Refleksi Peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia: Menghidupkan Sosialisme Melalui Pendidikan
Oleh : Ali Aminulloh
Mentari Ahad pagi, 17 Agustus 2025, memancarkan sinarnya dengan kehangatan yang berbeda di atas Lapangan Palagan Agung. Di sana, lautan manusia berhimpun dalam satu semangat, satu jiwa. Sebanyak 4.486 insan---mulai dari para eksponen yayasan, dosen, guru, pelajar, mahasiswa, hingga perwakilan karyawan dan wali santri---menjadi saksi hidup dari peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia di lingkungan keluarga besar Al-Zaytun. Udara dipenuhi rasa khidmat, penantian, dan syukur yang mendalam atas anugerah kemerdekaan.
Detik-Detik Sakral di Bawah Sang Merah Putih
Upacara dimulai dengan sebuah prosesi yang selalu berhasil menggetarkan sanubari. Pasukan Pengibar Bendera Al-Zaytun, dengan langkah tegap dan serempak, membawa Sang Merah Putih menuju tiang tertinggi. Alunan lagu "Berkibarlah Benderaku" mengiringi setiap gerak mereka, seolah menjadi detak jantung seluruh peserta upacara. Ketika bendera mulai merangkak naik, ribuan pasang mata menatapnya dengan penuh hormat, sebuah penghormatan tulus kepada lambang kedaulatan bangsa.
Suasana semakin khusyuk saat lagu kebangsaan "Indonesia Raya" berkumandang agung dalam tiga stanza. Gema suara yang menyatu dari ribuan bibir itu bukan sekadar nyanyian, melainkan sebuah ikrar kesetiaan yang terucap dari lubuk hati terdalam. Momen sakral berlanjut dengan pembacaan naskah-naskah fundamental negara. Suara Datuk Sir Imam Prawoto, KRSS., MBA., CRBC., terdengar lantang dan berwibawa membacakan Teks Proklamasi, membawa kembali ingatan pada heroisme para pendiri bangsa. Disusul oleh AF Abdul Halim, S.Sos., MP., yang membacakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Moh. Nurdin A. Tsabit, S.Sos., MAP., yang menegaskan kembali nilai-nilai luhur bangsa melalui teks Pancasila. Setiap kata yang terucap adalah pengingat tentang dari mana kita berasal dan ke mana kita akan melangkah.
Menyibak Tabir Sejarah: Refleksi Ideologi untuk Keadilan Sosial
Puncak perenungan intelektual hadir saat pembina upacara, Syaykh Al-Zaytun, AS. Panji Gumilang, S.Sos., MP., menyampaikan amanatnya. Dengan tatapan tajam dan suara yang menembus kalbu, beliau tidak hanya berbicara tentang perayaan, tetapi mengajak seluruh hadirin untuk menyelami arus sejarah ideologi bangsa. Beliau mengupas bagaimana sejak tahun 1600, bumi Nusantara yang kala itu dikenal sebagai Hindia Timur, bersama dengan India Besar (India, Pakistan, dan Bangladesh), telah menjadi ladang subur bagi kapitalisme internasional yang dimotori oleh Belanda dan Inggris.
"Dari tahun 1600 hingga 1944, kita menyaksikan pasang surut kapitalisme yang dioperasikan oleh Belanda. Melalui VOC, tanam paksa, hingga politik etis," ungkap Syaykh. Kemerdekaan pada tahun 1945, lanjutnya, adalah sebuah titik balik monumental. Kapitalisme tercabut, digantikan oleh ruh sosialisme yang termaktub indah dalam Pembukaan UUD 1945 dan terangkum dalam Pancasila, sebagai wujud sosialisme khas Indonesia.
Namun, perjalanan itu tidak mulus. Sosialisme Indonesia hanya bertahan sekitar 20 tahun. Sejak 1966, di era Presiden Soeharto, kapitalisme kembali mencengkeram dan berlanjut hingga era reformasi 1998, bahkan semakin merajalela hingga hari ini. "Indonesia sampai sekarang ini bermadzhab kapitalisme dalam segala bidang," tegasnya.