Langit sore itu menggantung rendah di atas kampus UMY. Angin membawa sisa riuh dari barisan mahasiswa baru yang masih beradaptasi dengan hiruk suasana MATAF. Di antara kerumunan itu, aku dan partner fasilitatorku berdiri dua sosok yang awalnya tak saling mengenal, namun kini dipertemukan oleh satu kata yang begitu sederhana tapi bermakna: khafilah.
Kami berdua datang dari arah yang berbeda, dengan cara berpikir dan ritme yang tak sama. Namun di bawah langit Adhinara, perbedaan itu bukan alasan untuk menjauh, melainkan alasan untuk belajar saling memahami. Kami ditugaskan bukan hanya untuk memimpin, tapi untuk menemani menjadi rumah kecil bagi mereka yang baru menjejakkan langkah pertama di dunia yang lebih luas.
Awalnya semua terasa kaku dan teratur. Ada sapaan formal, senyum basa-basi, dan instruksi yang dihafal. Tapi seiring waktu berjalan, ada sesuatu yang hangat yang tumbuh di antara kami. Sebuah perasaan bahwa kami sedang membangun lebih dari sekadar tim, lebih dari sekadar kelompok. Kami sedang membangun keluarga kecil di tengah gemuruh ribuan wajah baru.
Partner fasilitatorku bukan hanya rekan tugas. Ia adalah penyeimbang yang mengajarkanku arti tenang di tengah riuh, dan sabar di tengah semangat yang bergegas. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya seperti jangkar yang menahan langkahku agar tidak terburu-buru. Kami tidak butuh banyak kata, cukup satu tatapan di tengah keramaian, dan kami tahu apa yang harus dilakukan.
Lalu, datanglah dua belas jiwa muda itu dua belas wajah yang awalnya asing, kini menetap di ruang hatiku. Mereka datang membawa cerita, kepribadian, dan warna yang tak sama, tapi justru di situlah indahnya.
Ada yang datang dengan tawa paling nyaring, menghidupkan suasana bahkan di tengah lelah. Ada pula yang selalu datang terlambat, tapi justru membuat kami belajar arti sabar. Ada yang pendiam, tapi diamnya menyimpan ketulusan dan perhatian yang halus. Ada yang berani berbicara meski suaranya gemetar, mengajarkan kami bahwa keberanian tidak selalu tentang kerasnya suara, tapi tentang kejujuran hati.
Ada satu yang tak pernah lelah membuat kami tertawa di tengah penat, dan satu lagi yang diam-diam selalu memastikan semua baik-baik saja. Ada yang rajin mencatat setiap hal kecil, seolah takut kehilangan momen, dan ada pula yang sibuk merekam segalanya dalam ingatan, bukan kamera.
Mereka berdua belas berbeda, tapi saling melengkapi. Seperti warna-warni senja yang bertemu di langit Adhinara, menciptakan harmoni yang tak mungkin diulang.
Hari-hari MATAF berjalan seperti sungai yang deras namun lembut. Kami tertawa di bawah tenda yang panas, berlari di antara jadwal yang padat, dan diam bersama ketika rasa lelah tiba. Kadang aku memandang mereka diam-diam, melihat bagaimana mereka tertawa, saling menggoda, saling menguatkan. Dalam diri mereka, aku melihat versi paling murni dari semangat muda polos, jujur, tapi penuh tekad untuk tumbuh.
Pernah satu sore, setelah kegiatan selesai, kami duduk melingkar di pelataran kampus. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan cahaya jingga yang membasuh wajah-wajah lelah itu. Mereka bercanda, bercerita tentang mimpi, tentang alasan memilih jurusan, tentang ketakutan akan dunia kuliah yang baru. Aku hanya diam mendengarkan, tapi di dalam diam itu aku merasa sedang menyaksikan sesuatu yang suci lahirnya ikatan yang tidak dibuat oleh program, tapi oleh perasaan tulus untuk saling mengenal.
Lalu malam datang. Langit UMY bersih malam itu, seperti kanvas luas yang penuh bintang. Kami kembali duduk melingkar, kali ini tanpa banyak kata. Partner fasilitatorku menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan suara lembut, "Mereka bukan lagi peserta. Mereka sudah jadi bagian dari kita."
Aku mengangguk. Karena memang benar kami tak lagi sekadar fasilitator dan peserta. Kami adalah keluarga kecil yang ditautkan oleh tawa, doa, dan percakapan sederhana yang ternyata begitu berarti. Kami belajar bahwa kebersamaan bukan hanya soal seberapa lama waktu yang dihabiskan, tapi seberapa dalam hati saling memahami.
Kini, ketika MATAF telah usai, kampus kembali tenang. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang tak benar-benar berakhir. Karena di balik kesibukan hari-hari setelahnya, kenangan tentang khafilah ini selalu datang tanpa diminta di setiap tawa, di setiap langkah melewati tempat kami dulu berkumpul, di setiap langit sore yang mirip hari pertama kami bertemu.
Mungkin suatu hari nanti kami akan berjalan di jalan masing-masing ada yang sibuk dengan organisasi, ada yang mengejar prestasi, ada yang tenggelam dalam rutinitas akademik. Tapi setiap kali kita berhenti sejenak dan menatap langit, aku ingin kalian tahu: di bawah langit Adhinara ini, kita pernah menjadi sesuatu yang indah.
Kalian adalah alasan mengapa aku percaya,
bahwa kebersamaan yang tulus tak pernah berakhir.
Kita mungkin tak lagi satu tenda,
tak lagi dalam daftar absen yang sama,
tapi nama-nama kalian telah menetap dalam ingatanku seperti bintang yang diam di langit malam, tapi selalu ada ketika rindu menengadah.
Athur, Ceyza, Faris, Firly, Laura, Novi, Nur, Rangga, Sasha, Tyo, Zaky, Ivan---
Kalian bukan sekadar peserta khafilah.
kalian adalah kisah yang akan kuceritakan suatu hari nanti,
tentang bagaimana kehangatan bisa tumbuh dari pertemuan yang sederhana,
tentang bagaimana aku belajar menjadi fasil bukan karena tugas, tapi karena cinta pada kebersamaan.
Sebab di bawah langit Adhinara,
kami tak hanya menjalankan amanah.
Kami menemukan arti rumah.
Dan setiap rumah, tak peduli seberapa jauh kita melangkah,
selalu tahu jalan pulang.
Kita pernah menjadi cerita
Kita pernah menjadi keluarga.
Kita pernah tertawa dan bertumbuh bersama.
Dan untuk kalian dua belas wajah yang kini tak lagi asing di pikiranku terima kasih sudah hadir. Terima kasih sudah mempercayakan tawa, lelah, dan harapan kepada kami. Kalian membuat setiap langkah di MATAF bukan sekadar tugas, tapi perjalanan penuh makna.
Sebab di bawah langit Adhinara, kami belajar satu hal yang tidak diajarkan di briefing manapun: bahwa pertemuan yang tulus akan selalu meninggalkan jejak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI