Mohon tunggu...
Alifyusuf
Alifyusuf Mohon Tunggu... Pedagang

Suka membaca cerpen, suka melihat para pedagang kecil tertawa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tangisan Gajah Kecil 'Yuni', Jangan Biarkan Gajah Sumatra Menjadi Makhluk Mitologi

29 September 2025   22:00 Diperbarui: 30 September 2025   07:27 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Banyak kisah pilu dibalik ancaman kepunahan gajah Sumatra. Setiap hari ada saja fakta mencengangkan yang menganiaya spesies ini. Mereka lebih dulu mendiami hutan, tapi manusia mengambil rumah mereka untuk hajat hidup. Gajah yang menjadi penghuni asli, diusir oleh makhluk yang merasa berhak mengambil apa pun yang ada di bumi.

Banyak kisah pilu gajah Sumatera yang bahkan berakhir tragis. Anak Gajah 'Yuni' ditemukan warga di kebun sawit desa Gunung Mulya, Kampar, Riau pada 10 Maret 2025. Dia sendirian, terpisah dari induk dan kawanannya. Warga melaporkan penemuan Yuni ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.

Yuni baru berumur 3 bulan. BBKSDA Riau berusaha untuk menemukan induk dan kawanan, tapi nihil. Induk Yuni tak diketemukan. Yuni dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas untuk dicarikan 'induk asuh'. Tapi tak ada induk betina yang mau mengasuhnya.

Yuni dipindahkan ke PLG Sebanga karena ada induk gajah 'Puja' yang mempunyai satu bayi bernama Lela. Diharapkan Yuni dapat diasuh Puja. Tapi Puja menolak. Yuni sendirian, hanya ditemani Mahout, pawang gajah yang menyayanginya.

Anak yang terpisah dari ibunya, pasti mengalami sedih yang mendalam. Begitu pula Yuni, meskipun para pawang berusaha merawatnya dengan penuh kasih sayang, Yuni stres, dia tidak mau makan dan minum susu. Hal yang wajar ketika anak kehilangan ibunya. 10 April 2025 Yuni ditemukan mati lemas. Darah dan organ Yuni dikirim ke Medika Satwa Laboratoris di Bogor. Disimpulkan bahwa Yuni mati karena pneumonia, radang lambung, dan usus.

Ini hanyalah salah satu sebab kematian gajah. Manusia pun turut berperan dalam merosotnya jumlah spesies ini. Perburuan liar gading gajah dan alih fungsi hutan semakin menekan keberadaan mereka. Padahal mereka mempunyai banyak peran dalam ekosistem hutan.

Mereka adalah penduduk asli yang hanya mendiami tanah warisan nenek moyangnya. Para relawan selalu menyuarakan 'kitalah yang mengambil rumah gajah, bukan gajah yang mengambil rumah kita'. Dan itu sangat benar. Tapi kita sebagai manusia yang memiliki akal sempurna, selalu berteriak, bahwa lahan kita dimasuki gajah. Gajah hanya masuk ke dalam wilayahnya, tanpa tahu sudah menjadi kebun sawit dan pemukiman ilegal yang bahkan mempunyai surat agar terlihat legal.

Gajah memang binatang yang kuat, tapi tetap kalah kuat jika harus berhadapan dengan alat berat dan senjata rakitan. Gajah hanya mencari makan di kawasannya, tapi selalu diusir dengan ketakutan nyaring senjata api yang mengancam. Mata sipitnya hanya memancarkan ketakutan tanpa pengetahuan. Mereka hanya bertanya dalam diam, mengapa diusir ketika mencari makan? Dulu ketika makan ditempat itu bersama kakek, nenek dan orangtuanya, semuanya baik-baik saja, kenapa sekarang diusir?

Banyak cerita dongeng tentang gajah. Cerita tentang keberanian, kegagahan, kebijaksanaan, dan empati. Apakah anak cucu kita kelak hanya bisa mendengarkan cerita heroik tentang gajah tanpa bisa menemui wujud gajah yang asli? Jaga kelestarian hidup gajah dengan mengembalikan habitat aslinya sedikit demi sedikit dan perlahan. Karena tidak mungkin untuk mengembalikan ekosistem seperti dulu.

Jangan sampai di masa depan gajah menjadi makhluk mitologi. Makhluk mitologi adalah makhluk fantastis yang hidup dalam kisah-kisah mitologis, legenda, dan cerita rakyat, tidak memiliki dasar ilmiah, dan dipercaya oleh masyarakat tertentu sebagai wujud nyata pada masa lalu. Gajah memang nyata ada sekarang, tetapi jika gajah terus terancam kehidupannya, maka puluhan tahun ke depan akan menjadi makhluk mitologi yang hanya didengar ceritanya.

Kita sebagai manusia yang sempurna dituntut untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Bukan hanya memimpin sesama manusia tapi juga makhluk lain agar hidup berdampingan terpenuhi hak masing-masing. Kita sangat pandai menyuarakan, bagaimana agar keinginan kita didengar. Tapi gajah tak mampu berbuat demikian. Hanya dari mata sipitnya yang teduh, dia mengadu bahwa tersakiti, kehilangan keluarganya, dan kehilangan tempat tinggalnya. Persis sama dengan korban perang akibat penjajahan. Dan siapakah penjajahnya? Ya betul, itu kita.

Memang kita membutuhkan ruang lebih, tapi bukan berarti ruang ketamakan kita harus dituruti. Bukan berarti semua pembatas yang diluar milik kita bisa diterabas. Hidup kita memang penting, tapi sudah diluar hati nurani jika kehidupan lain harus diabaikan untuk kepentingan hidup kita.

Dongeng tentang gajah sangat banyak, dari kita kecil sampai sekarang. Ingatlah, ketika kecil kita mendengar dongeng tentang gajah dari ibu kita, lalu diajak ke kebun binatang untuk menyaksikan gajah secara langsung bahkan memegangnya. Betapa kita merasakan sesuatu yang luar biasa kan? Maka ijinkan agar cucu kita dan generasi mendatang merasakan hal yang luar biasa tersebut ketika bisa menyaksikan secara langsung para gajah hidup mengikuti naluri dan kodratnya di hutan yang dilindungi.

Gajah tidak hanya sekedar mamalia cerdas yang mempunyai empati. Dari beberapa sumber, gajah disebut spesies kunci karena memegang peranan besar dalam keseimbangan ekosistem di hutan. Gajah memakan tanaman dalam jumlah yang banyak. Menurut beberapa penelitian, gajah mampu menyebarkan benih hingga 60 km. Benih akan dikeluarkan bersama kotorannya ketika melewati jalanan hutan. Berarti penyebaran benih akan berkembang jauh dan perataan tanaman di penjuru hutan tercapai. Kotoran gajah adalah pupuk yang sangat bagus dan merupakan makanan bagi kumbang kotoran. Ketika berjalan, gajah mematahkan dahan-dahan yang tinggi sehingga hewan yang lebih kecil mudah mendapatkan makanan. Hal ini menjadi bukti bahwa gajah memegang peran besar dalam kesuburan ekosistem dan menjaga keberlangsungan hidup hewan lain.

Gajah mampu mengidentifikasi sumber air ketika musim kemarau kemudian menggalinya. Entah bagaimana mereka mempunyai insting untuk mengetahui sumber air. Mereka menggunakan kaki, belalai dan gadingnya untuk menggali sungai yang kering. Belalai mereka menyedot air tanah dalam jumlah besar dari lubang yang mereka buat. Setelah kawanan gajah puas meminum air, lubang air tersebut dimanfaatkan oleh binatang lain untuk minum. Gajah memakan tanaman dalam jumlah banyak sehingga pertumbuhan tanaman dapat terkontrol. Jalur migrasi yang dibuat kawanan gajah menjadi jalan setapak yang mudah dilalui.

Mari kita ikuti naluri kita, naluri kita kodratnya baik dan penuhilah itu. Hutan buka sepenuhnya milik kita, ada gajah dan binatang lain yang lebih berhak menempatinya. Mereka diam dan pasrah, tapi teraniaya. Jangan sampai diamnya mereka adalah doa yang langsung dikabulkan. Mereka tak mampu menjerit meminta hak untuk hidup tenang, tapi kita mampu menjadi suara mereka. Kodrat mendasar kita adalah makhluk yang lebih punya empati daripada gajah, maka penuhilah kodrat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun