Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menteri-Menteri Prabowo-Gibran: Antara Narasi Besar dan Kehampaan Aksi Nyata

15 Oktober 2025   12:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   10:43 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Salah satu akar masalahnya adalah lemahnya koordinasi antar-kementerian. Dalam sistem pemerintahan Prabowo-Gibran, tampaknya tidak ada command center yang kuat di bawah Wapres atau Menko yang mampu menyatukan langkah. Akibatnya, tiap menteri beroperasi seperti "raja kecil" di kerajaannya masing-masing.

Ketika BGN (lembaga baru di bawah Presiden) meluncurkan MBG, Kementerian Pendidikan, Kesehatan, dan Dalam Negeri tidak dilibatkan secara strategis sejak awal. Mereka baru "ditarik masuk" setelah masalah muncul. Ini bukan model pemerintahan kolaboratif.

Akibatnya, kebijakan besar seperti MBG kehilangan fondasi teknis dan operasional yang kokoh. Yang tersisa hanyalah narasi politik yang indah, tapi rapuh saat diuji realitas.

Wapres Gibran: Harapan yang Belum Terwujud

Sebagai Wakil Presiden sekaligus simbol regenerasi kepemimpinan, Gibran seharusnya menjadi koordinator utama di antara para menteri. Namun hingga kini, perannya masih sangat minimal. Ia jarang memimpin rapat koordinasi lintas sektor, tidak terlihat aktif menengahi konflik institusi (seperti antara BGN dan Kemendikdasmen), dan belum menunjukkan inisiatif kebijakan orisinal di luar bayang-bayang Presiden.

Padahal, dengan latar belakangnya sebagai kepala daerah, Gibran punya modal besar untuk memimpin reformasi tata kelola, misalnya dengan mendorong desentralisasi program seperti school kitchen. Tapi sayang, ia memilih diam, seolah menunggu arahan dari atas.

Menuju Tahun Kedua: Butuh Lebih dari Sekadar Narasi

Pemerintahan Prabowo-Gibran masih punya kesempatan untuk memperbaiki arah. Tapi itu mensyaratkan perombakan mentalitas para pembantunya: dari menteri yang suka tampil di depan kamera menjadi menteri yang rela turun ke lapangan, mendengar keluhan guru, memeriksa dapur sekolah, dan memastikan setiap rupiah anggaran sampai ke sasaran dengan aman.

Tanpa itu, semua narasi besar tentang Indonesia Emas, kedaulatan pangan, atau revolusi SDM akan terdengar seperti gema kosong di ruang hampa.

Karena pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan tidak diukur dari seberapa sering menterinya tampil di TV, tapi dari seberapa banyak nyawa yang diselamatkan, anak yang terlindungi, dan rakyat yang merasa didengar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun