Komisaris dari Pujian, Bukan Prestasi
Di balik pintu gedung lembaga publik yang megah (dengan plang berlapis emas dan bendera berkibar anggun) sering kali duduk orang-orang yang tak pernah mengelola anggaran, tak pernah menyusun kebijakan teknis, apalagi memahami neraca sosial yang seharusnya mereka jaga. Mereka bukan ahli tata kelola, bukan praktisi kebijakan, bukan pula intelektual publik. Mereka adalah buzzer. Tukang puji. Timses setia yang dulu paling kencang bersorak di media sosial, paling lincah menyerang lawan, dan paling rajin membanjiri timeline dengan pujian berlebihan: "Pemimpin hebat abad ini!", "Visi beliau menyelamatkan bangsa!", "Tanpa beliau, negara ini hancur!"
Dan kini, mereka duduk di kursi komisaris. Bukan karena pernah memimpin proyek transparansi, bukan karena rekam jejak dalam pengawasan anggaran, apalagi karena kontribusi nyata bagi penguatan lembaga. Mereka dipilih karena suara mereka pernah menjadi gema yang menyenangkan telinga sang penguasa.
Mereka naik bukan melalui meritokrasi, tapi melalui meritokrasi palsu, sistem di mana loyalitas diukur bukan dari kinerja, melainkan dari volume pujian dan kecepatan menyerang siapa pun yang berseberangan.
Ini adalah wajah tragis dari sugar coating dalam ranah kekuasaan publik. Di dunia korporat, sugar coating mungkin hanya merugikan efisiensi internal. Tapi di lembaga publik, yang mengelola uang rakyat, keadilan, dan masa depan bangsa, praktik ini berubah jadi ancaman sistemik.
Ketika jabatan strategis diisi bukan oleh orang kompeten, melainkan oleh "penyanyi pujian" yang kini diberi gelar resmi, maka yang runtuh bukan hanya kredibilitas lembaga, tapi juga kepercayaan rakyat pada seluruh sistem demokrasi.
Seorang komisaris yang dulu hidup dari menyebarkan narasi hitam-putih di media sosial, kini tiba-tiba diminta mengawasi transparansi pengadaan barang senilai triliunan rupiah. Ia tak paham audit, tak mengerti prinsip good governance, tapi ia mahir sekali mengatakan, "Kami percaya penuh pada kebijakan pimpinan." Ia bukan pengawas, ia adalah perpanjangan tangan sang penguasa, ditempatkan bukan untuk mengkritik, tapi untuk membenarkan.
Dan ironi terbesarnya? Mereka yang dulu paling vokal menyerukan "keadilan" dan "kebenaran" kini jadi bagian dari mesin yang mengaburkan keduanya. Mereka yang dulu menuduh lawan sebagai koruptor, kini diam saat praktik tidak transparan terjadi, karena suara mereka sudah dibeli dengan jabatan.
Tak ada ujian kompetensi. Tak ada seleksi terbuka. Tak ada pertanyaan kritis tentang kapasitas. Yang ada hanyalah pertanyaan tersirat: "Apakah kamu setia? Apakah kamu pernah membela aku di saat aku diserang?" Dan jika jawabannya "ya", maka kursi komisaris, dengan gaji bulanan, fasilitas mewah, dan kekuasaan simbolis, menjadi hadiah atas kesetiaan itu.
Padahal, jabatan publik bukan hadiah ulang tahun. Ia adalah amanah. Ia menuntut integritas, keahlian, dan keberanian moral untuk mengatakan "tidak" ketika kebijakan menyimpang. Tapi bagaimana mungkin seseorang yang selama ini hidup dari memuji bisa tiba-tiba berubah jadi pengkritik? Bagaimana mungkin tangan yang dulu hanya mengetik pujian di layar kini bisa menandatangani rekomendasi penghentian proyek korup?