PROSES PENYALURAN PEMBIAYAAN DALAM EKONOMI ISLAM
 Oleh Ali Aminulloh
Pendahuluan
Pembiayaan dalam Islam memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari sistem pembiayaan konvensional. Sistem ini didasarkan pada prinsip keadilan, transparansi, dan keseimbangan antara keuntungan dan risiko bagi semua pihak yang terlibat. Berbeda dengan sistem keuangan konvensional yang menggunakan bunga sebagai dasar keuntungan, pembiayaan Islam mengutamakan akad-akad yang berbasis transaksi riil, seperti jual beli (murabahah), bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), serta sewa (ijarah). Prinsip dasar dalam pembiayaan syariah adalah larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi), yang bertujuan untuk menciptakan sistem keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan (Antonio, 2001).
Di era modern, pembiayaan Islam telah berkembang pesat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keuangan syariah dan dukungan regulasi dari pemerintah. Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, serta fintech berbasis syariah semakin banyak bermunculan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan berbagai sektor ekonomi, mulai dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga sektor infrastruktur. Di Indonesia, regulasi mengenai pembiayaan syariah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang memastikan bahwa semua produk dan layanan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (Karim, 2014).
Proses pembiayaan Islam memiliki tahapan yang lebih kompleks dibandingkan pembiayaan konvensional karena melibatkan aspek kepatuhan syariah. Selain analisis finansial dan risiko, lembaga keuangan syariah juga harus memastikan bahwa usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Selain itu, pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) menjadi elemen penting dalam memastikan kesesuaian setiap akad dengan hukum Islam.
Untuk memahami lebih lanjut bagaimana sistem pembiayaan Islam diterapkan, pembahasan ini akan menjelaskan empat aspek utama dalam proses pembiayaan syariah, yaitu:
- Tahapan dalam proses pengajuan pembiayaan syariah -- bagaimana prosedur pengajuan pembiayaan di lembaga keuangan syariah dan akad yang digunakan.
- Analisis kelayakan usaha dalam pembiayaan Islam -- bagaimana lembaga keuangan syariah menilai kelayakan usaha dan prinsip kehati-hatian dalam pembiayaan syariah.
- Peran Dewan Pengawas Syariah dalam persetujuan pembiayaan -- bagaimana DPS memastikan kesesuaian akad dan transaksi dengan prinsip syariah.
- Studi kasus implementasi proses pembiayaan Islam di Indonesia -- contoh nyata bagaimana pembiayaan syariah diterapkan di Indonesia dan dampaknya terhadap ekonomi.
Dengan memahami proses pembiayaan Islam secara mendalam, diharapkan masyarakat dapat lebih mengetahui bagaimana sistem ini bekerja serta bagaimana keuangan syariah dapat menjadi solusi alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan bagi perekonomian modern
Tahapan dalam Proses Pengajuan Pembiayaan Syariah
Proses pengajuan pembiayaan syariah diawali dengan pemilihan akad yang sesuai dengan kebutuhan nasabah dan prinsip syariah. Nasabah harus mengajukan permohonan ke lembaga keuangan syariah dengan menyertakan dokumen yang diperlukan, seperti proposal bisnis, laporan keuangan, serta jaminan (jika ada). Langkah pertama adalah verifikasi awal oleh pihak bank untuk memastikan bahwa calon penerima pembiayaan memiliki kapasitas finansial dan bisnis yang layak. Tidak seperti sistem konvensional yang lebih menitikberatkan pada riwayat kredit dan jaminan, sistem syariah menilai kelayakan usaha berdasarkan aspek profitabilitas dan keberlanjutan bisnis (Ismail, 2010).
Setelah verifikasi awal, bank akan menentukan jenis akad yang sesuai. Jika pembiayaan ditujukan untuk kepemilikan barang, akad murabahah dapat digunakan. Jika untuk modal usaha, akad mudharabah atau musyarakah lebih tepat. Bank syariah tidak hanya bertindak sebagai pemberi dana tetapi juga sebagai mitra yang turut serta dalam menanggung risiko usaha (Usmani, 2002).
Tahapan berikutnya adalah analisis kelayakan yang mencakup aspek finansial, operasional, dan kepatuhan syariah. Lembaga keuangan syariah melakukan kunjungan lapangan untuk memastikan kebenaran data yang diajukan nasabah. Jika semua persyaratan terpenuhi, pembiayaan akan disetujui dan akad akan ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Setelah pencairan dana, bank juga melakukan monitoring terhadap penggunaan dana untuk memastikan bahwa pembiayaan digunakan sesuai dengan akad yang telah disepakati (Hassan & Lewis, 2007).
Â
Analisis Kelayakan Usaha dalam Pembiayaan Islam
Analisis kelayakan usaha dalam pembiayaan Islam berbeda dengan analisis kredit pada sistem konvensional. Bank syariah tidak hanya mempertimbangkan aspek keuangan dan jaminan tetapi juga aspek syariah dan dampak sosial dari usaha yang akan dibiayai. Aspek utama dalam analisis ini mencakup kemampuan manajemen usaha, potensi pasar, kelayakan finansial, serta kepatuhan terhadap prinsip syariah (Karim, 2014).
Penilaian dimulai dengan analisis keuangan yang mencakup rasio profitabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Namun, berbeda dengan bank konvensional yang hanya berfokus pada potensi keuntungan, bank syariah juga menilai bagaimana usaha tersebut memberikan manfaat sosial dan apakah usaha tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam. Usaha yang bergerak di sektor haram seperti alkohol, perjudian, atau industri yang merugikan masyarakat tidak akan mendapatkan pembiayaan (Wilson, 2008).
Selain itu, bank syariah juga menerapkan analisis berbasis risk-sharing, di mana bank dan nasabah bersama-sama menanggung risiko. Dalam akad mudharabah, misalnya, pemilik modal tidak boleh menuntut keuntungan tetap, karena keuntungan harus diperoleh dari hasil usaha yang nyata. Hal ini berbeda dengan sistem konvensional yang menggunakan sistem bunga tetap tanpa melihat kondisi usaha yang dibiayai (Chapra, 2000).
Analisis kelayakan juga mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi, di mana usaha yang memiliki dampak positif terhadap lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lebih diutamakan. Dengan demikian, sistem pembiayaan Islam tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan finansial tetapi juga menciptakan keseimbangan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan (Dusuki, 2008).
Â
Peran Dewan Pengawas Syariah dalam Persetujuan Pembiayaan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan lembaga yang bertanggung jawab memastikan bahwa semua transaksi yang dilakukan oleh bank syariah telah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. DPS memiliki kewenangan untuk meninjau, menilai, dan memberikan rekomendasi atas produk dan layanan keuangan syariah yang diajukan oleh bank (Hassan & Lewis, 2007).
Dalam proses pembiayaan, DPS berperan sejak tahap awal hingga akhir. Pada tahap awal, DPS memastikan bahwa akad yang digunakan sesuai dengan prinsip syariah. Selama proses berlangsung, DPS mengawasi penerapan akad agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan nasabah atau bertentangan dengan syariah. Jika terjadi perselisihan antara nasabah dan bank, DPS juga memiliki peran dalam menyelesaikan sengketa dengan mempertimbangkan aspek hukum Islam (Ismail, 2010).
DPS juga bertugas mengawasi penerapan akad berbasis bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah, agar tidak disalahgunakan oleh salah satu pihak. Selain itu, DPS melakukan audit berkala terhadap operasional bank untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas perbankan berjalan sesuai fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI (Antonio, 2001).
Â
Studi Kasus Implementasi Proses Pembiayaan Islam di Indonesia
Di Indonesia, sistem pembiayaan syariah telah berkembang pesat, terutama dengan adanya merger tiga bank syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Salah satu produk unggulan yang berhasil diterapkan adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah, yang menggunakan akad mudharabah dan musyarakah untuk mendukung UMKM. Program ini telah membantu banyak pelaku usaha kecil untuk mendapatkan akses pembiayaan tanpa harus terjerat bunga tinggi seperti dalam sistem konvensional (Karim, 2014).
Selain itu, perkembangan digitalisasi telah memungkinkan proses pembiayaan syariah menjadi lebih efisien. Fintech syariah seperti Ammana dan Investree Syariah telah mengadopsi sistem crowdfunding berbasis syariah, memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam investasi berbasis syariah dengan lebih mudah (Wilson, 2008).
Pertanyaan Evaluasi
- Apa saja tahapan dalam proses pengajuan pembiayaan syariah?
- Bagaimana analisis kelayakan usaha dalam pembiayaan Islam berbeda dengan sistem konvensional?
- Apa peran utama Dewan Pengawas Syariah dalam proses pembiayaan Islam?
- Sebutkan contoh implementasi pembiayaan syariah yang berhasil di Indonesia!
- Mengapa akad bagi hasil lebih sesuai dengan prinsip keadilan dalam pembiayaan Islam?
Referensi
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Chapra, M. U. (2000). The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation.
Dusuki, A. W. (2008). Understanding the Objectives of Islamic Banking: A Survey of Stakeholders' Perspectives. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management.
Hassan, K., & Lewis, M. (2007). Handbook of Islamic Banking. Edward Elgar Publishing.
Ismail, A. G. (2010). Money, Islamic Banks and the Real Economy. Singapore: Cengage Learning.
Karim, A. A. (2014). Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wilson, R. (2008). Islamic Finance in Europe. Journal of Islamic Economics.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI