Setelah libur panjang, kehidupan kembali keras.
Gedung tempat Pak Dedi bekerja mengumumkan efisiensi. Jam kerjanya dipangkas dari 12 jam menjadi 8 jam per hari. Gaji turun drastis. Belum lagi, motornya mogok. Biaya servis habis Rp900 ribu.
Uang hasil gadai? Sudah habis.
Untuk makan. Untuk listrik. Untuk mentraktir teman saat mudik.
Bahkan sempat dipakai taruhan main gaple dan kalah.
Ia mencoba mencicil ke Pegadaian. Tapi karena sudah melewati tanggal jatuh tempo, bunganya membengkak. Denda harian mulai menumpuk. Kini, untuk menebus emas itu, ia butuh Rp8,2 juta.
"Kalau tidak dilunasi dalam 30 hari, aset akan dilelang, Pak," kata petugas dengan nada netral.
Pak Dedi pulang dengan kepala tertunduk. Ia tidak bisa tidur. Di kamarnya, Raka bertanya, "Papa, kenapa muka Papa murung? Emasnya belum diambil?"
"Ayah ambil nanti, Nak," jawabnya pelan. "Sabar ya."
Tapi hatinya tahu: tidak akan pernah bisa.
Dua minggu kemudian, surat resmi datang dari Pegadaian.
Kepada Yth. Bapak Dedi...
Aset Anda atas nama... telah dilelang karena tidak dilunasi dalam masa tenggang...
Ia duduk di depan foto istrinya. Kalung itu adalah satu-satunya yang tersisa dari dia. Ia berjanji akan menjaganya. Bahkan ingin menyerahkannya ke Sisi saat menikah kelak.