Apa modal utama agar sebuah kehidupan atau sistem pendidikan semakin lama semakin baik? Prof. Sanusi Uwes tegas menyebutnya sebagai "Kejujuran".
Mengutip moto dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid, beliau menekankan bahwa "Kejujuran merupakan modal paling besar dan paling kuat dalam perjuangan menuju perbaikan." Kejujuran ini bukan sekadar kepolosan, melainkan sebuah komitmen spiritual dan etika yang melahirkan Keberanian Berkreasi (Creative Courage). Keberanian inilah yang esensial dalam memicu Pembaharuan (Tajdid), sebuah semangat Mujadid (pembaharu) yang harus dimiliki setiap pelaku didik.
Secara spiritual, dorongan untuk jujur sangat kuat. Dalam penafsiran Al-Qur'an, orang-orang yang jujur (siddiqin) dijanjikan akan berkumpul bersama para nabi, syuhada, dan shalihin di Surga. Artinya, kejujuran adalah komitmen transendental untuk transformasi. Namun, Prof. Sanusi memperingatkan bahwa pembaharuan selalu berisiko. Orang yang jujur dan kreatif sering memancing perdebatan dan ketidaksenangan, sebab pembaharuan berpotensi merugikan pihak-pihak yang telah lama diuntungkan oleh tradisi lama.
Paradoks Fiqih Ekonomi: Menghadapi Devaluasi Rupiah dengan Implementasi Pancasila
Komitmen pada Keberanian Berkreasi mendorong Prof. Sanusi untuk membahas perlunya Reformulasi Fiqih Ekonomi Kontemporer di dunia pendidikan. Beliau menyoroti studi kasus Riba Nasiah (bunga pinjaman) dan mengkritisi kaidah fiqih lama yang mengharamkannya.
Kaidah pengharaman riba didasarkan pada asumsi harga uang stabil, seperti yang beliau temukan di Mekah (harga ayam guling tetap 10 Riyal selama sepuluh tahun). Dalam kondisi ini, bunga jelas merugikan peminjam. Namun, di Indonesia, realitasnya berbeda. Beliau menyajikan data pinjaman untuk pembelian rumah di Bandung tahun 1980: pinjaman Rp3.300.000 dengan cicilan Rp34.120 per bulan selama 15 tahun. Setelah 15 tahun, harga rumah melonjak menjadi Rp150.000.000. Dalam kasus ini, pihak yang dirugikan justru yang meminjamkan uang, sebab nilai Rupiah telah terdevaluasi drastis (hilang sekitar 90%).
Studi kasus dramatis ini menegaskan urgensi implementasi Pancasila sebagai Manajemen Spiritual. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi landasan spiritual bagi kesadaran bahwa ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus disedekahkan, bukan diperjualbelikan. Sila ini menuntut pendidikan yang mampu mengintegrasikan nilai transendental (Subjektifikasi) dengan pelaksanaan ajaran yang sesuai dengan realitas sosial-ekonomi (Objektifikasi).
Epilog: Estafet Sang Pemberani: Ilmu untuk Kemanusiaan
Perjuangan bangsa Indonesia selalu dimodali oleh semangat spiritual dan keberanian untuk memperbaharui. Puncak keberanian spiritual dan komitmen pada persatuan ditunjukkan pada tahun 1945, ketika umat Islam Indonesia dengan lapang dada dan toleran menerima perubahan sila pertama demi menjaga kesatuan bangsa. Langkah historis ini menunjukkan bahwa nilai-nilai ke-Tuhanan dan kebangsaan tidak perlu dipertentangkan, melainkan disatukan.
Maka, tantangan bagi setiap Pelaku Didik yang hadir dalam pelatihan ini adalah menjadi Pelaku Didik yang Berani dan Jujur. Ilmu adalah milik Tuhan; jangan pernah memperjualbelikannya, tapi sedekahkanlah. Jadikan kejujuran sebagai modal terkuat, dan biarkan Keberanian Berkreasi membawa Indonesia menuju masa depan yang adil, cerdas, dan manusiawi, sesuai cita-cita Pancasila. Tugas kita adalah melanjutkan estafet transformasi yang tak pernah berhenti.