Mohon tunggu...
ALI (ARSIP LITERASI ILMIAH)
ALI (ARSIP LITERASI ILMIAH) Mohon Tunggu... Penulis

Saya seorang yang suka memabaca buku dan suka menulis apa yang saya fikirkan. selain itu, saya suka dengan tantangan baru dalam berbagai macam ilmu pengatahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenaikan Pajak dan Gaji Penguasa: Sudah Saatnya Kita Belajar dari Sejarah Revolusi

31 Agustus 2025   12:55 Diperbarui: 31 Agustus 2025   12:57 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Andriyaldi L.C. MA

Ketika rakyat sedang bergulat dengan beban hidup yang kian berat, justru kabar tentang naiknya gaji pejabat dan kenaikan tarif pajak kembali mencuat di ruang publik. Ini bukan sekadar angka dalam kebijakan fiskal. Ini adalah simbol yang sarat makna: bahwa ada kesenjangan yang kian lebar antara mereka yang memegang kekuasaan dan rakyat yang harus menggenggam harapan dalam kesempitan.

Fenomena ini mengingatkan kita pada peristiwa penting dalam sejarah dunia: Revolusi Prancis 1789. Sebuah momen krusial ketika rakyat akhirnya tidak tahan lagi menanggung ketidakadilan sistemik, terutama dalam hal perpajakan.

Apa yang sebenarnya terjadi kala itu?

Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI, sistem perpajakan sangat timpang. Dua golongan elite yaitu, kaum bangsawan dan rohaniwan, yang dikenal sebagai First Estate dan Second Estate, hampir tidak tersentuh pajak. Sebaliknya, rakyat jelata yang tergabung dalam Third Estate seperti petani, buruh, dan kelas menengah, harus menanggung hampir seluruh beban pajak negara. Ironisnya, beban ini dipikul di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, gagal panen, serta harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam.

Lebih menyakitkan lagi, di tengah penderitaan rakyat, para elit justru hidup dalam kemewahan. Istana megah seperti Versailles dibangun sebagai simbol kejayaan, pesta-pesta besar digelar dengan dana publik, sementara di luar tembok istana, rakyat antre makanan pokok dengan perut kosong. Krisis ekonomi yang dipicu oleh utang luar negeri, termasuk dukungan terhadap Revolusi Amerika, hanya menambah panjang daftar beban negara.

Namun, sejarah mencatat bahwa yang menyulut revolusi bukan semata-mata kelaparan atau pajak yang mencekik, melainkan rasa ketidakadilan yang sistemik. Ketimpangan, kesenjangan, dan keistimewaan segelintir orang menjadi pemantik utama. Apalagi saat itu, gagasan-gagasan dari Era Pencerahan mulai menyebar: tentang kebebasan, kesetaraan, dan perlunya pemerintahan yang bertanggung jawab dan adil.

Lalu, apakah sejarah ini terlalu jauh untuk dijadikan cermin bagi kondisi kita hari ini?

Jawabannya: tidak. Sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk diambil pelajaran. Jika hari ini publik kembali merasakan ketimpangan dalam kebijakan, di mana rakyat disuruh "berhemat" dan membayar lebih melalui pajak, sementara elite politik menaikkan gaji atau menikmati fasilitas negara tanpa empati, maka kita sedang memainkan babak baru dari cerita lama yang pernah berakhir dengan gejolak besar.

Pajak pada dasarnya adalah kontribusi rakyat untuk membangun negara. Namun ia harus dibarengi dengan keadilan, transparansi, dan keteladanan. Bukan dengan arogansi kekuasaan atau kesewenang-wenangan dalam kebijakan fiskal.

Negara yang kuat bukanlah negara yang memeras rakyatnya demi membiayai elite. Negara yang kuat adalah negara yang dipercaya rakyatnya karena adil, bijak, dan berpihak kepada mereka yang paling lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun