Mengapa Kekerasan Kini Tak Lagi Malu di Depan Umum? Â
Sebuah Refleksi atas Krisis Kepercayaan, Moral, dan Martabat Sosial
Di sebuah sore yang seharusnya damai di Jalan Pabringan, Yogyakarta, seorang pedagang bakwan kawi, Z.A. (33), tiba-tiba diserang dari belakang oleh seseorang yang tak dikenalnya. Tanpa provokasi, tanpa peringatan, pelaku menusuknya empat kali di punggung dan dua kali di tangan. Aksi itu terjadi di depan umum, di tengah aktivitas jual-beli yang biasa, di hadapan warga yang hanya bisa terperangah sebelum akhirnya berani menahan si pelaku.
Peristiwa ini bukan hanya soal satu orang yang kehilangan kendali. Ia adalah cermin dari sesuatu yang lebih dalam: kehilangan rasa malu terhadap kekerasan, dan keretakan ikatan moral yang dulu mengikat kita sebagai masyarakat.
Pertanyaannya kini bukan sekadar "siapa pelakunya?", melainkan mengapa kejahatan kini dilakukan dengan begitu terbuka, seolah tak ada rasa takut, tak ada rasa malu, bahkan seolah tak ada lagi yang perlu dihormati?
Ketika Hukum Terasa Jauh, Kekerasan Jadi Bahasa Terakhir
Salah satu akar dari keberanian melakukan kejahatan di depan umum adalah melemahnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Bukan rahasia lagi bahwa di banyak kasus, hukum sering kali terasa seperti alat yang bisa "dipilih-pilih": keras terhadap yang lemah, lunak terhadap yang berkuasa. Ketika masyarakat menyaksikan pejabat korup hanya dihukum ringan, pelaku kekerasan elite lolos dari jerat, atau kasus-kasus kecil justru diproses dengan kejam, maka muncul keyakinan kolektif: Hukum tidak adil, jadi mengapa aku harus menunggu hukum?
Dalam konteks psikologis, ini menciptakan rasa impunitas kolektif, keyakinan bahwa tindakan kekerasan tidak akan benar-benar dihukum, atau jika dihukum, hukumannya tidak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan. Bagi sebagian orang yang frustrasi, marah, atau mengalami gangguan jiwa, kekerasan menjadi satu-satunya cara untuk "mendapatkan keadilan" versi mereka sendiri. Dan karena mereka tidak percaya pada sistem, mereka tidak takut melakukannya di depan umum bahkan mungkin berharap agar dunia melihat "keadilan" versi mereka.
Namun, ini bukan pembenaran. Ini adalah diagnosis sosial. Karena jika kita hanya menyalahkan pelaku tanpa memahami konteks sosial yang memungkinkan keberanian semacam itu muncul, maka kita hanya akan terus memadamkan api tanpa pernah mematikan sumber apinya.
Krisis Moral: Ketika Martabat Orang Lain Tak Lagi Dianggap Penting
Di sisi lain, ada krisis yang lebih dalam: keruntuhan kesadaran moral kolektif. Dalam masyarakat tradisional, kekerasan di ruang publik dianggap memalukan bukan hanya karena konsekuensi hukumnya, tetapi karena ia melanggar norma kemanusiaan, rasa hormat terhadap martabat orang lain. Nilai seperti tepo seliro (Jawa), silih asih (Sunda), atau hormat-menghormati (Nusantara) dulu menjadi "pengawas tak kasat mata" yang mencegah seseorang bertindak semena-mena.
Namun, dalam masyarakat modern yang semakin individualistik, nilai-nilai itu perlahan terkikis. Kita hidup di era di mana kesuksesan diukur dari pencapaian pribadi, bukan dari kontribusi sosial. Di mana emosi dianggap hak mutlak, tanpa pertimbangan dampak pada orang lain. Di mana orang asing dianggap ancaman, bukan sesama manusia yang layak dihormati.
Dalam kondisi seperti ini, martabat korban, apalagi jika ia "hanya" seorang pedagang kaki lima, bisa dengan mudah diabaikan. Pelaku tidak melihat Z.A. sebagai manusia yang punya keluarga, harapan, dan rasa sakit. Ia hanya melihat objek. Dan ketika manusia kehilangan kemampuan untuk melihat kemanusiaan dalam diri orang lain, kekerasan menjadi mudah bahkan di siang bolong, di depan anak-anak, di tengah keramaian.
Jalan Pulang: Memulihkan Rasa Malu, Kepercayaan, dan Martabat
Lalu, bagaimana kita keluar dari lingkaran ini?
Pertama, hukum harus kembali menjadi penjaga keadilan yang konsisten dan adil. Bukan hanya cepat, tapi juga transparan dan merata. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum tidak pandang bulu, bahwa pejabat dan rakyat kecil diadili dengan standar yang sama, maka kepercayaan akan tumbuh kembali. Dan dengan kepercayaan itu, keinginan untuk "mengambil hukum ke tangan sendiri" akan memudar.
Kedua, kita perlu membangun kembali pendidikan moral yang berakar pada nilai lokal. Bukan sekadar hafalan Pancasila, tapi praktik nyata: menghargai penjual di warung, membantu tetangga, mendengarkan yang berbeda. Sekolah, keluarga, dan media harus bekerja sama menumbuhkan empati sebagai kekuatan utama melawan kekerasan.
Ketiga, ruang publik harus kembali menjadi tempat yang aman dan bermartabat. Ini bukan soal penjagaan ketat, tapi soal kehadiran sosial: warga yang saling mengenal, saling menjaga, saling menegur dengan santun. Masyarakat yang kuat secara sosial adalah masyarakat yang paling kebal terhadap kekerasan acak.
Penutup: Kekerasan Bukanlah Keberanian, Itu Tanda Kekosongan
Melakukan kejahatan di depan umum bukanlah bentuk keberanian. Itu adalah tanda kekosongan: kosong dari rasa malu, kosong dari empati, kosong dari kepercayaan pada sistem, dan kosong dari martabat kemanusiaan.Â
Namun, di balik kekosongan itu, masih ada harapan. Harapan yang muncul ketika seorang saksi, RY (33), berani menghalangi pelaku. Harapan yang lahir ketika warga bersama-sama mengamankan si penyerang. Harapan yang tumbuh ketika kita semua mulai bertanya: "Apa yang salah dengan kita, sehingga ini bisa terjadi?"
Jawaban atas pertanyaan itu bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memperbaiki. Karena masyarakat yang damai bukanlah masyarakat tanpa konflik, melainkan masyarakat yang masih percaya bahwa setiap nyawa berharga, setiap rasa sakit layak didengar, dan setiap tindakan kekerasan adalah kegagalan kita bersama.
Dan dari kegagalan itu, kita bisa memulai lagi dengan lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih berani untuk memilih damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI