Mohon tunggu...
Ali Maskur
Ali Maskur Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Bidang Kajian Islam, Hukum dan Hak Asasi Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buka Yoso: Menapaki Jejak Langkah Perjuangan Walisongo

8 November 2021   08:34 Diperbarui: 8 November 2021   08:38 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada Kamis, 4 November 2021 Pasca Sarjana UIN Walisongo menggelar “Reinventing Walisongo in History Past Present and Future (Menemukan Kembali Walisongo Dalam Sejarah Masa lalu, Masa Kini dan Masa Depan) di Hotel Grand Candi Semarang. Menghadirkan Florian Pohl, Ph.D dari Oxford College of Emory University, Dr. Khairil Husaini bin Ismail dari International Islamic University Malaysia, Prof Dr Abdurrahman Mas’ud dari Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ahmad Baso dari Peneliti Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta, Dr H Samidi Halim dari Balitbang Kemenag Kota Semarang dan Anashom dosen UIN Walisongo Semarang.

Florian Pohl dalam penuturannya menyatakan bahwa sebagai pembelajar dan peneliti harus bisa menunjukkan pada dunia bahwa Walisongo sebagai penyebar agama Islam adalah nyata bukan mitos. Ini karena tiadanya bukti yang kokoh yang mendukung keberadaan Walisongo di Nusantara. Tantangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir disemua belahan dunia. Menapaki jejak pendahulu merupakan tantangan yang luar biasa berat, negara di Benua Afrika dan Asia dianggap masih memiliki masalah dengan kuatnya mitos yang lebih ke arah takhayul.

Menurut saya, peringatan Florian merupakan hal yang sangat serius. Tetapi, Pertama kita harus menyadari pada abad 14; saat Walisongo menyebarkan agama Islam di Nusantara tingkat literasi dan keterbatasan kemampuan tulis-menulis yang masih didominasi keluarga aristokrat. Minimnya dokumen tentang Walisongo yang ditulis langsung oleh para tokoh atau generasi setingkat setelahnya menjadi barang langka, ditambah wilayah nusantara yang dipisahkan oleh lautan semakin membatasi gerak.

Untuk itu, bahasa tutur tidak bisa diabaikan selama didapati kesatuan cerita dari pendahulu dan terkonfirmasi dibeberapa daerah. Ini senada dengan yang disampaikan oleh Ferdinan de Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai suatu sistem tanda yang mewujudkan ide dapat dibagi menjadi dua unsur : langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran), realisasi individual atas sistem bahasa. ( Bally and Albert Sechehaye : 1916) 

Artinya bahasa tidak hanya alat komunikasi tetapi merupakan cermin budaya dan tanda dari peradaban sehingga warisan bahasa merupakan rangkaian sambungan pengetahuan dan kebudayaan. Penggunaan bahasa tertentu menunjukkan adanya aktifitas komunikasi aktif dalam interaksi sosial karenanya, bahasa tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus hidup dan terpengaruha oleh sosial budaya. (Eka Haryanti : 2019).

Bahasa tutur yang diwariskan tentang keberadaan Walisongo di Nusantara tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktanya, para penutur dari Pasai, Palembang, Jayakarta, Cirebon, Demak, Surabaya, Bali, Ternate dan Bugis memiliki kesamaan cerita dan bukti adanya sekelompok penyebar agama Islam yang datang ke Nusantara dengan cara damai, berinteraksi, mendirikan pesantrean, masjid dan perkembangan hukum Islam memberi kontribusi nyata terhadap Hukum Positif di Indonesia saat ini.

Kedua, adanya peninggalan sejarah berupa Masjid, pesantren yang didirikan oleh Walisongo, makam, tempat bekas wudlu, budaya dan petilasan merupakan tanda yang dapat diajadikan bukti adanya penyebar Islam di Nusantara. “Tanda” tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya, adanya tanggal, bentuk dan kesaksian. Prasasti adalah sumber tulisan sejarah yang berasal dari tinggalan masa lampau yang biasanya tertulis di atas batu, lempengan logam gerabah, batu-bata, atau lontar. 

Pada umumnya prasasti-prasasti itu merupakan semacam piagam untuk memperingati peristiwa penting pada suatu kerajaan. (Poesponegoro : 1993). Prasasti memiliki berbagai macam bentuk struktur, berdasarkan jumlah kata dibedakan menjadi prasasti pendek, sedang, dan panjang. Prasasti pada umumnya terdiri dari dua sampai empat atau kurang dari sepuluh kata dengan menyebut nama tokoh, tanda peringatan atau angka tahun dengan menggunakan candra sengkala. Hal ini ada dalam setiap peninggalan Walisongo misalnya yang ditulis oleh Tawalinuddin Haris Arkeolog dan Punabhakti FIB-UI : “Prasasti Regol Masjid Tahun 1804. Terdiri dari 4 baris tulisan Arab, dipahat pada sekeping papan kayu jati, hurufnya timbul dalam kondisi masih baik bertuliskan “Yang membangun regol (pintu gerbang) masjid Demak, Kangjeng Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat, bupati di negeri Demak). 

Tahun dibangunnya rumah ini (regol masjid) pada hari Senin pon, hari yang kedua puluh dari bulan Sya’ban, pada tahun 1292 hijrah. Allah menjadikan atas setiap safnya menjadi salat. 

Kesehatan dan ampunilah kami dan siapa saja yang memasuki pintu ini dari orang-orang mukmin yang telah diampuni dosanya dan bertobat. Amin. Kaloran di negeri yang damai ini, Mas Haji Muhammad Khasan Bashri pada tarikh ini, tahun 1292. Prasasti ini sangat jelas bahwa keberadaan masjid Demak merupakan bukti penyebaran agama Islam.

Untuk itu, saya sepakat dengan Florian Pohl bahwa dokumen tertulis sangat penting tetapi bahasa tutur juga tidak kalah penting dalam merunut sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun