Mohon tunggu...
ALI AKBAR HARAHAP
ALI AKBAR HARAHAP Mohon Tunggu... Kader HMI

Buat video youtube

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Damailah di Bumi: Rekonstruksi Etika Kemanusiaan dan Ekologi dalam Pandangan Islam dan Filsafat Modern

16 Oktober 2025   18:45 Diperbarui: 16 Oktober 2025   18:45 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Damailah di Bumi: Rekonstruksi Etika Kemanusiaan dan Ekologi dalam Perspektif Islam dan Humanisme Modern"

Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom., M.Sos.

Seruan "Damailah di bumi" bukan sekadar ungkapan spiritual yang melankolis, tetapi merupakan panggilan moral, sosial, dan ekologis yang berakar pada etika kemanusiaan universal. Dalam konteks modern yang diwarnai konflik identitas, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial, kalimat ini memerlukan pembacaan ulang yang lebih rasional dan ilmiah. Damai di bumi bukan hanya cita-cita moral, melainkan kebutuhan peradaban.

1. Damai sebagai Fondasi Teologis dan Rasional

Dalam teologi Islam, kedamaian bukanlah konsep periferal. Kata Islam sendiri berasal dari akar kata s-l-m yang berarti damai, selamat, dan menyerahkan diri kepada kebenaran. Menurut al-Ghazali (Ihya' Ulum al-Din, Jilid IV), hakikat kedamaian adalah keadaan di mana manusia menundukkan egonya kepada kebaikan ilahi, sehingga tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu yang menimbulkan permusuhan.

Dari perspektif rasional-humanistik, Immanuel Kant dalam Perpetual Peace (1795) juga menegaskan bahwa perdamaian abadi hanya dapat dicapai melalui kesadaran moral universal dan rasionalitas hukum antarbangsa. Baik Islam maupun filsafat modern sama-sama menekankan bahwa damai adalah produk dari kesadaran rasional dan spiritual, bukan hasil paksaan politik semata.

2. Krisis Kemanusiaan dan Hilangnya Nur Nurani

Konflik global dan lokal hari ini menunjukkan degradasi nilai kemanusiaan. Perang di berbagai belahan dunia, kekerasan atas nama agama, hingga disintegrasi sosial di media digital adalah bukti bahwa manusia gagal berdamai dengan dirinya sendiri. Dalam kerangka psikologis, Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness menjelaskan bahwa kekerasan bersumber dari alienasi batin - manusia yang kehilangan rasa cinta dan makna hidup akan mudah menghancurkan sesamanya.

Islam sendiri menegaskan bahwa sumber perdamaian adalah hati yang bersih (qalbun salim). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syu'ara: 89:

 "Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat."

Kedamaian eksternal tidak mungkin terwujud tanpa kedamaian internal. Karena itu, rekonstruksi moral menjadi langkah awal untuk memulihkan dunia yang penuh kebisingan batin ini.

3. Damai dengan Alam: Etika Ekologi Islam

Seruan "Damailah di bumi" juga menyiratkan tanggung jawab ekologis. Islam menegaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30) - bukan penguasa yang menaklukkan, tetapi penjaga yang memelihara. Ketika manusia melampaui batas, kerusakan ekologis menjadi konsekuensi logis. QS. Ar-Rum: 41 telah menegaskan:

 "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia."

Dalam kerangka filsafat ekologi, pemikir kontemporer seperti Arne Naess melalui konsep deep ecology menegaskan bahwa manusia bukan pusat kehidupan, melainkan bagian dari jejaring ekologis yang saling tergantung. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan tauhid: bahwa segala ciptaan adalah manifestasi dari kehendak Ilahi yang harus dihormati.

4. Rekonstruksi Etika Perdamaian

Kedamaian sejati lahir dari kesadaran moral kolektif. Menurut Johan Galtung, tokoh studi perdamaian, damai tidak cukup diartikan sebagai ketiadaan kekerasan (negative peace), tetapi harus mencakup keadilan struktural, kesejahteraan sosial, dan harmoni ekologis (positive peace). Dalam konteks Indonesia, seruan "Damailah di bumi" relevan sebagai dasar membangun etos kebangsaan yang adil dan beradab - menghidupkan Pancasila sebagai etika damai dalam praktik sosial.

Maka, membangun perdamaian berarti menata ulang cara berpikir kita terhadap sesama manusia, terhadap alam, dan terhadap Tuhan. Ia bukan proyek politik, tetapi proyek kesadaran. Dari sini, etika spiritual harus berjalan beriringan dengan rasionalitas sosial.

5. Penutup: Tanggung Jawab Kita terhadap Kedamaian

"Damailah di bumi" adalah seruan lintas zaman. Ia mengajak manusia untuk mengembalikan keseimbangan di tengah hiruk-pikuk egoisme global. Tanpa damai, kemajuan hanya akan melahirkan kehancuran baru.

Sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an, kedamaian adalah "buah dari iman yang matang" - ia tidak tumbuh di tanah yang gersang dari keadilan dan kasih sayang.

Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri sendiri: berdamai dengan hati, berdamai dengan sesama, dan berdamai dengan bumi. Karena sejatinya, bumi tidak butuh manusia untuk bertahan; manusialah yang butuh bumi agar tetap bisa hidup dalam kedamaian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun