3. Damai dengan Alam: Etika Ekologi Islam
Seruan "Damailah di bumi" juga menyiratkan tanggung jawab ekologis. Islam menegaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30) - bukan penguasa yang menaklukkan, tetapi penjaga yang memelihara. Ketika manusia melampaui batas, kerusakan ekologis menjadi konsekuensi logis. QS. Ar-Rum: 41 telah menegaskan:
 "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia."
Dalam kerangka filsafat ekologi, pemikir kontemporer seperti Arne Naess melalui konsep deep ecology menegaskan bahwa manusia bukan pusat kehidupan, melainkan bagian dari jejaring ekologis yang saling tergantung. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan tauhid: bahwa segala ciptaan adalah manifestasi dari kehendak Ilahi yang harus dihormati.
4. Rekonstruksi Etika Perdamaian
Kedamaian sejati lahir dari kesadaran moral kolektif. Menurut Johan Galtung, tokoh studi perdamaian, damai tidak cukup diartikan sebagai ketiadaan kekerasan (negative peace), tetapi harus mencakup keadilan struktural, kesejahteraan sosial, dan harmoni ekologis (positive peace). Dalam konteks Indonesia, seruan "Damailah di bumi" relevan sebagai dasar membangun etos kebangsaan yang adil dan beradab - menghidupkan Pancasila sebagai etika damai dalam praktik sosial.
Maka, membangun perdamaian berarti menata ulang cara berpikir kita terhadap sesama manusia, terhadap alam, dan terhadap Tuhan. Ia bukan proyek politik, tetapi proyek kesadaran. Dari sini, etika spiritual harus berjalan beriringan dengan rasionalitas sosial.
5. Penutup: Tanggung Jawab Kita terhadap Kedamaian
"Damailah di bumi" adalah seruan lintas zaman. Ia mengajak manusia untuk mengembalikan keseimbangan di tengah hiruk-pikuk egoisme global. Tanpa damai, kemajuan hanya akan melahirkan kehancuran baru.
Sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an, kedamaian adalah "buah dari iman yang matang" - ia tidak tumbuh di tanah yang gersang dari keadilan dan kasih sayang.
Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri sendiri: berdamai dengan hati, berdamai dengan sesama, dan berdamai dengan bumi. Karena sejatinya, bumi tidak butuh manusia untuk bertahan; manusialah yang butuh bumi agar tetap bisa hidup dalam kedamaian.