Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Syaykh menawarkan sebuah visi untuk mengembalikan bangsa pada fitrahnya: kehidupan yang mewujudkan keadilan sosial. Kuncinya adalah karakter. "Siapa yang kaya harus bersifat isti'faf, mau berbagi, dan siapa yang belum kaya, maka kehidupannya sederhana," tuturnya, seraya mengutip firman Ilahi dari QS. An-Nisa ayat 6: "...wa man kna ganiyyan falyasta'fif, wa mang kna faqran falya`kul bil-ma'rf." (Barangsiapa mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim), dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut).
Untuk mewujudkan cita-cita luhur sosialisme itu, sarananya hanya satu: pendidikan yang sempurna. "Kita masuk dalam arena pendidikan guna mewujudkan sosialisme agar rakyat Indonesia terdidik semuanya. Sehingga menjadi bangsa terdidik kini dan ke depan dalam menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia," tutupnya, meninggalkan pesan kuat yang membakar semangat.
Harmoni Gerak dan Nada, Ekspresi Syukur Penuh Warna
Setelah perenungan mendalam, lapangan upacara seketika berubah menjadi panggung keceriaan. Rasa syukur atas kemerdekaan tidak hanya diungkapkan melalui kata, tetapi juga melalui gerak dan nada yang indah. Sebanyak 132 pelajar dari tingkat MI, MTs, hingga MA yang tergabung dalam Seni Tari Al-Zaytun (STAR-Z) mempersembahkan "Tari Kemilau Indonesiaku". Sebuah mahakarya kreasi Dra. Puruhitari yang merangkai keberagaman seni dari Sabang sampai Merauke dalam satu harmoni. Gerakan gemulai yang berpadu dengan hentakan energik menciptakan sebuah tontonan visual yang memukau, mengundang tepuk tangan riuh dari penonton.
Keceriaan tidak berhenti di situ. Panggung kemudian diambil alih oleh 60 ibu-ibu anggota Koperasi Desa Kota Indonesia. Dengan balutan busana merah putih yang kontras dan bendera kecil di genggaman, mereka menampilkan tari "Berkibarlah Benderaku". Meski usia tak lagi muda, semangat mereka menyala-nyala. Gerakan mereka yang apik namun tetap energik berhasil menghipnotis siapa pun yang melihat, membuktikan bahwa semangat nasionalisme tidak pernah lekang oleh waktu.
Alhasil, peringatan 17 Agustus di Al-Zaytun bukanlah sekadar seremoni. Ia adalah sebuah perpaduan sempurna antara rasa nasionalisme yang khidmat, refleksi intelektualitas yang mendalam, dan ledakan keceriaan yang tulus. Sebuah ekspresi syukur yang lengkap atas anugerah bernama kemerdekaan.
Epilog: Sebuah Janji untuk Ibu Pertiwi
Saat matahari semakin tinggi dan gema perayaan perlahan mereda, yang tersisa di Lapangan Palagan Agung bukan hanya kenangan, melainkan sebuah janji. Janji yang terpatri dalam hati setiap insan yang hadir. Peringatan hari itu telah berhasil menanamkan benih kesadaran bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah tugas suci: membangun bangsa yang terdidik, berkarakter, dan berkeadilan sosial.
Dari khidmatnya pengibaran bendera, dalamnya perenungan sejarah, hingga indahnya harmoni tari dan gerak, Al-Zaytun telah menunjukkan bagaimana seharusnya kemerdekaan dirayakan. Bukan dengan euforia sesaat, tetapi dengan refleksi, karya, dan komitmen untuk masa depan. Inilah gema kemerdekaan sejati, sebuah gema yang akan terus menginspirasi langkah-langkah generasi penerus dalam mengisi kemerdekaan, demi mewujudkan Indonesia Emas yang dicita-citakan. Sebuah janji tulus dari anak bangsa untuk Ibu Pertiwi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI