Banyak kisah pilu dibalik ancaman kepunahan gajah Sumatra. Setiap hari ada saja fakta mencengangkan yang menganiaya spesies ini. Mereka lebih dulu mendiami hutan, tapi manusia mengambil rumah mereka untuk hajat hidup. Gajah yang menjadi penghuni asli, diusir oleh makhluk yang merasa berhak mengambil apa pun yang ada di bumi.
Banyak kisah pilu gajah Sumatera yang bahkan berakhir tragis. Anak Gajah 'Yuni' ditemukan warga di kebun sawit desa Gunung Mulya, Kampar, Riau pada 10 Maret 2025. Dia sendirian, terpisah dari induk dan kawanannya. Warga melaporkan penemuan Yuni ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
Yuni baru berumur 3 bulan. BBKSDA Riau berusaha untuk menemukan induk dan kawanan, tapi nihil. Induk Yuni tak diketemukan. Yuni dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas untuk dicarikan 'induk asuh'. Tapi tak ada induk betina yang mau mengasuhnya.
Yuni dipindahkan ke PLG Sebanga karena ada induk gajah 'Puja' yang mempunyai satu bayi bernama Lela. Diharapkan Yuni dapat diasuh Puja. Tapi Puja menolak. Yuni sendirian, hanya ditemani Mahout, pawang gajah yang menyayanginya.
Anak yang terpisah dari ibunya, pasti mengalami sedih yang mendalam. Begitu pula Yuni, meskipun para pawang berusaha merawatnya dengan penuh kasih sayang, Yuni stres, dia tidak mau makan dan minum susu. Hal yang wajar ketika anak kehilangan ibunya. 10 April 2025 Yuni ditemukan mati lemas. Darah dan organ Yuni dikirim ke Medika Satwa Laboratoris di Bogor. Disimpulkan bahwa Yuni mati karena pneumonia, radang lambung, dan usus.
Ini hanyalah salah satu sebab kematian gajah. Manusia pun turut berperan dalam merosotnya jumlah spesies ini. Perburuan liar gading gajah dan alih fungsi hutan semakin menekan keberadaan mereka. Padahal mereka mempunyai banyak peran dalam ekosistem hutan.
Mereka adalah penduduk asli yang hanya mendiami tanah warisan nenek moyangnya. Para relawan selalu menyuarakan 'kitalah yang mengambil rumah gajah, bukan gajah yang mengambil rumah kita'. Dan itu sangat benar. Tapi kita sebagai manusia yang memiliki akal sempurna, selalu berteriak, bahwa lahan kita dimasuki gajah. Gajah hanya masuk ke dalam wilayahnya, tanpa tahu sudah menjadi kebun sawit dan pemukiman ilegal yang bahkan mempunyai surat agar terlihat legal.
Gajah memang binatang yang kuat, tapi tetap kalah kuat jika harus berhadapan dengan alat berat dan senjata rakitan. Gajah hanya mencari makan di kawasannya, tapi selalu diusir dengan ketakutan nyaring senjata api yang mengancam. Mata sipitnya hanya memancarkan ketakutan tanpa pengetahuan. Mereka hanya bertanya dalam diam, mengapa diusir ketika mencari makan? Dulu ketika makan ditempat itu bersama kakek, nenek dan orangtuanya, semuanya baik-baik saja, kenapa sekarang diusir?
Banyak cerita dongeng tentang gajah. Cerita tentang keberanian, kegagahan, kebijaksanaan, dan empati. Apakah anak cucu kita kelak hanya bisa mendengarkan cerita heroik tentang gajah tanpa bisa menemui wujud gajah yang asli? Jaga kelestarian hidup gajah dengan mengembalikan habitat aslinya sedikit demi sedikit dan perlahan. Karena tidak mungkin untuk mengembalikan ekosistem seperti dulu.
Jangan sampai di masa depan gajah menjadi makhluk mitologi. Makhluk mitologi adalah makhluk fantastis yang hidup dalam kisah-kisah mitologis, legenda, dan cerita rakyat, tidak memiliki dasar ilmiah, dan dipercaya oleh masyarakat tertentu sebagai wujud nyata pada masa lalu. Gajah memang nyata ada sekarang, tetapi jika gajah terus terancam kehidupannya, maka puluhan tahun ke depan akan menjadi makhluk mitologi yang hanya didengar ceritanya.
Kita sebagai manusia yang sempurna dituntut untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Bukan hanya memimpin sesama manusia tapi juga makhluk lain agar hidup berdampingan terpenuhi hak masing-masing. Kita sangat pandai menyuarakan, bagaimana agar keinginan kita didengar. Tapi gajah tak mampu berbuat demikian. Hanya dari mata sipitnya yang teduh, dia mengadu bahwa tersakiti, kehilangan keluarganya, dan kehilangan tempat tinggalnya. Persis sama dengan korban perang akibat penjajahan. Dan siapakah penjajahnya? Ya betul, itu kita.