Mohon tunggu...
Alif Putra Mustiko
Alif Putra Mustiko Mohon Tunggu... Penulis - International Relations Student

Jika membaca adalah jendela dunia, maka dengan menulis kita bisa menikmati apa yang ada dibalik jendela tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Globalisasi dalam Perkembangan Teknologi dan Informasi terhadap Ancaman Keamanan Negara (Analisis Kasus Saracen di Indonesia)

18 Maret 2020   14:14 Diperbarui: 18 Maret 2020   14:20 3662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Globalisasi dengan semua implikasinya telah membawa dampak yang luar biasa terhadap perkembangan dunia. Salah satu dari banyaknya pengaruh globalisasi yang sangat terlihat adalah kemajuan teknologi dan informasi. Dengan ini bisa dijalankan dengan baik dan terbukti memiliki dampak positif terhadap kemajuan dunia dan interaksi negara. Namun dalam perkembangannya, pemanfaatan teknologi dan informasi dalam era globalisasi memunculkan kekhawatiran terhadap ancaman keamanan negara.

Dengan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat, globalisasi memunculkan ancaman dan kejahatan baru yang dibingkai dalam isu-isu seperti terorisme, kejahatan terorganisir, perdagangan narkoba dll. Globalisasi adalah suatu bentuk yang menjelaskan dan menggambarkan dunia dibawah satu kelompok bersama yang tidak dibatasi oleh pembatas dan posisi geografi sebuah negara. Dengan proses ini, dunia akhirnya tidak lagi memiliki garis batasan dengan lingkup udara dan langit, sehingga negara tersebut menjadi mudah dan terbuka untuk dijelajahi melalui teknologi informasi dan komunikasi. (John Baylis, 2001).

Dalam perkembangannya seperti saat ini, globalisasi menempati posisi yang teramat penting dalam ruang lingkup hubungan internasional. Sudah terbukti bahwa dewasa ini dunia sudah memasuki fase global dimana batas-batas ruang bukan menjadi masalah lagi dalam melakukan intraksi komunikasi dalam berbagai bidang diantaranya ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Dengan kemajuan globalisasi yang begitu cepat, globalisasi juga menghasilkan dampak negatif. Salah satu hasil dari itu semua adalah terkuaknya kasus Saracen di Indonesia. Saracen adalah kelompok yang memakai kurang lebih 800.000 akun media sosial untuk menyebarkan konten ujaran kebencian yang isinya berupa gambar-gambar dan tuduhan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Partai Politik dan Agama tertentu.

Sindikat Saracen adalah salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir yang tercipta dari hasil kemajuan teknologi informasi dalam era globalisasi yang mengancam keamanan suatu negara. Kisah saracen ini bermula saat Kepolisian Indonesia mengungkap tiga pengelola akun saracen. Ketiga orang itu bertugas sebagai koordinator saracen news sekaligus menyebarkan informasi dan merekrut anggota. Polisi menyebut kelompok ini sebagai sindikat penyedia jasa konten di media sosial dan memafaatkan isu sara sebagai bahan untuk membuat kericuhan yang salah satunya bisa mengancam keutuhan negara

Definisi dan Awal Mula Kasus Saracen di Indonesia

Menurut Ensiklopedia Britannica, Saracen adalah panggilan atau sapaan bagi muslim, baik orang Arab dan Turki yang tinggal di Semenanjung Sinai. Kata Saracen sendiri dalam perkembangannya digunakan untuk menyebut orang Arab pada masa-masa berikutnya. Setelah pembentukan kehalifahan, Bizantium menyebutkan semua muslim khalifah sebagai orang saracen. Oleh Bizantium dan tentara salib, istilah Saracen tersebar ke Eropa Barat dan bertahan sampai zaman modern.

Menurut Defender of Jerussalem, orang-orang saracen yang dikatakan sebagai lawan dari tentara salib tidak sekedar hanya dari orang Arab dan Turki. Karakteristik yang terlihat tapi sering dilupakan oleh tentara Saracen adalah keberagaman etnis mereka. Garis besarnya adalah istilah Saracen yang berarti orang timur secara kolektif dan musuh muslim dari tentara salib. John V. Tolan menyebutkan bahwa sebutan sebagai orang saracen adalah mereka yang menyembah patung sejarah dan mengorbankan diri untuk setan (Tolan, 2002).

Pada tahun 2017, istilah Saracen mulai dikenal di Indonesia sejalan dengan terbongkarnya kelompok atau sindikat yang menyebarkan ujaran kebencian. Tapi, tidak seperti yang beredar di media sosial, nama Saracen yang dipakai kelompok ini ternyata tidak merujuk pada istilah yang populer saat perang salib 1095-1291.

Pengakuan dari hasil wawancara salah satu orang dalam sindikat ini yaitu Ropi Yatsman, ia menyebutkan bahwa pemakaian nama Saracen diambil dari wikipedia yang artinya perjuangan di media sosial. Namun ia tidak menyebutkan perjuangan apa yang dimaksud. Dari hasil peneyelidikan yang terungkap, kelompoik ini menggunakan grup Facebook dan berbagai situs diantaranya adalah  Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com untuk menghimpun lebih dari 800.000 akun.

Selanjutmya mereka mempublikasikan konten berbau provokatif dan bernuansa SARA dengan mengikuti tren perkembangan media sosial. Konten tersebut berisi kata-kata, meme, narasi yang menghantarkan pembaca untuk beropini liar atau negatif terhadap masyarakat lain. Modusnya, kelompok sindikat ini mengirim proposal kepada beberapa pihak yang kemudian mereka menyalurkan jasa penyebaran ujaran kebencian di media sosial.

Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut lebih dari sekedar persoalan ekonomi. Media-media yang mereka miliki seperi situs ataupun akun Facebook, akan memposting berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenaran aslinya dan tergantung pesanan. Kelompok ini menetapkan tarif bernilai puluhan juta dalam propsalnya yang mereka kirimkan ke sejumlah pihak.

Ruby Alamsyah seorang ahli IT menjelaskan bahwa berita hoax, dan berbagai provokasi bernuansa SARA dan kebencian di media sosial tak semata tindakan yang dijalankan oleh suatu individu melainkan sudah terorganisir dan berorientasi pada komersial. Teknik kemajuan rekayasa sosial yang mereka gunakan adalah melakukan efek berlipat ganda, yang pada muaranya dari 800.000 bisa sekitar 1 jutaan sekali beredar. Kelompok seperti ini biasanya muncul dikarenakan adanya dugaan kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa untuk menyebarkan uajaran kebencian.

Fenomena Saracen dan Pola Yang Dilakukan

Douglas Kellner menyebutkan bahwa internet adalah seperangkat teknologi yang secara menjanjikan sangat demokratis. Dengan jaringan internet, orang akan memiliki akses terhadap teknologi ini dapat masuk dan terlibat dalam ruang komunitas, website, situs-situs konfernesi yang memungkinkan komunikasi bejalan interaktif. Akan tetapi sindikat Saracen ini merusak apa yang sudah dikatakan oleh Douglas Kellner tesebut karena menyalahgunakan keberadaan internet  dengan melakukan “dirty economic-politic practies”.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah fenomena apakah Saracen itu? Mampukah sebuah negara lewat masyarakatnya mencegah ancaman non-militer seperti ini? Dan bisakah dikemudian hari sebuah negara bisa mengantisipasi kejahatan siber yang dilakukan oleh sindikat dalam atau luar negeri seperti sindikat cyber transnational crimes ataupun cyber terror attacks?

Kasus penyebaran hoax dalam hal ini kasus Saracen, umumnya mempunyai tiga desain atau pola yaitu pertama, informasi yang dibagikan lalu disebarkan dan mendapatkan kekisruhan opini publik hingga dengan mudah mendapatkan perhatian dari masyarakat. Kedua, Penyebaran berita bohong umumnya memakai sumber orang yang sudah dikenal publik kendati informasi itu dipotong, dipelintir dan difabrikasi. Ketiga, penyebar hoax bergerak dalam sindikasi dengan menyebarluaskannya informasi itu di berbagai platform media sosial.

Ketiga pola tersebut kemungkinan besar dipakai oleh kelompok Saracen. Selain itu, dapat dilihat bahwa Saracen terinspirasi pendapat Goebbles, Menteri Propaganda pada saat masa Adolf Hitler. Goebbels berkata, “Kepalsuan atau berita hoax yang diulang berkali-kali akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat”.

Hal inilah yang membuat fenomena kelompok Saracen adalah masalah yang begitu kompleks dan berimplikasi sangat luas. Dan sangat jelas juga bahwa hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih menyimpan kerentanan yang besar terhadap kejahatan siber. Jika persoalan seperti gagal atau sulit untuk diatasi maka akan menimbulkan ancaman keamanan negara yang serius dan berefek pada terganggunya perekonomian ke depan yang akan depegang penuh oleh apa yang desebut sebagai viral market melalui e-commerce yang jelas membutuhkan kekuatan negara di bidang keamanan siber.

Fenomena lain yang bisa menggambarkan dari kasus Saracen adalah eksisnya sindikat ini (sebelum terbongkar) disebebkan oleh budaya kemalasan dari masyarakat Indonesia untuk melakuakan 3 hal yaitu check, recheck, dan crosscheck. Padahal untuk memastikan sebuah berita itu benar tidaknya dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pertama, cari sumber berita yang sama dari situs yang resmi. Berita hoax atau bohong seting menggunakan judul yang menarik perhatian orang dan provokatif.

Kedua, masuk dan manfaatkan grup diskusi untuk mengkaji lebih dalam berita yang terindikasi hoax seperti Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Grup Discussion Hoax Buster dan Fanpage Indonesian Hoaxers. Ketiga, gunakan media lain untuk mengecek ulang konten berita. Amnesty International merekomendasikan agar pengguna salah satu platform media sosial yaitu youtube juga mengecek konten dengan bantuan YoutubeDataViewer.

Sudah pasti banyak dari kita meyakini bahwa masih ada kelompok atau sindikat diluar sana selain Saracen yang juga sering menyebarkan hate speech, melontarkan isu yang sensitif dan ujaran kebencian yang bisa merusak toleransi dari sebuah negara dalam hal ini Indonesia. Dengan banyaknya kelompok kejahatan yang terorganisir seperti ini, mau tidak mau agar segera diberantas sebab dampak yang dihasilkan pertama kali oleh sindikat Saracen adalah merusak kesatuan bangsa yang berefek pada ancaman kemananan sebuah negara. Tidak hanya itu saja , sindikat Saracen dapat menciptakan instabilitas politik. Melihat pada hasil riset Alenia dan Perotti pada tahun 1996, instabilitas sosial politik akan meningkatkan ketimpangan dam menurunkan investasi. Itulah sebabnya, tuntutan hukum kepada sindikat Saracen dapat dikaitkan dengan sabotase ekonomi (Ervianto, 2017)

Pengaruh Globalisasi dan Kaitannya Dengan Ancaman Keamanan Negara

Pada abad ke-21 ini, era globalisasi ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Hal ini mengakibatkan terciptanya jaringan internet yang telah mengubah tatanan dunia menjadi tanpa batas serta saling bergantungnya negara satu dengan negara yang lainnya. Globalisasi tentunya memiliki Implikasi positif ataupun negatif. Implikasi positf dari globalisasi adalah meningkatnya kesejahteraan manusia dalam semua aspek di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Terlepas dari banyaknya dampak positif yang dihasilkan oleh globalisasi, dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat ini juga dapat menjadi ancaman bagi keamanan suatu negara.

Ancaman keamanan di di era yang sekarang tidak lagi hanya terdapat di bidang militer saja tetapi didominasi oleh pelaku non negara yang sangat terorganisir dan tidak terkait oleh lingkup dan waktu. Kegiatan mereka meliputi terorisme, pemberontakan, jual beli narkoba, kejahatan cyber crime, bahkan sampai permasalahann hak asasi manusia. Globalisasi memang sudah menciptakan keterikatan diantara negara-negara sekaligus juga meciptakan ancaman baru dan rasa tidak aman bagi negara. Rasa tidak aman (insecurity) negara tersebut memperlihatkan sebuah kobinasi antara ancaman-ancaman (threats) dan kerawanan (vulnerabilitties) yang lahir dari fenomena globalisasi.

Berakhirnya cold war dan sejalan dengan perkembangan fenomena globalisasi, mendorong agar perubahan terhadap konsentrasi keamanan. Dlihat dari segi tradisional, keamanan sering didefinisikan dari pendekatan geopolitik, dengan menekanan pada berbagai aspek seperti penangkalan, perimbangan kekuatan dan strategi militer.

Pemahanan keamanan secara tradisional seperti ini, menjadi tidak penting seiring dengan munculnya multi isu, multi aktor dan berubahnya sistem internasional sebagai gambaran dari globalisasi. Dengan segala implikasi yang menguntungkan dan juga merugikan dari globalisasi, negara dituntut untuk lebih sensitif terhadap apa yang bisa menjamin keamanan negaranya. Dan juga yang tercipta dalam pola yang beragam pula agar menekankan negara agar cenderung memperhatikan keamanan dari perspektif yang selama ini jarang diperhatikan. Dalam aspek ideologi budaya, ekonomi, sosial politik, teknologi dan sebagainya, dimana terlihat sebagai dimensi yang mampu menciptakan ancaman.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa proses globalisasi meciptakan komunikasi masyarakat dan beberpa pola kehidupan menjadi sebuah masyarakat global. Dalam hal ini perkembangan teknologi dan informasi dapat memberikan akses yang cepat dan mudah dalam penyebaran nilai-nilai, ide dan mamaksakan isu tertentu.

Kelompok atau sindikat Saracen adalah bukti kekejaman arus cepat dari perubahan globalisasi di bidang teknologi informasi. Kelompok ini memanfaatkan kemudahan dalam mengakses media sosial dan menyalahgunakannnya dalam membingkai isu-isu yang sensitif dan meneyebarluaskannya.

Ujaran kebencian yang membawa SARA, Etnis, Simbol Negara, bahkan Presiden dilakukan dengan rela mengorbankan kekisruhan dalam negeri yang muara nya bisa menghancurkan keamanan sebuah negara. Ideologi sebuah negara dan Agama mempunyai value yang besar sehingga masyarakat akan matia-matian mempertahankan nya. Sindikat Saracen dengan kemudahan dan bantuan akses yang mudah dari teknologi yang memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk mebuaat isu Agama dan Ideologi dipecahbelah oleh kelompok mereka. Sakali lagi bahwa keamanan sebuah negara di era globalisasi bukan semata-mata mempertahankan atau memperkuat bagain militer saja, akan tetapi pemahaman akan faktor-faktor non konvensional yang sudah dijelaskan diatas agar bisa lebih diperkuat apalagi soal ideologi sebuah negara.

Paradigma Critical Security Studies

Critical Security Studies berasal dari sebuah penggabungan post marxism dan pasca strukturalis, mulai dari 1970-an. Menurut Erikkson, critical security studies membahas tentang konstruksi sosial keamanan. Menurut Booth, critical security studies adalah sub bidang dalam dispilin akademis politik intrtnasional berkaitan dengan pengetahuan kritis tentang keamanan. Pengetahuan kritis menyiratkan pemahaman mencoba untuk berdiri atas struktur luar yang berlaku, proses, ideologi sambil mengakui bahwa semua konseptualisasi keamanan berasal dari persepektif politik, teoritis, atau sejarah tertentu.

A New Framework Analalys menetapkan posisi khusus pada studi keamanan yang sering dikenal dengan Copenhagen School. Ole Weaver berpendapat bahwa sekuritisasi membuat kontribusi penting dalam perkembangan Copanhagen School sebagai bentuk baru dari Critical Securtiy Studies. Copenhagen School berfokus pada menyuarakan perluasan konsep keamanan dan menyoroti proses-proses sekuritisasi terhadap persoalan politik.

Sekuritisasi analisis Copenhagen School menekankan bahwa keamanan nasional sering diminta oleh negara untuk meligitimasi penggunaan kekerasan atau tindakan yaang luarbiasa lainnya, dan kemudian untuk memobiliasi sumber daya dan menggunakan kekuasaan khusus yang seharusnya dapat diterima untuk khalayan domestik dan internasional.

Dalam kasus Saracen adalah bukti Critical Security Studies sangat relevan untuk menggambarkan kontur anacaman keamanan negara yang berubah. Critical Security Studies telah cukup berhasil menjadi analisis sudut pandang utama untuk melihat ancaman keamanan negara tidak hanya datang dari faktor militer saja akan tetapi lebih dari itu. Pendekatan ini telah menawarkan kritik yang luar biasa terhadap pandangan tradisional tentang keamanan dan dampaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun