Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kopi Hitam Sachet dan Kearifan Lokal: Jejak Tradisi yang Menyusup dalam Kemasan Plastik

8 Oktober 2025   13:46 Diperbarui: 8 Oktober 2025   13:46 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kopi Hitam Sachet dan Kearifan Lokal: Jejak Tradisi yang Menyusup dalam Kemasan Plastik

Di sebuah warung pinggir jalan di Aceh, seorang sopir truk menyobek sachet bertuliskan "Kopi Gayo Hitam Asli". Di sudut kota Makassar, seorang ibu rumah tangga memesan "Toraja Black Sachet" untuk teman sarapan. Di kantin kampus Yogyakarta, mahasiswa memilih "Kintamani Pure Arabica" sebagai teman begadang. Di warung kopi kecil di Kupang, "Flores Bajawa Hitam" jadi pilihan tetap para guru yang sedang rehat.

Mereka semua memegang sachet, bentuk yang seragam, praktis, dan modern. Namun di balik plastik tipis itu, mengalir jejak tanah, iklim, tangan, dan tradisi yang berbeda-beda. Kopi hitam sachet, yang sering dianggap sebagai simbol homogenisasi budaya konsumsi, justru dalam perkembangan terkininya, menjadi wadah tak terduga bagi kearifan lokal untuk menyebar, bertahan, bahkan berbicara kepada generasi yang tak pernah menginjakkan kaki di dataran tinggi asalnya.

Dulu, kopi lokal hanya bisa dirasakan oleh mereka yang tinggal di sekitar perkebunannya. Kopi Gayo hanya dikenal di sekitar Takengon, kopi Toraja di pegunungan Sulawesi, kopi Flores di lembah Ngada. Namun kini, berkat keberanian para pelaku UMKM dan kesadaran baru akan nilai single origin, kopi-kopi itu melintasi batas geografis bukan sebagai komoditas anonim, melainkan sebagai duta rasa dan identitas. Sachet menjadi semacam surat cinta dari desa ke kota, dari petani ke konsumen singkat, padat, tapi penuh makna.

Yang menarik, kopi hitam sachet lokal ini berbeda dari kopi instan komersial massal. Ia tidak menyamar sebagai cappuccino atau mocha. Ia jujur: hitam, pahit, asli. Tidak ada gula, tidak ada krimer, tidak ada perisa vanili buatan. Hanya bubuk kopi, digiling halus, dikemas kedap udara, dikirim dengan doa.

Dalam kejujurannya itu, sachet justru menjadi medium edukasi rasa. Ia mengajak lidah muda yang terbiasa manis untuk belajar menghargai kepahitan yang kompleks, aroma tanah yang dalam, dan aftertaste yang bersih. Melalui satu teguk, seseorang di Jakarta bisa "merasakan" embun pagi di lereng Gunung Inerie, atau angin sejuk di dataran tinggi Sidikalang.

Lebih dari itu, keberadaan kopi hitam sachet lokal adalah bentuk resistensi halus terhadap hegemoni rasa global. Di tengah pasar yang dibanjiri kopi berperisa dengan logo internasional, muncul merek-merek kecil yang berani menuliskan nama desa di kemasannya: Kopi Lintong, Kopi Malabar, Kopi Temanggir, Kopi Wamena. Nama-nama itu bukan sekadar branding mereka adalah klaim eksistensi. Mereka berkata: "Kami ada. Tanah kami subur. Tangan kami bekerja. Dan rasa kami layak dikenal."

Sosiolog Arjun Appadurai pernah menyebut bahwa dalam dunia global, benda-benda tidak lagi hanya berpindah tempat, tapi juga membawa narasi sosial dan sejarah. Kopi hitam sachet lokal adalah contoh sempurna dari fenomena ini.

Setiap sachet adalah fragmen dari suatu tempat, tempat di mana kopi dipanen dengan tangan, disangrai dengan kayu bakar, dan disaring dengan kain tenun. Bahkan jika konsumennya hanya membuka sachet tanpa membaca label, rasa itu tetap bekerja: ia menyusup ke memori, membentuk preferensi, dan perlahan-lahan membangun apresiasi terhadap keberagaman.

Tentu, tantangannya masih besar. Banyak sachet lokal masih kalah bersaing dalam iklan, distribusi, atau harga. Dan tak semua sachet benar-benar "asli", ada yang mencampur biji impor, ada yang menyalahgunakan label "lokal". Tapi semangatnya tetap hidup. Di balik setiap UMKM kopi sachet yang gigih, ada mimpi sederhana: agar kopi dari kampung halamannya tidak hanya diminum, tapi juga dikenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun