Karena pada akhirnya, bukan cara menyeduh yang menentukan keramahan, tapi siapa yang rela menyeduh untukmu.
**
Malam itu, di antara uap yang mengepul dan sachet yang mengambang, keduanya sadar: bukan soal mana yang lebih "asli" atau "modern", melainkan bagaimana teh (dalam bentuk apa pun) masih dipakai sebagai alasan untuk hadir sepenuhnya bagi orang lain.
Di tengah dunia yang mengukur nilai lewat kecepatan balasan chat dan durasi meeting, keberadaan secangkir teh (entah yang diseduh perlahan atau larut sekejap) tetap bisa jadi bentuk perlawanan halus: "Aku memilih berhenti sejenak, untukmu."
Karena keramahan sejati bukan terletak pada ritualnya yang rumit atau kemasannya yang kekinian, tapi pada niat di balik seduhan itu: apakah ia lahir dari kewajiban, atau dari kerinduan akan kebersamaan yang tulus. Dan dalam diamnya dapur malam itu, Teh Tradisional dan Teh Instan akhirnya sepakat, bukan siapa yang paling menjaga tradisi, tapi siapa yang masih percaya bahwa menyambut seseorang dengan secangkir hangat adalah cara paling manusiawi untuk berkata: "Kamu penting."
Di tengah hiruk-pikuk yang menghargai kecepatan dan efisiensi, jangan biarkan keramahan jadi korban pertama kemajuan. Menyajikan teh bukan soal sempurna atau tradisional, tapi soal kesediaan melambat sejenak, hadir sepenuh hati, dan mengingat bahwa setiap orang yang datang membawa dunianya sendiri yang layak disambut dengan hangat, bukan sekadar ditangani.
**
Penutup ala warung: Kalau tamu datang jam 2 pagi, mungkin memang lebih baik sajikan teh instan. Tapi kalau dia bawa masalah seumur hidup... siapkan poci, gula batu, dan telinga yang sabar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI