Menteri-Menteri Prabowo-Gibran: Antara Narasi Besar dan Kehampaan Aksi Nyata
Memasuki tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, publik disuguhi deretan narasi megah: "Indonesia Emas 2045", "Kedaulatan Pangan", "Revolusi SDM", hingga "Ekonomi Berkeadilan". Di balik retorika itu, para menteri tampil sebagai duta kebijakan, namun sayangnya, banyak di antara mereka lebih pandai berkata-kata daripada bertindak.
Di tengah sorotan terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan gejolak ekonomi global, peran sebagian besar menteri justru terasa kabur, reaktif, atau bahkan menghilang. Hanya segelintir figur, seperti Menteri Keuangan Purbaya Yudhistira, yang mampu menjaga konsistensi narasi sekaligus menunjukkan kinerja teknis. Sementara itu, banyak menteri lain terjebak dalam retorika awal yang "ngegas", lalu mandek di tengah jalan.
Purbaya Yudhistira: Satu-Satunya Penjaga Api Stabilitas
Di tengah badai kebijakan yang seringkali impulsif, Menkeu Purbaya Yudhistira tampil sebagai penyeimbang. Ia tidak hanya menjaga disiplin fiskal di tengah ambisi belanja besar pemerintah, tapi juga berani menyampaikan pesan-pesan teknokratis yang tidak selalu populer, misalnya soal risiko defisit anggaran akibat program MBG yang membengkak.
Purbaya juga aktif menjelaskan kebijakan fiskal kepada publik melalui forum-forum transparan, termasuk briefing media rutin dan dialog dengan pelaku usaha. Ia menjadi jembatan antara idealisme politik dan realitas ekonomi, sekaligus penjaga agar Indonesia tidak terperosok ke jurang utang berlebihan.
Namun, ironisnya, Purbaya justru sering terlihat "sendirian". Di saat ia bicara soal efisiensi anggaran, menteri lain justru mengumbar janji program tanpa kajian mendalam. Di saat ia menekankan pentingnya reformasi birokrasi, rekan-rekannya malah sibuk meresmikan proyek-proyek simbolis.
Menteri "Ngegas" di Awal, Lalu Menghilang
Beberapa menteri memang tampil sangat vokal di awal masa jabatan. Mereka mengumbar target ambisius, menggelar konferensi pers megah, dan tampil di media sosial dengan tagar optimis. Tapi setelah tiga hingga empat bulan, kehadiran mereka memudar, seolah tugas selesai setelah pidato peluncuran.
Ambil contoh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Di awal, ia gencar mempromosikan integrasi MBG dengan sekolah, menjanjikan peningkatan kualitas belajar, dan menegaskan komitmen pada guru. Namun ketika ribuan siswa keracunan, responsnya lambat dan defensif. Alih-alih memimpin investigasi, ia justru melempar tanggung jawab ke BGN: "Itu bukan ranah kami."
Atau Menteri Kesehatan, yang di awal gencar bicara soal "transformasi layanan primer", tapi nyaris tak terdengar suaranya saat krisis keamanan pangan merebak. Padahal, Kemenkes seharusnya jadi garda terdepan dalam standarisasi gizi dan pengawasan makanan sekolah.
Bahkan Menteri BUMN, yang di awal menjanjikan "BUMN untuk Rakyat", kini lebih sering terlihat di acara seremonial ketimbang memastikan BUMN benar-benar terlibat dalam rantai pasok MBG secara transparan dan efisien.
Krisis Koordinasi: Tiap Menteri Jalan Sendiri
Salah satu akar masalahnya adalah lemahnya koordinasi antar-kementerian. Dalam sistem pemerintahan Prabowo-Gibran, tampaknya tidak ada command center yang kuat di bawah Wapres atau Menko yang mampu menyatukan langkah. Akibatnya, tiap menteri beroperasi seperti "raja kecil" di kerajaannya masing-masing.
Ketika BGN (lembaga baru di bawah Presiden) meluncurkan MBG, Kementerian Pendidikan, Kesehatan, dan Dalam Negeri tidak dilibatkan secara strategis sejak awal. Mereka baru "ditarik masuk" setelah masalah muncul. Ini bukan model pemerintahan kolaboratif.
Akibatnya, kebijakan besar seperti MBG kehilangan fondasi teknis dan operasional yang kokoh. Yang tersisa hanyalah narasi politik yang indah, tapi rapuh saat diuji realitas.
Wapres Gibran: Harapan yang Belum Terwujud
Sebagai Wakil Presiden sekaligus simbol regenerasi kepemimpinan, Gibran seharusnya menjadi koordinator utama di antara para menteri. Namun hingga kini, perannya masih sangat minimal. Ia jarang memimpin rapat koordinasi lintas sektor, tidak terlihat aktif menengahi konflik institusi (seperti antara BGN dan Kemendikdasmen), dan belum menunjukkan inisiatif kebijakan orisinal di luar bayang-bayang Presiden.
Padahal, dengan latar belakangnya sebagai kepala daerah, Gibran punya modal besar untuk memimpin reformasi tata kelola, misalnya dengan mendorong desentralisasi program seperti school kitchen. Tapi sayang, ia memilih diam, seolah menunggu arahan dari atas.
Menuju Tahun Kedua: Butuh Lebih dari Sekadar Narasi
Pemerintahan Prabowo-Gibran masih punya kesempatan untuk memperbaiki arah. Tapi itu mensyaratkan perombakan mentalitas para pembantunya: dari menteri yang suka tampil di depan kamera menjadi menteri yang rela turun ke lapangan, mendengar keluhan guru, memeriksa dapur sekolah, dan memastikan setiap rupiah anggaran sampai ke sasaran dengan aman.
Tanpa itu, semua narasi besar tentang Indonesia Emas, kedaulatan pangan, atau revolusi SDM akan terdengar seperti gema kosong di ruang hampa.
Karena pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan tidak diukur dari seberapa sering menterinya tampil di TV, tapi dari seberapa banyak nyawa yang diselamatkan, anak yang terlindungi, dan rakyat yang merasa didengar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI