Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang menentukan masa depan bangsa. Karena itulah, konstitusi Indonesia menegaskan bahwa sedikitnya 20 persen APBN maupun APBD harus dialokasikan untuk sektor pendidikan (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4; UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Komitmen ini diwujudkan pemerintah melalui alokasi dana pendidikan yang pada tahun 2025 mencapai Rp665 triliun jumlah terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, di balik capaian tersebut, muncul persoalan klasik yang masih kita hadapi: fragmentasi anggaran. Dana pendidikan yang besar itu terpecah ke dalam banyak program prioritas, mulai dari digitalisasi sekolah, tunjangan guru, beasiswa, revitalisasi sarana, hingga asesmen nasional. Program-program tersebut memang terdengar menjanjikan, tetapi pelaksanaannya kerap menghadirkan tantangan tersendiri, terutama bagi lembaga pendidikan Islam di daerah.
Madrasah dan Pesantren: Penjaga Moral Bangsa yang Masih Terpinggirkan
Madrasah dan pesantren merupakan pilar penting pendidikan Islam di Indonesia. Data Kementerian Agama mencatat terdapat lebih dari 49 ribu madrasah, mayoritas berada di pedesaan dan dikelola swasta. Sayangnya, lebih dari 70 persen di antaranya masih menghadapi keterbatasan fasilitas, mulai dari ruang belajar yang tidak layak hingga laboratorium yang minim (Kemenag, 2024).
Kondisi serupa dialami pesantren. Walaupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 telah mengakui kedudukan pesantren setara dengan lembaga pendidikan lain, dukungan anggaran negara masih belum sebanding. Tidak sedikit pesantren kecil yang mengandalkan swadaya masyarakat, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti listrik dan honorarium guru.
Dengan demikian, ketika dana triliunan rupiah berputar di pusat untuk program modernisasi, lembaga pendidikan Islam di pelosok sering kali hanya menjadi penonton.
Dampak Fragmentasi: Ketimpangan Akses dan Mutu
Pertama, ketimpangan fasilitas. Sekolah negeri di perkotaan cepat merasakan manfaat digitalisasi, sedangkan madrasah swasta di desa masih kesulitan jaringan internet. Perangkat digital tanpa infrastruktur memadai akhirnya tidak banyak berguna.
Kedua, beban administratif. Fragmentasi anggaran membuat sekolah dan madrasah harus mengisi berbagai laporan dan mengikuti asesmen yang kompleks. Akibatnya, guru serta kepala madrasah sering lebih disibukkan oleh urusan administrasi dibanding fokus pada pembelajaran.
Ketiga, minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter. Padahal, madrasah dan pesantren berperan menjaga akhlak generasi. KH. Hasyim Asy'ari berpesan, "Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh." Apabila anggaran pendidikan terlalu menekankan aspek teknis dan teknologi, sementara nilai spiritualitas diabaikan, kita berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara digital tetapi rapuh secara moral.