami sebelumnya bila telah mengganggu acara liburan Anda. Kami dari Bahari, komunitas pencinta laut, saat ini akan melakukan atraksi menyelam bawah laut sebagai bentuk protes kami terhadap pencemaran minyak Pertamina yang baru-baru ini terjadi di perairan laut Karawang. Ya, walaupun pencemaran tersebut belum sampai ke Pantai Sedari, tapi setidaknya kami sangat mengharapkan penanganan yang serius dari pemerintah, khususnya Pertamina. Agar di lain waktu tak ada lagi musibah seperti ini. Kami dari Bahari sanggat peduli dan konsen terhadap laut beserta habiatnya. Dan inilah salah satu bentuk kepedulian kami terhadap laut di Karawang."

Akbar sudah cemberut saja saat mendengar informasi dari toa tersebut. Pupus sudah harapannya untuk berenang di pantai pagi-pagi. "Tau gini, kita cari pantai lain aja ya, Om."

Segera kutepuk-tepuk bahu anak laki-laki di sebelahku yang sudah kuanggap sebagai keponakanku sendiri, sekadar untuk menghiburnya. Kasihan juga nih bocah. Padahal sejak kemarin, dia itu sudah tampak antusias akan pergi ke Pantai Sedari. Apalagi bersamaku. Tapi ternyata kini...

"Akbar jadi gak bisa berenang kan, Om? Mo pindah ke pantai lain, keburu siang sampe sononya." Akbar masih juga tetap cemberut. Mungkin hatinya masih mangkel karena niatnya yang menggebu-gebu sejak kemarin terpaksa batal dieksekusi.

"Udah ah. Yuk, kita ke sana aja. Liat orang yang mo menyelam," ajakku pada Akbar. Tapi dia tetap menggeleng. Hingga akhirnya...

"Meooong...."

Mendengar suara kucing di pantai? Eh, ini halu atau beneran sih? Segera kutajamkan lagi telingaku dan...

"Om, itu bukannya Sassy?" teriak Akbar sambil berlari ke arah kucing yang tadi sempat mengeong. Masih dengan rasa tak percaya, kususul Akbar dari belakang. Dan benar saja.

"Ya ampun, Sassy. Kamu itu emang kucing yang bandel ya ternyata," kata Akbar seraya menggendong kucing persia peaknose berwarna abu-abu putih itu. "Kemarin kamu nyasar ke rumahnya Aki Dahlan. Sekarang kamu malah ada di sini. Eh, kalo kamu ada di sini, berarti Tante Violet juga ada di sini dong?"

Belum sempat kutanggapi perkataan Akbar, dari arah belakang...

"Sassy... Ya Tuhan, terima kasih." Dengan buliran air yang jatuh di sudut matanya, perempuan yang masih mengenakan pakaian selam muslimah yang sepintas mirip putri duyung itu segera mengambil alih Sassy yang ada dalam dekapan Akbar. "Makasih ya, Akbar. Tadinya Tante Vio udah hopeless aja akan kehilangan Sassy di sini. Padahal Sassy sengaja Tante tarok di pet cargo, dengan maksud agar gak kabur ke mana-mana. Eh, kemudian ada yang iseng yang membuka pintu pet cargo-nya Sassy. Dan... bisa ditebak sendiri gimana kan kejadian selanjutnya."

Ya, Tuhan. Mimpi apa ya aku semalam. Perempuan yang beberapa hari ini berhasil membuatku mabuk kepayang, kini ada di hadapanku. Perempuan yang sempat kutolak saat Akbar bermaksud ingin mengajaknya--tentunya bersama kucingnya yang suka kabur itu--untuk ikut serta dalam petualangan kami ke pantai, kini malah sengaja Tuhan pertemukan langsung di pantai ini. Ya, Tuhan.

"Eh, ada A Noval juga ternyata. Gak nyangka ya kita bisa ketemu di sini."

"Eh, iya, Tante. Untungnya kita beneran ketemu ya di sini. Karena sebenarnya Akbar..." Segera kusumpel mulut Akbar yang mulai rese itu.

"Kamu bisa menyelam juga ternyata ya? Keren." Kuberikan dua jempol kepada perempuan istimewa yang berdiri di depanku ini. Karena selain dia itu pencinta kucing, ternyata dia juga seorang relawan komunitas pecinta alam dan laut yang jago menyelam. Ah, ingin rasanya aku menjadi bagian yang dicintainya pula. Ups!

"Akbar, ikut Tante, yuk! Nanti akan Tante Vio ajak menyelam ke bawah laut." Salah satu tangan sang putri duyung menggendong Sassy, sedangkan tangannya yang lain menggandeng tangan Akbar. Kemudian dengan setengah berlari, mereka pun kembali ke bibir pantai.

Ah, Karawang. Rasanya aku benar-benar tak ingin balik ke ibukota deh.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun