Mohon tunggu...
Ali Aminulloh
Ali Aminulloh Mohon Tunggu... Dosen

Hidup ini adalah ibadah, maka jalani kehidupan ini penuh makna dengan segenap ketulusan hati, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan sejati dimanapun dan kapanpun dan dalam situasi apapun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghidupkan Kejujuran: Merumuskan Ulang Pendidikan Transpormatif Berlandaskan Pancasila

13 Oktober 2025   22:59 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:59 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Dr. H. Sanusi Uwes, M.Pd. Nara Sumber Kuliah Umum (Dokumen Panitia Al-Zaytun)

MENGHIDUPKAN KEJUJURAN: MERUMUSKAN ULANG PENDIDIKAN TRANSFORMATIF BERLANDASKAN PANCASILA

Oleh Ali Aminulloh

Ma'had Al-Zaytun, 12 Oktober 2025 --- Al-Zaytun secara konsisten mewujudkan transformasi pendidikan modern abad ke-21. Upaya fundamental ini diwujudkan melalui Pelatihan Pelaku Didik berkelanjutan yang diselenggarakan setiap Ahad, dimulai sejak 1 Juni 2025. Dengan total 2.742 peserta, pelatihan ini menghadirkan perwakilan lengkap dari ekosistem pendidikan, mulai dari eksponen yayasan, dosen, guru, mahasiswa, pelajar Aliyah, pimpinan unit pendukung, para wali santri, hingga para petani yang tergabung dalam P3KPI (Perkumpulan Petani Penyangga Ketahanan Pangan Indonesia).

Pada sesi ke-18, Ahad 12 Oktober 2025, Al-Zaytun menghadirkan narasumber, Prof. Dr. H. Sanusi Uwes, M.Pd., Guru Besar Administrasi Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekaligus Rektor Universitas KH. E. Muttakin Purwakarta. Beliau memaparkan materi krusial mengenai implementasi Pancasila dalam manajemen pendidikan abad XXI. Dalam paparannya, Prof. Sanusi Uwes tidak hanya membahas manajemen struktural, tetapi menggagas konsep yang lebih dalam tentang spiritualitas Pancasila dan kejujuran sebagai modal utama transformasi.

Melampaui Civitas Academika: Menggagas Konsep 'Pelaku Didik' Hingga ke Petani

Istilah Pelaku Didik yang dikembangkan oleh Ma'had Al-Zaytun menawarkan sebuah konsep inklusif yang melampaui batas-batas civitas academika. Prof. Sanusi Uwes secara eksplisit menyatakan ketertarikannya pada istilah yang menurutnya merupakan pengembangan yang perlu dipublikasikan secara masif dan bahkan layak menjadi hak paten istilah dari Ma'had.

Menurut beliau, Pelaku Didik mencakup seluruh masyarakat di sekitar lembaga pendidikan. Ini berarti seluruh ekosistem --- dari dosen, guru, murid, pimpinan, wali santri, hingga para petani yang tergabung dalam P3KPI di lingkungan Ma'had --- adalah bagian dari komunitas pembelajaran yang bertanggung jawab.

Gagasan ini menciptakan model pendidikan non-terputus, di mana proses penanaman nilai dan ilmu tidak berhenti di ruang kelas, tetapi terintegrasi penuh dengan realitas sosial dan ekonomi di sekitarnya. Konsep ini secara mendasar mencerminkan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam konteks pendidikan, yang menghargai martabat setiap individu sebagai bagian integral dari proses mendidik dan memanusiakan.

Photo Bersama Syaykh Al-Zaytun dan Eksponen (Dokumen Panitia Al-Zaytun)
Photo Bersama Syaykh Al-Zaytun dan Eksponen (Dokumen Panitia Al-Zaytun)

Modal Paling Kuat: Kejujuran dan Nafas Mujadid di Tengah Resiko Pembaharuan

Apa modal utama agar sebuah kehidupan atau sistem pendidikan semakin lama semakin baik? Prof. Sanusi Uwes tegas menyebutnya sebagai "Kejujuran".

Mengutip moto dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid, beliau menekankan bahwa "Kejujuran merupakan modal paling besar dan paling kuat dalam perjuangan menuju perbaikan." Kejujuran ini bukan sekadar kepolosan, melainkan sebuah komitmen spiritual dan etika yang melahirkan Keberanian Berkreasi (Creative Courage). Keberanian inilah yang esensial dalam memicu Pembaharuan (Tajdid), sebuah semangat Mujadid (pembaharu) yang harus dimiliki setiap pelaku didik.

Secara spiritual, dorongan untuk jujur sangat kuat. Dalam penafsiran Al-Qur'an, orang-orang yang jujur (siddiqin) dijanjikan akan berkumpul bersama para nabi, syuhada, dan shalihin di Surga. Artinya, kejujuran adalah komitmen transendental untuk transformasi. Namun, Prof. Sanusi memperingatkan bahwa pembaharuan selalu berisiko. Orang yang jujur dan kreatif sering memancing perdebatan dan ketidaksenangan, sebab pembaharuan berpotensi merugikan pihak-pihak yang telah lama diuntungkan oleh tradisi lama.

Paradoks Fiqih Ekonomi: Menghadapi Devaluasi Rupiah dengan Implementasi Pancasila

Komitmen pada Keberanian Berkreasi mendorong Prof. Sanusi untuk membahas perlunya Reformulasi Fiqih Ekonomi Kontemporer di dunia pendidikan. Beliau menyoroti studi kasus Riba Nasiah (bunga pinjaman) dan mengkritisi kaidah fiqih lama yang mengharamkannya.

Kaidah pengharaman riba didasarkan pada asumsi harga uang stabil, seperti yang beliau temukan di Mekah (harga ayam guling tetap 10 Riyal selama sepuluh tahun). Dalam kondisi ini, bunga jelas merugikan peminjam. Namun, di Indonesia, realitasnya berbeda. Beliau menyajikan data pinjaman untuk pembelian rumah di Bandung tahun 1980: pinjaman Rp3.300.000 dengan cicilan Rp34.120 per bulan selama 15 tahun. Setelah 15 tahun, harga rumah melonjak menjadi Rp150.000.000. Dalam kasus ini, pihak yang dirugikan justru yang meminjamkan uang, sebab nilai Rupiah telah terdevaluasi drastis (hilang sekitar 90%).

Studi kasus dramatis ini menegaskan urgensi implementasi Pancasila sebagai Manajemen Spiritual. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi landasan spiritual bagi kesadaran bahwa ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus disedekahkan, bukan diperjualbelikan. Sila ini menuntut pendidikan yang mampu mengintegrasikan nilai transendental (Subjektifikasi) dengan pelaksanaan ajaran yang sesuai dengan realitas sosial-ekonomi (Objektifikasi).

Suasana Kuliah Umum Al-Zaytun (Dokumen Panitia Al-Zaytun)
Suasana Kuliah Umum Al-Zaytun (Dokumen Panitia Al-Zaytun)

Epilog: Estafet Sang Pemberani: Ilmu untuk Kemanusiaan

Perjuangan bangsa Indonesia selalu dimodali oleh semangat spiritual dan keberanian untuk memperbaharui. Puncak keberanian spiritual dan komitmen pada persatuan ditunjukkan pada tahun 1945, ketika umat Islam Indonesia dengan lapang dada dan toleran menerima perubahan sila pertama demi menjaga kesatuan bangsa. Langkah historis ini menunjukkan bahwa nilai-nilai ke-Tuhanan dan kebangsaan tidak perlu dipertentangkan, melainkan disatukan.

Maka, tantangan bagi setiap Pelaku Didik yang hadir dalam pelatihan ini adalah menjadi Pelaku Didik yang Berani dan Jujur. Ilmu adalah milik Tuhan; jangan pernah memperjualbelikannya, tapi sedekahkanlah. Jadikan kejujuran sebagai modal terkuat, dan biarkan Keberanian Berkreasi membawa Indonesia menuju masa depan yang adil, cerdas, dan manusiawi, sesuai cita-cita Pancasila. Tugas kita adalah melanjutkan estafet transformasi yang tak pernah berhenti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun