Teh Instan (membela diri):
"Tapi aku menjaga tradisi juga! Tradisi ngirit waktu, ngirit listrik, dan ngirit drama! Di kampungku, kalau tehnya diseduh lama, tamunya malah kabur mikir: 'Waduh, pasti mau pinjam duit!'"
Teh Tradisional (mengangguk pelan):
"Justru itu, Nak. Kalau tamunya kabur, berarti kita belum cukup hangat menyambutnya. Bukan tehnya yang salah, tapi caranya. Teh itu bukan alat, tapi undangan: 'Duduklah. Ceritakan. Aku punya waktu untukmu.'"
Hening sejenak. Hanya suara tetesan air dari keran yang bocor.
Lalu, Teh Instan menunduk. Suaranya lebih pelan.
Teh Instan:
"...Tapi kadang, Om... aku juga pengen jadi alasan seseorang berhenti sebentar. Nggak cuma buat ngisi perut, tapi buat napas. Cuma... aku nggak tahu caranya. Aku terlalu cepat."
Teh Tradisional (melembut):
"Kamu nggak perlu jadi aku, Nak. Tapi kamu bisa jadi versi terbaikmu. Mungkin... sajikan dirimu dengan camilan kecil. Atau bilang ke tuan rumah: 'Jangan buru-buru minum. Nikmati dulu.' Bahkan teh instan bisa jadi jembatan, kalau disajikan dengan niat tulus."
Teh Instan (tersenyum, sachetnya berkilauan di bawah lampu temaram):
"Jadi... kita bukan musuh?"
Teh Tradisional:
"Kita beda generasi, bukan lawan. Kamu anak zaman yang efisien. Aku penjaga jeda yang hampir punah. Tapi selama masih ada orang yang mau menyambut tamu dengan hati (entah pakai poci atau sachet) maka roh keramahan masih hidup."
Mereka berdua diam. Lalu, dari sudut dapur, teko listrik tiba-tiba nyala sendiri.
Teko Listrik (nada datar):
"Air panas siap. Silakan berdamai sambil minum bareng. Aku netral."
Dan malam itu, di dapur yang sunyi, secangkir teh tradisional dan secangkir teh instan duduk berdampingan hangat, berbeda, tapi sama-sama dihadirkan dengan niat baik.