Emas di Hari Raya
Emas itu berkilauan di bawah lampu kamar yang redup. Sebuah kalung panjang, sederhana, tapi murni 24 karat, warisan dari ibunya yang sudah tiada. Ayahnya, Pak Dedi, memegangnya dengan tangan gemetar, menghitung setiap mata rantai seperti sedang menghitung doa.
"Cuma buat sebulan, Ma," bisiknya pada foto sang istri yang terbingkai di dinding. "Nanti Lebaran, aku tebus lagi."
Besok adalah H-7 Idul Fitri. Di luar rumah, tetangga sibuk belanja beras, ketupat, dan baju baru. Anak-anaknya, Raka dan Sisi, sudah beberapa hari bertanya-tanya, "Papa beli baju lebaran belum?"
Tapi gaji sebagai satpam gedung perkantoran hanya cukup untuk bayar listrik dan cicilan motor. Bulan ini, bahkan uang sekolah anak kedua harus ditunda.
Maka, jalan satu-satunya adalah Pegadaian.
Di kantor Pegadaian kecamatan, petugasnya ramah. Menimbang emas itu dengan cermat. "3,5 gram, Pak. Bisa kami pinjamkan Rp6,8 juta."
Pak Dedi menandatangani surat perjanjian dengan cepat. Ia tidak membaca bagian kecil tentang bunga harian dan denda keterlambatan. Ia hanya melihat angka di layar: Rp6.800.000, cukup untuk baju baru, parsel, makanan enak selama seminggu, dan bayar utang ke warung.
Hari-hari menjelang Lebaran berlalu dalam riuh rendah. Rumah dipenuhi orang. Ada ayam goreng, opor, ketupat, dan kue-kue. Raka dan Sisi berlarian dengan baju baru, tertawa lepas. Tetangga berkata, "Wah, Pak Dedi tahun ini meriah banget!"
Tapi di balik senyum itu, ada rasa sesak. Setiap kali melihat kalung emas di brankas Pegadaian dalam pikirannya, hatinya menciut. Ia tahu, batas waktu penebusan adalah 7 hari setelah Lebaran.