Lalu, bagaimana kita keluar dari lingkaran ini?
Pertama, hukum harus kembali menjadi penjaga keadilan yang konsisten dan adil. Bukan hanya cepat, tapi juga transparan dan merata. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum tidak pandang bulu, bahwa pejabat dan rakyat kecil diadili dengan standar yang sama, maka kepercayaan akan tumbuh kembali. Dan dengan kepercayaan itu, keinginan untuk "mengambil hukum ke tangan sendiri" akan memudar.
Kedua, kita perlu membangun kembali pendidikan moral yang berakar pada nilai lokal. Bukan sekadar hafalan Pancasila, tapi praktik nyata: menghargai penjual di warung, membantu tetangga, mendengarkan yang berbeda. Sekolah, keluarga, dan media harus bekerja sama menumbuhkan empati sebagai kekuatan utama melawan kekerasan.
Ketiga, ruang publik harus kembali menjadi tempat yang aman dan bermartabat. Ini bukan soal penjagaan ketat, tapi soal kehadiran sosial: warga yang saling mengenal, saling menjaga, saling menegur dengan santun. Masyarakat yang kuat secara sosial adalah masyarakat yang paling kebal terhadap kekerasan acak.
Penutup: Kekerasan Bukanlah Keberanian, Itu Tanda Kekosongan
Melakukan kejahatan di depan umum bukanlah bentuk keberanian. Itu adalah tanda kekosongan: kosong dari rasa malu, kosong dari empati, kosong dari kepercayaan pada sistem, dan kosong dari martabat kemanusiaan.Â
Namun, di balik kekosongan itu, masih ada harapan. Harapan yang muncul ketika seorang saksi, RY (33), berani menghalangi pelaku. Harapan yang lahir ketika warga bersama-sama mengamankan si penyerang. Harapan yang tumbuh ketika kita semua mulai bertanya: "Apa yang salah dengan kita, sehingga ini bisa terjadi?"
Jawaban atas pertanyaan itu bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memperbaiki. Karena masyarakat yang damai bukanlah masyarakat tanpa konflik, melainkan masyarakat yang masih percaya bahwa setiap nyawa berharga, setiap rasa sakit layak didengar, dan setiap tindakan kekerasan adalah kegagalan kita bersama.
Dan dari kegagalan itu, kita bisa memulai lagi dengan lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih berani untuk memilih damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI