Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

[sosbud] Teh Tradisional vs Teh Instan, Siapa Paling Sosial?

13 Oktober 2025   18:23 Diperbarui: 13 Oktober 2025   18:23 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Karena pada akhirnya, bukan cara menyeduh yang menentukan keramahan, tapi siapa yang rela menyeduh untukmu.

**

Malam itu, di antara uap yang mengepul dan sachet yang mengambang, keduanya sadar: bukan soal mana yang lebih "asli" atau "modern", melainkan bagaimana teh (dalam bentuk apa pun) masih dipakai sebagai alasan untuk hadir sepenuhnya bagi orang lain.

Di tengah dunia yang mengukur nilai lewat kecepatan balasan chat dan durasi meeting, keberadaan secangkir teh (entah yang diseduh perlahan atau larut sekejap) tetap bisa jadi bentuk perlawanan halus: "Aku memilih berhenti sejenak, untukmu."

Karena keramahan sejati bukan terletak pada ritualnya yang rumit atau kemasannya yang kekinian, tapi pada niat di balik seduhan itu: apakah ia lahir dari kewajiban, atau dari kerinduan akan kebersamaan yang tulus. Dan dalam diamnya dapur malam itu, Teh Tradisional dan Teh Instan akhirnya sepakat, bukan siapa yang paling menjaga tradisi, tapi siapa yang masih percaya bahwa menyambut seseorang dengan secangkir hangat adalah cara paling manusiawi untuk berkata: "Kamu penting."

Di tengah hiruk-pikuk yang menghargai kecepatan dan efisiensi, jangan biarkan keramahan jadi korban pertama kemajuan. Menyajikan teh bukan soal sempurna atau tradisional, tapi soal kesediaan melambat sejenak, hadir sepenuh hati, dan mengingat bahwa setiap orang yang datang membawa dunianya sendiri yang layak disambut dengan hangat, bukan sekadar ditangani.

**

Penutup ala warung: Kalau tamu datang jam 2 pagi, mungkin memang lebih baik sajikan teh instan. Tapi kalau dia bawa masalah seumur hidup... siapkan poci, gula batu, dan telinga yang sabar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun